Merdeka Pangan, Rakyat Merdeka

  • Bagikan
Aulora A. Modok //Foto: Delegasi.com (Dok.Pribadi Aurola A Modok)

“Indonesia, atau Nusa Tenggara Timur, mestinya semakin serius membangun pertanian yang ditopang oleh teknologi dan inovasi maju. Smart Farming.  Pertanian Presisi dan berkelanjutan. Industri sektor pertanian adalah kunci. Mengapa demikian?  Konteks NTT, sesuai data BPS 2019, sektor pertanian berkontribusi 28% bagi perekonomian NTT selama 4 tahun terakhir”

Aulora A. Modok (Gubuk Imajinesia)

PANGAN, isu internasional yang hingga detik ini belum dapat diatasi negara manapun. Ada saja manusia di belahan dunia yang lapar dan menunggu kapan mereka bisa melewati hari dengan perut kenyang.

Kemiskinan dan kelaparan masih jadi pemandangan negara-negara,maju sekalipun.

Tantangan pertambahan penduduk yang signifikan dalam 10 tahun mendatang bisa bikin gemetar.
Harus seperti apa pembenahan tercepat, sementara kerusakan lingkungan cukup akut. Hutan dibabat untuk pembangunan dan industri.

Tanah sehat yang tersisa tidak cukup banyak untuk memberi makan penduduk dunia yang semakin membengkak.

Sementara lahan tidur banyak yang masih tidak mau bergegas bangun. Kekeringan dan kekurangan air, juga akan jadi soal menakutkan masa mendatang.

Kita tidak mau menanam. Maunya membabat. Lantas nanti dari mana kita
menumbuhkan tanaman untuk konsumsi umat manusia.

Di belahan bumi lain, pertanian mereka semakin maju. Beberapa negara memimpin dalam pertanian modern kelas dunia. Boleh sebutkan, Cina, Israel, Ethiopia, Amerika Serikat. Mereka tidak sebatas berlomba dalam industri teknologi saja, mereka sekarang berkejaran dalam inovasi memajukan pertanian demi memberi makan rakyatnya.

Baru kemudian memberi makan dunia. Cepatnya perkembangan industri pertanian mereka bikin takjub.

Bila pertanian konvensional masih saja berpikir lahan maha luas, Jepang sudah lama menerapkan pertanian vertikal. Menanam dalam gedung bertingkat. Tanaman ditanam ke atas. Tidak perlu lahan besar.

 

Aulora A. Modok //Foto: Delegasi.com (Dok.Pribadi Aurola A Modok)

 

Perubahan musim yang ekstrim diantisipasi dengan rekayasa cuaca, agar
tidak mempengaruhi kualitas tanaman. Rumah kaca ukuran raksasa sudah lama mereka gunakan.

Pola pertanian terpadu dan terintegrasi, gandeng peternakan dan perikanan. Pertanian Presisi dan zero waste menjadi primadona. Tidak ada lagi sampah pertanian.

Semua terpakai dalam keterpaduan tersebut. Sedangkan kita, yang sampai saat ini masih takut gunakan teknologi
dan inovasi.

Kita ogah mengeluarkan biaya investasi untuk teknologi dan inovasi, bahkan untuk usaha pertanian kita sendiri. Padahal keuntungan dan kebaikannya untuk kita sendiri juga.

Banyak dalih dan riak-riaknya.
Tak selesai disitu, perkara hari ini, adalah keterikatan dan ketergantungan dengan pupuk kimia dan bahan kimia. Pokoknya tak mau lepas. Sudah kepalang dimanjakan bahan kimia. Padahal menyebabkan catatan kritis kerusakan lahan dan tanaman.

Rusaknya permanen. Intervensi bahan dan material kimia yang intens puluhan tahun, berkontribusi bagi gangguan kesehatan.

Apabila kita masih candu bahan-bahan kimia tersebut, boleh jadi akan lahir generasi penyakitan yang sudah terpapar sejak dalam kandungan.

Penggunaan bahan kimia jangka panjang, entah pupuk, pestisida, herbisida dan kawan-kawannya, nyata merusak kondisi udara yang ada di sekitar lahan.

Saya sering bertemu petani pengguna bahan kimia. Pengakuan mereka, dulu sering sesak napas (meski dianggap biasa) karena tiap hari selama bertahun-tahun menghirup udara sekitar lahan mereka yang terkontaminasi bahan kimia. Paska beralih gunakan pupuk organik,mereka bilang lebih enak saat menarik napas di tengah kebun.

Jerman ketat sekali, bila petani menggunakan pupuk kimia, maka hasil panen mereka selama 3 tahun tidak boleh dikonsumsi manusia.

Dijadikan pakan hewan. Paska 3 (tiga) tahun atau setelah terperiksa kualitas tanahnya baru diperbolehkan komoditinya dikonsumsi manusia. Mereka tidak mau kongkalikong soal urusan kesehatan rakyatnya. Sebab bila rakyat sakit-sakitan, pembangunan kualitas sumber daya manusia mereka terganggu dan berdampak bagi kualitas manusia masa depan mereka.

Artinya, kualitas pangan sangat berkontribusi menentukan kualitas manusia bangsanya. Saya kadang ngeri sendiri, bila memperhatikan kemasan bahan kimia yang sering digunakan petani.

Ambil contoh, bahan kimia pembasmi rumput. Pada kemasannya tertulis, sangat jelas, bahwa saat menggunakan bahan tersebut wajib memakai pelindung diri lengkap, pakaian serba tertutup, pakai masker, tidak boleh terhirup atau tersentuh bagian tubuh.

Sudah begitu, bahkan kemasan kosongnya harus dipotong-potong dan dikubur dengan kedalaman 50 cm, di tanah yang tidak teraliri air. Betul-betul racun keras.Rumput saja mati lemas. Mikroorganisme dan cacing tanah juga tewas. Tanah itu sudah pasti rusak dan beracun.

Bukankah petani kita, para pejuang pangan juga tidak terbiasa melindungi diri dengan alat pelengkap ketika berurusan di lahan.

Lihat saja, mereka tidak pakai sepatu yang aman, sarung tangan atau kelengkapan lainnya. Padahal mereka bekerja diantara pestisida dan bahan kimia beracun. Pakaian mereka terkontaminasi bahan kimia. Jangka panjang, bisa saja akan sakit-sakitan. Untungnya mereka bekerja di ruang terbuka sehingga masih menghirup udara segar. Tapi tetap saja, kerasnya bahan kimia berdampak langsung bagi sehatnya tanaman dan sehatnya tubuh petani.

Urusan Maha Penting

Kita tidak bisa main-main urusan pangan. Apalagi anggap remeh. Pertanian monokultur atau menanam satu jenis komoditi dalam
hamparan super luas, turut mengancam masa depan pertanian berkelanjutan.

Pertanian jenis ini lebih banyak untuk kepentingan industri segelintir manusia 1 % atau sebutan untuk manusia super kaya yang menguasai ribuan hingga jutaan hektar untuk ditanami satu jenis komoditi bagi kepentingan bisnis semata.

Mereka tidak akan pusing dampak lingkungan. Mayoritas bukan tanaman komoditi utama pangan.

Tapi tetap saja monokultur melemahkan ekosistem tanah. Akses terhadap keamanan pangan semakin krusial.
Menanam tidak hanya satu jenis tanaman, karena kita wajib menghidupkan ekosistem. Diversifikasi pertanian atau usaha penganekaragaman tanaman pertanian menjadi penting, untuk menghindari ketergantungan pada jenis komoditi tertentu.

Semakin beragam pangan semakin sempurna. Untuk kesehatan tanah dan kesehatan manusianya.

Pola pertanian harus menjaga ekosistem. Pertanian sedapatnya tidak boleh membabat hutan. Karena hutan memiliki eksositem yang bisa
menghidupi dirinya sendiri. Bisa menciptakan sumber-sumber air.

Cara kerja hutan bisa bikin anda yakin bahwasanya kehidupan di alam adalah keajaiban. Tumbuhan hanya butuh tanah, air dan cahaya matahari. Dengan demikian, rasanya lumbung pangan harus ada di seluruh wilayah indonesia.

Bolehlah kiranya para pemimpin daerah berinisiatif membangun lumbung pangan skala besar. Untuk memastikan rakyatnya tidak sendiri berjuang mengamankan lumbung-lumbung kecil mereka.

Krisis pangan bisa jadi krisis terbesar manusia. Akibat kelalaian. Lalai mengurus pangan. Indonesia, atau Nusa Tenggara Timur, mestinya semakin serius membangun pertanian yang ditopang oleh teknologi dan inovasi maju. Smart Farming. Pertanian Presisi dan berkelanjutan.

Industri sektor pertanian adalah kunci. Mengapa demikian? Konteks NTT, sesuai data BPS 2019, sektor pertanian berkontribusi 28% bagi perekonomian NTT selama 4 tahun terakhir.

Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2019, mengemukakan bahwa pertanian berperan 3,75% dari total 5,20%.
Jikalau pertanian kita modern dan pola budidaya telah maju pesat, maka pemuda-pemuda gagah perkasa kita tidak perlu keluar negeri untuk belajar pertanian. Karena mereka yang akan jadi mentor-mentor hebat untuk segala bangsa yang akan belajar pertanian dari kita. Sesederhana itu.

Bangsa-bangsa sudah saling menguasai industri teknologi, namun mereka tetap bersandar pada keyakinan bahwa kekuatan sesungguhnya, real bargaining, adalah saat penguasaan pangan.

Siapa menguasai pangan dunia, menguasai dunia. Jangan sampai kita sibuk menghabiskan dana terlampau besar untuk infrastruktur, lupa mempersiapkan pangan. Nanti jika terjadi kelaparan, mengunyah segepok uang pun tidak akan mengurangi rasa lapar.

Pangan republik bergegas dibesarkan dari Indonesia, untuk rakyat, untuk dunia. Indonesia akan jadi lumbung pangan dunia. Mengusahakan tanah yang maha luas ini, demi mencukupi kebutuhan manusia seisi republik. Kita harus merdeka pangan, agar rakyat merdeka dari rasa lapar.

Semua harus menikmati pangan berkualitas yang sama baiknya. Sama rata-sama rasa, semoga.

Jangan sampai terjadi lagi, di meja mewah itu berlimpah makanan yang akan berakhir di tempat sampah.
Sementara meja kusam dalam gubuk si jelata hanya tersaji nasi sisa kemarin dan segelas air.

Dirgahayu Indonesia tercinta, negeri penuh rahmat. Terima kasih telah memberi banyak untuk seluruh tumpah darahmu**”

Penulis adalah Aktivis, Mantan Anggota DPRD NTT, Tinggal di Kupang

Komentar ANDA?

  • Bagikan