Kupang, Delegasi.com – Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mencatat sembilan dosa politik Setya Novanto yang menjadi puncak gunung es kehancuran karir politik bakan usahanya, jika nanti KPK mulai menyasar kepada penyidikan kasus kejahatan pencucian uang. Koordinator TPDI, Petrus Selestinus sampaikan ini dalam keterangan persnya yang diterima delegasi.com, Selasa (1/8/2017). Sembilan dosa politik dimaksud yakni, (satu), selalu tampil sebagai orang kuat dan memberi kesan sebagai orang yang kebal hukum bahkan dengan julukan “Oli Belut”. (Dua), namanya sering disebut terlibat dalam sejumlah tindak pidana korupsi besar yang merugikan keuangan negara. (Tiga), dua kali menjadi tersangka dalam perkara korupsi dengan angka kerugian negara ratusan miliar pada 1999 dan angka trilunan rupiah pada 2017. (Empat), pernah terlibat dalam perkara pencatutan nama Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla yang dikenal dengan kasus “Papa Minta Saham”. Selain itu, (lima), pernah diproses oleh MKD dalam kasus pelanggaran etika, ketika dalam kasus Papa Minta Saham yang menyebabkannya mundur dari jabatan Ketua DPR. (Enam), selama empat periode menjadi anggota DPR RI dari dapil NTT II, tidak memberikan kontribusi positif apapun untuk masyarakat NTT, bahkan dalam suatu forum terbuka di Kupang, NTT pada 26 Februari 2015, Novanto menuduh Gereja, LSM bahkan masyarakat NTT sebagai penghambat investasi tambang di NTT. Dosa politik lainnya, (tujuh), LHKPN atas nama Novanto, terdapat banyak kekayaannya yang tidak dilaporkan alias berbohong. (Delapan), ppernah dijatuhi sanksi teguran oleh MKD DPR RI karena melanggar Etika DPR, ketika melakukan pertemuan dengan Donald Trump pada 3 September 2015, saat kampanye pilpres di AS. (Sembilan), terdapat tujuh kasus besar yang pernah dihadapi (Cessie Bank Bali, Beras Vietnam, Limbah B3, Proyek Pon Riau, Papa Minta Saham, Trump dan terakhir E-KTP), namun hanya kasus e-KTP yang membawanya menjadi tersangka KPK. “Dengan ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus e-KTP, Novanto kehilangan dukungan dari istana, Partai Golkar dan partai koalisi pemerintah, DPR RI, masyarakat NTT dan bahkan kemesraannya dengan pemerintah pun di ambang kehancuran,” kata Petrus. Advokat Peradi ini menyampaikan, dosa politik dimaksud mempertegas bahwa ada yang salah dalam memilih Novanto. Sesungguhnya Novanto tidak memiliki karakter dan kompetensi sebagai negarawan untuk memimpin DPR RI. Seandainya Novanto sejak awal sadar dan tahu diri, tentunya tidak mencalonkan diri dan dipilih. Dengan demikian Partai Golkar tidak akan digoyang perpecahan babak kedua, yang akan menghambat konsolidasi Golkar menghadapi Pilkada, Pileg dan Pilpres 2019. Loyalis Novanto harus iklas meninggalkan Novanto dan mendorongnya untuk berjiwa besar menghadapi kasusnya. “Jangan coba- coba mempertahankan Novanto sebagai Ketua Umum Golkar atas alasan apapun, karena hal itu berpotensi Golkar akan menghadapi prahara dualisme kepengurusan babak kedua dan Golkar diprediksi tidak bisa ikut pemilu 2019,” tandas Petrus mengingatkan//delegasi (hermen/ger)