DELEGASI.COM, LABUAN BAJO – Demo tolak Proyek Geothermal oleh Aktivis PMKRI Cabang Ruteng bersama Kota Jajakan Labuan Bajo pada Rabu 2 Februari 2022 berujung ricuh. Pagar di pintu masuk Kantor Bupati Manggarai Barat di Labuan Bajo roboh oleh para demontrsan.
Demonstrasi di depan pintu keluar Kantor Bupati Mabar itu digelar oleh puluhan mahasiswa yang tergabung dalam PMKRI Cabang Ruteng Santu Agustinus, PMKRI Kota jajakan Labuan Bajo dan warga Desa Wae Sano.
Demonstrasi menolak Proyek Geothermal itu berujung ricuh, meski dijaga puluhan personel gabungan Polres Mabar dan Sat Pol PP Kabupaten Mabar.
Kasat Pol PP Kabupaten Mabar, Stev Salut menilai, massa aksi melakukan demonstrasi dengan anarkis hingga menyebabkan 2 anggotanya cidera dan sejumlah anggota lainnya mengalami luka ringan.
Selanjutnya, massa aksi juga dinilai telah merusak fasilitas daerah dengan merobohkan pintu pagar Kantor Bupati Mabar.
“Saya sudah koordinasi dengan ibu wakapolres untuk diproses saja, koordinasi dengan bagian umum karena itu aset daerah sehingga nanti kami proses saja di kepolisian,” tegasnya, dilansir Pos Kupang.
BACA JUGA : Aktivis PMKRI Demo Tolak Geothermal Wae Sano, Pintu Gerbang Kantor Bupati Manggarai Barat Ditutup
Pihaknya juga menyayangkan aksi damai itu berujung anarkis. “Sehingga kami dari Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dalam hal ini Satpol PP imbau sesuai dengan izin, bukan anarkis, tapi demo damai,” katanya.
Ketua PMKRI Ruteng, Nardi Nandeng mengatakan pengrusakan tersebut merupakan akibat dari permintaan untuk berdialog dengan pemerintah yang tidak dilayani.
“Kami bukan pemberontak. Mengapa saling dorong karena mereka tidak buka ruang untuk audiensi. Sehingga, kami sebagai perwakilan masyarakat dengan cara paksa supaya kami bertemu dengan bapak bupati. Bukan ada maksud lain, bukan ada setingan. Alasan pertama karena tidak ada ruang untuk audiensi, dengan cara begitu, baru teman-teman polist dan pol pp buka ruang audiensi,” katanya.
Senada dengan Nardi, Ketua Germas PMKRI Ruteng, Yohanes C. Yarkefbi mengatakan, aksi saling dorong dan demonstrasi yang ricuh merupakan respon secara situasional atas permintaan dialog yang urung dilakukan pemerintah.
“Sehingga demonstran mungkin tergerak dengan emosi dan lain sebagainya melakukan caranya sendiri. Tapi kami sebagai orator tetap ingatkan untuk memakai cara-cara seperti itu kami sudah ingatkan bahwa bila terjadi sesuatu, Mohon maaf, karena kami meminta tetapi tidak direspon untuk masuk,” katanya.
Sementara itu, Wakapolres Mabar, Kompol Eliana Papote dalam dialog bersama mengungkapkan agar para demonstran melakukan aksi dengan damai sesuai standar operasional prosedur (SOP).
BACA JUGA :
Lambannya Penanganan Kasus Kerugian di Bank NTT, Kejati Diduga Masuk Angin
Edy Mulyadi Ditetapkan Jadi Tersangka Ujaran Kebencian Bermuatan SARA
“Terima kasih kepada adik-adik (mahasiswa) yang datang menyampaikan aspirasi keluhan dan lain sebagainya kami sangat menerima adik-adik merupakan orang yang berpendidikan, tolong dalam menyampaikan sesuatu ada SOPnya, jangan adik-adik melaksanakan seperti orang yang tidak berpendidikan, apalagi sampai merusak fasilitas umum dan lain sebagainya,” katanya.
Menurutnya, pengrusakan fasilitas kantor Bupati Mabar merupakan perbuatan yang melanggar aturan. Sehingga, pihaknya pun menegaskan akan mengambil tindakan tegas dan terukur atas kejadian tersebut.
“Kalau adik-adik tidak melaksanakan secara SOP kami akan ambil tindakan tegas saya ingatkan dari segi keamanan, jangan adik-adik berkeras hati atau sebagainya,” tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, demonstrasi menolakProyek Geothermal di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Babar) berujung ricuh, Rabu Rabu, 2 Januari 2022 .
Demonstrasi di depan pintu keluar Kantor Bupati Mabar itu digelar oleh puluhan mahasiswa yang tergabung dalam PMKRI Cabang Ruteng Santu Agustinus, PMKRI Kota jajakan Labuan Bajo dan warga Desa Wae Sano.
Masa aksi awalnya melakukan orasi penolakan proyek geothermal dan hendak memasuki area kantor.
Namun, puluhan personel gabungan dari Polres Mabar dan Satpol PP menjaga ketat pada pintu gerbang.
Sekitar pukul 10.50 Wita, massa aksi terus mendesak masuk untuk bertemu Bupati Mabar, Edistasius Endi.
Massa aksi akhir merusak pintu masuk dan pintu masuk yang terbuat dari besi itu langsung dibawa keluar. “Kami mau masuk,” teriak sejumlah mahasiswa.
Tidak berselang lama, massa aksi selanjutnya menaiki pintu gerbang, menggoyang pintu itu lalu merobohkannya.
Personel gabungan yang mengawal jalannya aksi tidak dapat berbuat banyak, bahkan beberapa anggota Satpol PP Kabupaten Mabar mengalami luka lecet.
Selain itu, 2 orang perempuan anggota Satpol PP Mabar mengalami cidera karena kakinya tertindih gerbang yang roboh. Kedua anggota Satpol PP Mabar ini lalu dilarikan ke mobil truk Satpol PP Mabar.
Tidak hanya itu, sebanyak 5 mahasiswa juga diamankan sementara di Kantor Bupati Mabar, karena mendesak masuk ke dalam area kantor.
BACA JUGA :
Aksi Demo dan Pernyataan Sikap TKBM Pelabuan Tenau Kupang
Tolak Pencabutan SKB 2 Dirjen, Puluhan TKBM Pelabuhan Tenau Kupang Gelar Aksi Damai
Walaupun massa aksi mendesak masuk, tapi mereka tertahan pagar betis personel gabungan yang menjaga.
Sekertaris Kesbangpol Kabupaten Manggarai Barat Robby Ngolong di depan massa aksi menerima untuk dialog antara Pemda Mabar dan perwakilan massa aksi. “Kami minta 5 perwakilan mahasiswa dan 5 perwakilan masyarakat,” katanya.
Perwakilan massa aksi akhirnya berdialog dengan pemerintah Kabupaten Manggarai Barat di ruang rapat Bupati Mabar.
Perwakilan pemerintah diwakili Wakil Bupati Mabar, dr Yulianus Weng didampingi Sekda Mabar, Fransiskus S. Sodo, Kasat Pol PP Mabar, Stev Salut dan para Staf Ahli Bupati MabarMabar serta Wakapolres Mabar, Kompol Eliana Papote.
Dalam dialog, Ketua PMKRI Ruteng, Nardi Nandeng mengatakan menolak proyek Geothermal karena dinilai akan mengganggu ruang hidup masyarakat di sekitar areal pengeboran.
“Bahwa ruang hidup adalah satu komponen yang menjadi satu kesatuan dan tidak bisa dipisah dalam kehidupan manusia. Pertama rumah warga, mata air, kuburan atau compang lalu natas labar (tempat warga atau masyarakat dibesarkan). Jadi ini ruang lingkup masyarakat yang menjadi satu kesatuan untuk mendukung kehidupan, jika salah satunya tidak ada maka masyarakat akan mati, contohnya air minum tidak ada, tidak ada masyarakat yang akan hidup,” katanya.
Nardi merinci, titik pengeboran berjarak 150 meter dari rumah warga dan berjarak 20 meter dari mata air.
Selanjutnya, di Kampung Nunang Desa Wae Sano, titik pengeboran berjarak 20 meter dari mata air, 30 meter dari rumah adat atau compang, 150 meter dari gereja dan 400 meter dari pekuburan umum lalu mata air.
“Lalu di Kampung Dasak, dari rumah warga sekitar 15 meter sampai 20 meter, mata air 200 meter, tanah gereja 70 meter, sekolah SD 50 meter. Jadi ini alasan kami datang ke Pemda Mabar untuk menolak, jadi titik pengeboran dekat dengan ruang hidup masyarakat, maka mereka akan digeser,” ujarnya.
Senada dengan Nardi, perwakilan masyarakat, Maria Yosefina Hau dan Frans Napang juga menolakproyek geothermal.
“Sudah 5 tahun kami lakukan penolakan, tapi pemerintah tidak ada titik temunya. Maka pada hari ini kami datang ke sini agar titik yang ada di Nunang dicabut,” kata Maria yang berasal dari Kampung Nunang Desa Wae Sano.
Frans Napang yang berasal dari Kampung Lempe mengatakan, titik geothermal sangat dekat dengan pemukiman warga, pekuburan, rumah ibadah, gereja dan sekolah. Hal ini dinilai dapat mengganggu ruang hidup masyarakat di Kampung Lempe.
Ia juga mengkritik Uskup Ruteng, Mgr Siprianus Hormat, Pr yang awalnya menolak proyek geothermal, namun belakangan mendukung proyek itu.
“Untuk itu kami masyarakat Lempe, yang mendapatkan rekomendasi bapak uskup kalau Kampung Lempe aman, itu tidak benar. Bapak Uskup ini rekomendasi sepihak, tidak menemui kami masyarakat yang terdampak, langsung keluar surat rekomendasi.
Pertama selesai dilantik jadi uskup dia tolak keras dan langsung datang ke titik-titik geothermal, dia katakan ini tidak benar, dekat dengan rumah warga, harus kita tolak.
Tapi, dengan mulut yang sama dia keluarkan surat rekomendasi bahwa lanjut itu geotermal. Maka kami dengan keras tolak geothermal ini, apapun yang terjadi,” jelasnya.
Tanggapan Pemda Mabar
Wakil Bupati Mabar, dr Yulianus Weng mengatakan, proyek geotermal yang akan dilakukan tidak mengganggu ruang hidup masyarakat Desa Wae Sano.
Menurutnya, fakta di lapangan, bahwa penggunaan energi baru terbaharukan merupakan sumber energi yang ramah lingkungan.
Hal tersebut didasarkan pada pengeboran panas bumi dilakukan pada kedalaman 1.500 meter sampai dengan 2.500 meter dan akan terbentuk kembali terbaharukan secara alami
“Sumber daya panas bumi merupakan cadangan air yang cukup tinggi untuk menjaga kestabilan uap air yang digunakan untuk pembangkit listrik, oleh karena itu hutan sebagai resapannya sudah pasti diperhatikan untuk dijaga kelestariannya, termasuk menjaga kandungan air tanah,” katanya.
Fakta lainnya, terkait tanah yang digunakan untuk well pad untuk pengeboran eksplorasi panas bumi akan disewa dari masyarakat.
“Pada saat pembersihan dan penyiapan lahan, akan ada langkah langkah untuk mencegah erosi dan tanah longsor. Pada area yang curang akan dibangun dinding penahan atau bronjong atau ditanami tanaman yang dapat menahan erosi,” jelasnya.
Sementara itu, oembukaan lahan tidak boleh melebihi area proyek, apabila proyek telah selesai maka akan dilakukan revegetasi atau penanaman kembali dengan tanaman vegetasi lokal segera setelah kegiatan selesai
“Revegetasi akan dilakukan setelah lahan tidak lagi digunakan dan menggunakan toksoil tanah pucuk yang disimpan dan digunakan kembali pada saat vegetasi,” katanya.
//delegasi(*/Hermen Jawa)