Dalam tradisi budaya Suku Buna, manusia terdiri dari empat unsur yaitu Nopil, Nawas, Nezel, dan Nimil . Keempat unsur ini menjadi falsafah hidup Orang Buna.Empat kata yang menjadi falsafah hidup orang Buna itu diawali dengan huruf N (4N), membuat orang Buna mampu bertahan hidup di tanah gersang
DELEGASI.COM—BERTITIK TOLAK dari 4 N itulah, saya membuat satu loncatan ke Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia inilah saya usaha temukan. Seperti Nopil, saya alihkan itu dengan Nafsu. Nafsu dalam arti dorongan untuk hidup. Nawas, saya pakai istilah Nalar.
Ini untuk mudah dimengertai, karena Disertasi ini harus tulis dalam Bahasa Indonesia.
Lalu Nezel, itu artinya saya punya tali perut. Itu saya pakai istilah Naluri. Naluri dalam arti suka bergaul, berkerabat, tidak mau sendirian.
Naluri memang ada juga pada binatang. Tetapi, naluri yang lebih luhur ada dalam diri manusia.
Kemudian, Nimil, saya pakai istilah Nurani. Karena itu, empat istilah ini saya munculkan dari temuan kecil di dalam Suku Buna.
Kebetulan sekali di Suku Buna, empat kata itu diawali dengan huruf N. Empat N itu; Nopil, Nawas, Nezel, dan Nimil. Temuan ini berdasarkan tulisan-tulisan tentang Suku Buna, dan berdasarkan pembicaran-pembicaraan dengan orang-orang Suku Buna.
Tanya : Mengapa Anda memberi nama Kwadran Bele?
Jawab : Penelitian yang saya lakukan bersifat emik. Artinya, penelitian tentang diri sendiri. Kalau penelitian secara ilmiah etik, itu artinya orang luar meneliti orang lain.
Saya meneliti suku sendiri, sehingga saya mempunyai perbendaharaan cukup. Dalam arti secara ilmiah saya kaji, dan saya mengerti tentang hidup orang Buna.
Saya wawancara dengan orang-orang kunci dalam penelitian itu. Orang-orang kunci di sini maksudnya, orang-orang yang tepat memberikan informasi yang benar tentang kehidupan orang-orang Suku Buna. Juga berdasarkan pengalaman saya sejak masih kecil.
Jadi, berdasarkan pengalaman dan latar belakang studi saya filsafat, maka studi pembangunan ini saya kaji dari aspek filsafatnya.
Atas dasar itulah, maka tahun 2011, Disertasi saya selesai dan diuji. Saat ujian itulah para penguji memberi nama Kwadran Bele.
Karena saya bilang, manusia terdiri dari 4 N. Empat N ini saya pertahankan dengan dasar bahwa ini bukan modal (pembangunan).
Bukan saya yang memberikan nama Kwadran Bele, tetapi para penguji saya. Saya terima pemberian nama Kwadran Bele dari para penguji. Saya terima nama Kwadran Bele itu. Alasannya, saya memberi gambaran dalam skema, satu segi empat dibagi empat, satu bujur sangkar dibagi empat.
Bidang yang pertama Nafsu, bidang kedua Nalar, bidang ketiga bagian bawah segi empat Naluri, dan keempat di pojok segi empat Nurani.
Lalu saya membuat teori, bahwa empat bidang ini, kalau bidang Nafsu terlalu besar, maka dia memperkecil Nalar, bidang Naluri dan Nurani juga diperkecil.
Itu berarti orang menjadi materialis. Judul Disertasi saya, Nurani Orang Buna, Spiritual Capital Dalam Pembangunan.
Tanya : Mengapa Anda merumuskan teori pembangunan manusia dengan Kwadran Bele?
Jawab : Nah, itu munculnya dari nama yang diusulkan para penguji Disertasi saya. Promotor Prof.Dr. Daniel Daud Kameo, S.E, M.A, Ph.D. Dia ekonom internasional. Ko Promotor Marthen Ndoen, S.E, M.A, Ph.D, dan Dr.Soegeng Hardiyanto. Pak Marthen Ndoen, ahli pembangunan pedesaan.
Setelah membimbing saya selama enam tahun, kemudian Pak Marthen Ndoen, bilang, Anton, ini teori baru. Pembimbing utama, Prof Dr. Daniel Kameo, menyetujui nama Kwadran Bele.
Tim penguji, yaitu Dr. Daniel Nuhamara, M.Th, Dr. Pamerdi Giri Wiloso, M.Si,dan Drs. Gregor Neonbasu, SVD, Ph.D.
Mereka menyetujui hasil penelitian saya tentang Nurani Orang Buna, Spiritual Capital Dalam Pembangunan diberi nama Kwadran Bele. Saya menohok langsung di mana kesulitan manusia, karena Nurani kurang diperhatikan.
Dengan itu, dalam Kwadran Bele ini, saya membuat analisis. Kalau manusia dari segi statistik ukuran secara bilangan 100 persen, maka 25 persen Nafsu, 25 persen Nalar, 25 persen Naluri, dan 25 persen Nurani. Itu kalau mau dibagi empat.
Tetapi kalau misalnya sampai 40 persen Nafsu, maka persentase yang lain dikurangkan. Kalau dari segi luas, itu berarti bidang yang lain dipersempit. Ini harus seimbang.
Dalam diri manusia sebagai pembangun, itu harus seimbang empat aspek itu. Memang, tidak mungkin empat aspek itu selalu seimbang 100 persen. Tentu ada pergeseran.
Kadang-kadang Nafsu lebih besar. Itu berarti menggeser sedikit, Nalar, Naluri dan Nurani. Contoh konkretnya, kalau Nafsu terlalu besar, orang itu biasanya terlalu rakus harta, uang. Kalau Nalar terlalu besar, orang tipe ini lebih mengutamakan ilmu.
Akhirnya, dia kurang memperhatikan makan dan minum. Orang seperti ini kurang suka bergaul, karena lebih mementingkan ilmu.
Sedangkan kalau Naluri terlalu besar, berarti orang itu terlalu sukuisme. Apapun saja, hanya dia punya orang, dia punya suku, orang lain kurang diperhatikan. Itu karena Naluri terlalu besar. Akrab dengan sesama, iya okelah.
Tetapi, akrab dengan sesama sampai mengabaikan orang lain yang bukan keluarga, bukan suku, itu bidang Naluri terlalu besar.
Lalu, kalau Nurani terlalu besar, itu tipe orang yang menganggap dirinya paling suci, dan anggap orang lain jahat semua.
Tipe orang seperti ini bisa saja beragama sangat rajin, tapi ternyata tidak memperhatikan isi dari ajaran agamanya itu.
Secara ilmiah, barangkali itu tidak benar. Misalnya, yang disebut percaya sia-sia.
Tanya : Apa yang menginspirasi Anda meneliti kehidupan orang Suku Buna
Itu terinspirasi dari rasa ingin tahu saya tentang kehidupan satu kelompok orang yang pembangunannya maju, tapi modal alam yang sangat terbatas, tapi berhasil.
Suku Buna di Kabupaten Belu, dulu dalam satu kecamatan, yaitu Kecamatan Lamaknen. Sekarang sudah menjadi dua kecamatan, yakni Kecamatan Lamaknen dan Lamaknen Selatan.
Di Kabupaten Belu, orang-orang Buna ini hebat. Di kantor-kantor mereka berkuasa, karena mereka sekolah.
Di Kota Atambua, mereka tetap membawa mereka punya adat istiadat. Mereka fanatik dalam urusan adat istiadat. Mengapa demikian? Itu karena Naluri.
Mereka punya prinsip, sekali Katolik tetap Katolik. Tidak bisa diubah-ubah. Itu karena Nurani mereka kuat.
Mereka sampai tua sekali masih tetap aktif bekerja. Secara ilmu, mengapa orang Suku Buna itu bisa bertahan (sampai tua masih bekerja). Itu karena mereka berpegang teguh pada 4 N ini, yaitu Nafsu, Nalar, Naluri dan Nurani.
Jadi, teori ini tidak menjadi teori yang aneh dari satu suku, tetapi itu dimunculkan, sehingga disebut temuan. Untuk menjadi bahan kajian orang lain.
Tanya : Tentang Kwadran Bele, itu bagaimana?
Tentang Kwadran Bele sendiri mengertinya, bahwa kita manusia ini diciptakan oleh Tuhan ada empat bagian dalam diri kita.
Maka kita harus pakai kita punya Nafsu dengan benar, jangan rakus. Kita harus pakai Nalar dengan betul. Jangan sombong.
Kita manusia ada Naluri. Harus hargai sesama, jangan hanya pentingkan diri sendiri dan keluarga. Nurani, kita manusia ini hidup ada Tuhan.
Percaya rupa-rupa, entah agama asli, Katolik atau agama lainnya, itu bertitik tolak dari Nurani. Dengan Nurani kita harus menghargai sesama.
Dengan Nurani kita tahu tentang Allah (Teologi). Menghargai alam, karena Nuranilah yang mengingatkan kita bahwa alam itu bukan milik manusia.
Bertitik tolak dari itu, saya melihat bahwa ini dalam ajaran agama disebut jiwa dan badan. Saya tidak sangkal itu.
Tetapi, saya kritik, yaitu karena jiwa dan badan, maka dari segi moral cukup banyak orang, saya sendiri juga, bahwa hari Senin sampai Sabtu, urusan badan atau jasmani.
Pada hari Minggu baru urusan rohani. Agama itu urusan rohani, yang lain urusan jasmani. Akibatnya, orang merasa tidak bersalah, ini kalau urusan jasmani dan rohani terpisah. Pemisahan ini karena dalam diri manusia itu ada jiwa dan badan.
Tanya : Anda tidak sependapat bahwa dalam diri manusia ada jiwa dan badan!
Jawab : Saya sependapat, sejauh itu diaplikasikan secara benar. Tetapi, kalau aplikasinya tidak benar, itu yang saya kritik.
Saya kritik bukan berarti saya tolak. Bahwa orang lain anggap (benar), itu saya terima. Silakan orang lain anggap (sependapat).
Anggap itu sebagai suatu kebenaran. Saya juga anggap itu kebenaran sejauh orang menghayati itu.
Berangkat dari itu saya mengkritik badan fana. Tidak. Badan itu adalah satu kurnia Tuhan, untuk menampung 4 N ini. 4 N ini ada dalam badan itu.
Tetapi kalau ada pemisahan jiwa dan badan, maka pertanyaan saya, jiwa ada di mana. Itu pertanyaan, nanti badan mati, jiwa abadi, silahkan. Ajaran ini saya tidak sangkal, tapi saya boleh kritik.
Maka saya menghayati itu bahwa dengan nafsu, saya menikmati karunia Tuhan, itu nafsu saya. Kalau seandainya saya tidak ada nafsu, maka saya tidak menghargai karya Tuhan.
Tanya : Bisa Anda jelaskan penghargaan pemerintah untuk Kwadran Bele
Jawab : Itu saya usul kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Mansia (Kemenkum HAM) di Jakarta melalui Kemenkum HAM Provinsi NTT di Kupang tahun 2011. Usulan itu disertai buku berjudul Nurani Orang Buna, Spiritual Capital dalam Pembangunan, melalui Kemenkum HAM NTT.
Saya baru mendapat sertifikat Hak Atas Kekayaaan Intelektual (HAKI) tahun 2017. Jadi, selama 11 tahun saya menunggu sertifikat HAKI itu dari pemerintah pusat, dalam hal ini Kemenkumham.
Buku yang saya kirim dianlisis oleh tim Kemenkumham, karena jangan sampai di Indonesia sudah pernah ada teori ini (Kwadran Bele). Ternyata belum ada teori pembangunan seperti yang saya buat itu.
Maka Kemenkum HAM menyatakan, bahwa teori ini khas. Tidak menjiplak. Artinya, satu temuan khas (tentang teori pembanguan) dari Disertasi saya, yang kemudian dibukukan.
Oleh Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga dianggap satu temuan ilmiah, sehingga saya dinyatakan lulus.
Sedangkan dari Kemenkum HAM, hasil temuan saya dilindungi supaya orang lain jangan jiplak. Kalau toh orang lain mau pakai, silahkan, tapi harus mengutip bahwa penemunya ini (Anton Bele).
Itulah yang kemudian dipublikasikan melalui media internasional, dalam jurnal ilmiah. Itu tidak tertutup lagi di Indonesia. Publikasi itu sampai saat ini belum ada sanggahan.
Penghargaan atas hak cipta Kwadran Bele dari Kemenkum HAM dalam bentuk sertifikat bertuliskan Surat Pencatatan Ciptaan .
Dalam sertifikat itu ditegaskan bahwa, Dr.Bele Antonius, M.Si, adalah pemegang hak cipta dengan jenis ciptaan buku. Judul ciptaan; Nurani Orang Buna, Spiritual Capital Dalam Pembangunan.
Jangka waktu perlindungan terhadap hak cipta ini berlaku selama hidup pencipta, dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya.
//delegasi(Hyeron Modo/habis)