Kupang, Delegasi.com – Pakar gizi dari Universitas Airlangga Surabaya, Dr. Sri Sumarni menawarkan konsep Layanan Terpadu Pra Nikah (Laduni) untuk diadopsi dan dikembangkan di NTT.
Dirilis tribunnews.com, Sabtu (16/12/2017), Sri menjelaskan Laduni sebagai salah satu program yang dilakukannya dalam pengembangan model layanan pra konsepsi dalam kerangka mensukseskan program 1.000 Hari Kehidupan Pertama (HPK).
Menurutnya, begitu pentingnya gizi atau pelayanan pra konsepsi sebelum hamil dengan sasaran calon ibu atau calon pengantin.
Calon ibu berarti yang sudah menikah dan ingin punya anak atau ibu yang sudah punya anak dan ingin memprogram anak lagi. Itulah yang menjadi sasaran.
“Saya mengembangkan konsep pelayanan terpadu dan pra nikah di beberapa daerah di Jawa Timur. Saya sebut sebagai pelayanan pra konsep, Laduni,” katanya.
“Ini bisa diadopsi atau dikembangkan di sini. Kita mau menyiapkan ibu hamil, maka sebelum hamil dipersiapkan dulu dengan baik dalam suatu program,” tutur Sri.
Ia menjelaskan Laduni sebagai salah satu bentuk pre conception care, yang merupakan spesifik intervension.
Intervensi gizi terdiri dari dua macam yaitu spesifik intervension yang bersifat jangka pendek mengatasi masalah jangka pendek. Misalnya, pemberian pmt untuk meningkatkan berat badan balita yang gizi kurang.
Kemudian ada lagi dengan bentuk intervensi spesifik yang sensitif dengan mengatasi masalah kesehatan dan gizi dari pinggir.
Tetapi dampaknya sangat luas, seperti memperbaiki pendidikan, sanitasi lingkungan sehingga masalah penularan infeksi menjadi turun.
Dijelaskan lebih lanjut, konsep Laduni merupakan pelayanan yang bersifat menyeluruh kepada calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan mulai dari administari, pelayanan kesehatan dan konseling.
Caranya, lanjutnya, calon pengantin akan mendaftarkan diri di aparatur desa, kemudian mendapatkan pelayanan kesehatan di Puskesmas.
Ia mengatakan di Puskesmas calon pengantin akan mendapat pelayanan kesehatan dasar.
Jadi pemeriksaan kesehatan umum ini penting untuk mendeteksi jika ada penyakit penyakit berbahaya dan menular harus diantisipasi.
Pasangan harus tahu untuk mencegah penularan supaya tidak menjadi mata rantai yang tidak putus.
Dia mencontohkan, ketika melakukan pelayanan di Probolinggo kita bisa menangkap perubahan.
“Kita bisa mencurigai calon pengantin. Bila ada suspek maka harus periksa ke lab (laboratorium),” katanya.
Bila curiga TBC ternyata benar, ini diobati dulu bukan menyuruh jangan menikah tapi untuk pencegahan penularan.
Lalu ada konseling kalau sudah menikah harus berhati-hati supaya tidak terjadi penularan. Karenan nanti semua bisa ketularan.
Bahkan, dirinya, bisa menemukan kasus HIV dari layanan pra nikah.
Kalau tidak ada layanan seperti itu maka orang HIV tidak mengetahuinya lalu menikah, kemudian isa tertular.
“Oleh karena itu ketika sudah mendeteksi oenyakit penyakit menular yang berbahaya ada edukasi dan konseling khusus. Lalu mendapatkan imunisasi TT dan dapat suplemen.
Setelah pemeriksaan lengkap di Puskesmas baru mencacat diri di KUA atau Gereja, lalu menikah.
“Konsep ini bisa dikembangkan dengan layanan terpadu pra nikah,” ujarnya.//delegasi(tribunnews)