5 Drama Politik di DPR Sepanjang 2017

  • Bagikan
drama politik
Ratusan anggota DPR dari empat fraksi yakni F- Gerindra, F-PAN, F-PKS dan F-Demokrat meninggalkan ruang sidang sebelum pengesahan RUU Pemilu pada sidang Paripurna DPR ke-32 masa persidangan V tahun sidang 2016-2017 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (21/7/2017) dini hari. DPR mengesahkan RUU Pemilu menjadi undang-undang setelah melalui mekanisme dan memilih opsi A, yaitu Presidential Threshold sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional.(ANTARA FOTO/M AGUNG RAJASA)

Jakarta, Delegasi.com – Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR) sepanjang 2017 diwarnai sejumlah drama politik. Sebagian besar berkaitan dengan fungsinya dalam bidang legislasi, penganggaran dan pengawasan. Namun, ada pula drama politik yang membuat waktu dan tenaga anggota dewan justru tersita dari tugas dan fungsi utamanya.

Sebut saja kisruh berkepanjangan yang ditimbulkan akibat dibukanya kasus korupsi proyek e-KTP. Drama masih memiliki potensi berlanjut, bahkan meski Setya Novanto, salah satu yang dianggap aktor penting kasus itu sudah mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR.

Padahal, di tengah drama-drama politik yang terjadi, ada torehan kinerja legislasi yang belum membanggakan.

Berikut lima drama politik di DPR yang terjadi sepanjang 2017, yang dirilis kompas.com:

1. Pembahasan RUU Pemilu

Setelah melalui pembahasan yang panjang serta berdinamika tinggi, DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemilu pada Jumat (21/7/2017) dini hari.

Pembahasan tak hanya alot pada tingkat Panitia Khusus (Pansus) namun juga di rapat paripurna pengesahan. Sebab, setiap sikap yang diambil berkaitan dengan masing-masing parpol.

Pengambilan keputusan di paripurna dilakukan secara voting dan diwarnai aksi walkout empat fraksi. Empat fraksi tersebut adalah Fraksi PAN, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi PKS. Mereka memilih RUU Pemilu dengan opsi B, yaitu presidential threshold 0 persen.

Dengan adanya aksi walkout tersebut, secara aklamasi DPR menyepakati opsi A, yaitu presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional.

“Paket A kita ketok secara aklamasi,” ujar Ketua DPR RI Setya Novanto yang saat itu memimpin rapat. Adapun Novanto memegang palu sidang karena pimpinan rapat sebelumnya, Fadli Zon, walkout bersama fraksinya.

Jumlah anggota dewan yang hadir pada paripurna juga berkali-kali lipat dari biasanya, yakni tercatat 539 dari 560 orang. Nyaris hadir seluruhnya. Sejumlah fraksi bahkan memberi arahan khusus bagi anggotanya untuk hadir karena mengantisipasi voting.

Ketua DPR Setya Novanto (kedua kiri) didampingi Wakil Ketua DPR Fadli Zon (tengah), Agus Hermanto (kedua kanan), Taufik Kurniawan (kiri) dan Fahri Hamzah (kanan) memimpin rapat sidang Paripurna DPR ke-32 masa persidangan V tahun sidang 2016-2017 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (20/7/2017). Hasil musyawarah pimpinan DPR dengan pimpinan Fraksi disetujui 573 pasal pemilu dan voting untuk dua opsi paket A atau B.
Ketua DPR Setya Novanto (kedua kiri) didampingi Wakil Ketua DPR Fadli Zon (tengah), Agus Hermanto (kedua kanan), Taufik Kurniawan (kiri) dan Fahri Hamzah (kanan) memimpin rapat sidang Paripurna DPR ke-32 masa persidangan V tahun sidang 2016-2017 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (20/7/2017). Hasil musyawarah pimpinan DPR dengan pimpinan Fraksi disetujui 573 pasal pemilu dan voting untuk dua opsi paket A atau B.(ANTARA FOTO/M AGUNG RAJASA)

2. UU MD3 dan Penambahan Kursi Pimpinan DPR

Usulan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) mengemuka pada November 2016 lalu. Hanya dalam hitungan hari, UU tersebut masuk ke daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017.

Revisi terbatas dilakukan salah satunya untuk menambah jumlah pimpinan DPR dan MPR. PDI-P sebagai partai pemenang pemilu legislatif 2014 merasa layak mendapatkan jatah kursi pimpinan. Sejumlah pihak menilai revisi tersebut bergulir sangat kilat dan sarat kepentingan politik.

Belum lagi, dibukanya peluang revisi membuat beberapa fraksi lainnya juga menginginkan kursi pimpinan DPR dan MPR. Partai Gerindra, misalnya, sebagai partai dengan perolehan suara terbesar ketiga pada pemilu legislatif 2014 merasa layak mendapatkan satu jatah pimpinan MPR.

Sedangkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai dengan perolehan suara terbesar kelima, berharap bisa mendapatkan jatah kursi pimpinan DPR.

Usul terkait penambahan kursi pimpinan tersebut berkembang luas. Wakil Ketua Fraksi Partai Nasdem, Johnny G Plate bahkan sempat mengusulkan agar setiap fraksi di DPR memiliki representasi di pimpinan DPR.

Isu revisi kemudian tenggelam. Pada awal Desember, Anggota Badan Legislasidari Fraksi PDI-P Hendrawan Supratikno sempat mengatakan bahwa pemerintah dan DPR telah menyepakati penambahan jumlah pimpinan tersebut. Namun, hingga penghujung tahun 2017 revisi UU MD3 tersebut tetap tak menunjukkan titik kejekasan.

Meskipun isu kocok ulang pimpinan DPR sempat kembali mengemuka setelah Setya Novanto mengundurkan diri sebagai Ketua DPR.

3. Pembahasan Perppu Ormas

Pada Oktober 2017, DPR mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.2 Tahun 2017 tentang Ormas menjadi undang-undang.

Pembahasan alot mewarnai rapat pengesahan Perppu Ormas. Musyawarah mufakat gagal dicapai meski perwakilan fraksi telah melakukan forum lobi selama kurang lebih dua jam.

Pengambilan keputusan pun diambil melalui mekanisme voting.

Tujuh fraksi yang menerima Perppu tersebut sebagai undang-undang yakni fraksi PDI-P, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, Demokrat, dan Hanura.

Namun Fraksi PPP, PKB, dan Demokrat menerima Perppu tersebut dengan catatan agar pemerintah bersama DPR segera merevisi Perppu yang baru saja diundangkan itu.

Sementara itu tiga fraksi lainnya yakni PKS, PAN, dan Gerindra menolak Perppu Ormas karena menganggap bertentangan dengan asas negara hukum karena menghapus proses pengadilan dalam mekanisme pembubaran ormas.

Perbedaan pendapat tak hanya di tingkat anggota dewan, namun juga pada level masyarakat. Sebagian menyetujui langkah tegas pemerintah. Namun sebagian lainnya khawatir regulasi tersebut disalahgunakan dan menjadi alat pembubaran yang represif.

Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Brigjen Pol Aris Budiman saat memenuhi undangan pansus hak angket KPK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/8/2017).
Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Brigjen Pol Aris Budiman saat memenuhi undangan pansus hak angket KPK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/8/2017).(KOMPAS.com/Nabilla Tashandra)

4. Pansus Hak Angket KPK

Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa jadi merupakan kerja DPR yang paling banyak disoroti.

Usulan hak angket dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Alasannya, dalam persidangan disebutkan bahwa politisi Partai Hanura Miryam S Haryani mendapat tekanan dari sejumlah anggota Komisi III.

Komisi III mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam, yang kini menjadi tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.

Sejumlah pihak sempat menduga adanya konflik kepentingan di balik pembentukan pansus. Pasalnya, sejumlah anggota dewan diduga ikut terlibat dalam proyek e-KTP. Termasuk Ketua Pansus Hak Angket KPK Agun Gunanjdar Sudarsa. Namun, tudingan tersebut langsung ditepis Agun.

Pada perjalanannya, kerja pansus semakin meluas. Berbagai wacana sempat diutarakan oleh anggotanya. Sebut saja usulan dari Anggota Pansus, Mukhamad Misbakhun agar pembahasan anggaran RAPBN 2018 Kepolisian dan KPK tidak perlu dilakukan, jika Miryam tidak dihadirkan ke Pansus Angket KPK.

Implikasi dari tidak dibahasnya anggaran RAPBN 2018, kata dia, adalah anggaran terhadap dua institusi tersebut di 2018 tertahan.

Anggota pansus lainnya, Henry Yosodiningrat bahkan sempat melontarkan wacana pembekuan KPK untuk sementara waktu.

Politisi PDI Perjuangan itu menilai, dari hasil penyelidikan panitia angket, ada banyak hal di KPK yang harus dibenahi dan pembenahan ini butuh waktu lama.

“Maka, jika perlu, untuk sementara KPK distop dulu. Kembalikan (wewenang memberantas korupsi) kepada kepolisian dan Kejaksaan Agung dulu,” kata Henry beberapa waktu silam.

Wacana tersebut turut didukung oleh Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah sebagai salah satu pengusul hak angket.

Rencana memanggil paksa KPK juga sempat beberapa kali dilontarkan oleh anggota pansus jika KPK tak hadir untuk mengklarifikasi temuan pansus.

Namun, belakangan kerja pansus semakin meredup dan tak terlihat kejelasannya. Bahkan, Partai Golkar sebagai salah satu pengusul membuka kemungkinan menarik diri wakilnya dari pansus jika pansus tak segera mengakhiri masa kerjanya pada masa sidang DPR berikutnya.

Ketua DPR Setya Novanto meninggalkan ruangan ketika skors Rapat Paripurna ke-9 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (24/10/2017). Rapat tersebut membahas tentang pengesahan RUU Ormas serta pengesahan RUU tentang protokol perubahan persetujuan marrakesh mengenai pembentukan organisasi perdagangan dunia.
Ketua DPR Setya Novanto meninggalkan ruangan ketika skors Rapat Paripurna ke-9 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (24/10/2017). Rapat tersebut membahas tentang pengesahan RUU Ormas serta pengesahan RUU tentang protokol perubahan persetujuan marrakesh mengenai pembentukan organisasi perdagangan dunia. (ANTARA FOTO / WAHYU PUTRO A)

5. Drama mundurnya Setya Novanto

Masa sidang terakhir DPR di 2017 diwarnai oleh mundurnya Ketua DPR RI Setya Novanto. Langkah tersebut diambil Novanto karena dirinya kini berstatus terdakwa dan ditahan di Rumah Tahanan KPK karena kasus korupsi proyek e-KTP.

Dalam surat yang disampaikannya melalui Fraksi Partai Golkar, Novanto sekaligus menunjuk Aziz Syamsuddin sebagai penggantinya. Namun, hal itu belum disetujui.

Mundurnya Novanto merupakan ujung dari drama politik yang melibatkannya.

Meski kasus tersebut cenderung menyasar pribadi Novanto, namun jabatannya sebagai Ketua DPR membuat dampak kasus tersebut juga berimbas pada DPR secara kelembagaan.

Terlebih, ditangkapnya Novanto oleh KPK sempat melalui drama kejar-kejaran dalam beberapa hari terakhir.

Novanto beberapa kali mangkir pemeriksaan KPK, baik dalam kapasitasnya sebagai saksi bagi tersangka lain maupun sebagai tersangka.

KPK pun menyambangi kediaman Novanto di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada 15 November 2017 malam. Namun Novanto tak ada di kediamannya.

Ia bahkan sempat menghilang dan sejumlah kerabatnya menyatakan tidak mengetahui keberadaan Novanto.

Keberadaan Novanto akhirnya diketahui besok malamnya. Ia mengalami kecelakaan saat menuju ke Metro TV. Pada malam yang sama ia berencana menyerahkan diri ke kantor KPK.

Novanto sempat dirawat di RS Medika Permata Hijau sebelum akhirnya dipindahkan ke RSCM sebelum kemudian resmi menjadi tahanan KPK.//delegasi(kompas.com/hermen)

Komentar ANDA?

  • Bagikan