Kupang, Delegasi.Com – Banyak Aktor politik saat ini menjadi ‘pasien’ KPK. Bahkan tercatat sebanyak 32 persen lebih terkait tindakan pidana korupsi.
Demikian disampaikan Kepala Satuan Tugas (Satgas) Kedeputian Pencegahan KPK, Guntur Kusmeiyano pada kegiatan Politik Cerdas Berintegritas yang dilaksanakan Kesbangpol NTT bekerjasama dengan KPK RI, Rabu (24/10/2018) malam.
Guntur mengatakan, aktor politik yang menjadi pasien KPK itu antara lain, anggota dewan, politisi, dan pejabat politisi yang tugaasnya berkaitan dengan politik, yakni kepala daerah maupun wakil kepala daerah.
“KPK tidak hanya bermain di hilir soal penindakan, tapi melakukan supervisi, koordinasi, monitoring, dan upaya pencegahan untuk meminimalisasi tindakan korupsi,” kata Guntur.
Ia mengungkapkan, KPK pernah melakukan pembekalan dengan semua pimpinan partai politik (Parpol). Upaya menekan praktek korupsi atau tindakan melanggar hukum terus dilakukan. Upaya ini dilakukan karena berkaitan dengan indeks persepsi politik, dari sembilan indeks politik, empat poin diantaranya bicara soal korupsi.
“Hasil survei menunjukkan, parpol menempati urutan terbawa soal kompetensi dan kepercayaan masyarakat,” ujar Guntur.
Ia berargumen, kepentingan KPK adalah meminimalisasi penindakan.
Selain itu bagaimana membangun sistem integritas di parpol. Saat ini KPK sedang menyusun penyempurnaan UU parpol. KPK mengambil langkah ini agar tujuan mulia parpol dan politisi dipercaya masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan adalah bgian dari pencegahan.
“Melalui kelas politik cerdas berintegritas yang dilaksanakan ini, diharapkan dapat mewujudkan politik yang berintegritas, cerdas dan mewujudkan NTT yang lebih baik,” ujar Guntur.
Ia menambahkan, pelaksanaan kelas politik cerdas berintegritas ini merupakan paket terlengkap, bila dibandingoan dengan provinsi lain. Karena pesertanya terdiri dari unsur parpol, siswa SMA, dan mahasiswa. Prinsipnya, KPK bekerjasama dengan semua pihak yang ingin politik yang lebih baik dan berintegritas. Ada tiga aspek yang diintervensi KPK yakni individu, tata kelola, dan kolaborasi antara individu dan tata kelola.
Wakil Gubernur, Josef A. Nae Soi menjelaskan, bila demokrasi tidak ditata dengan baik, maka akan terjadi perilaku homo homini lupus. Dalam esensi demokrasi saat ini, orang selalu kaitkan dengan penyelenggaraan pemilu. Selain itu, berbagai gejala politik di masyarakat, orang selalu kaitkan dengan politik uang.
“Sesuai persepsi masyarakat Indonesia, NTT menempati urutan empat soal demokrasi. Kita harus bertekad untuk tidak terjadi lagi ke depan,” papar Nae Soi. //delegasi(mario)
Editor: hermen Jawa