OELAMASI, DLEGASI.COM – Kuasa Hukum terdakwa JCNS, mantan Kepala Cabang Bank NTT Oelamasi Kabupaten Kupang, Sam Haning mengajukan banding terhadap vonis (keputusan, red) Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Oelamasi Kabupaten Kupang dalam kasus dugaan kredit fiktif Bank NTT Oelamasi. JCNS divonis 9 tahun penjara.
Penasihat Hukum (PH) JCNS, Samuel Haning kepada wartawan dalam Jumpa Pers di Palapa Resto, Senin (14/6/21) sore mengatakan putusan Majelis Hakim yang terdiri atas Decky A.S. Nitbani (Ketua), Hendra A.H. Purba, Timbul H. Tambunan, telah mencederai hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat.
“Putusan Majelis Hakim yang menyidangkan klien saya telah mengabaikan fakta persidangan. Putusan itu hanya copy-paste dari dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pledoi kami ditolak tanpa adanya pertimbangan hukum atau alasan, mengapa dalil-dalil hukum yang kami ajukan ditolak. Ini yang tidak boleh dilakukan oleh Majelis Hakim. Hakim yang mengambil keputusan kurang pertimbangan. Orang yang mendengar putusan ibi akan menangis. Karena itu kami akan laporkan ke Komisi Yudisial,” tandas Paman Sam.
‘Pledoi (nota pembelaan, red) yang diajukan pihaknya setebal 305 halaman (yang berdasarkan fakta dalam persidangan, red) tidak dipertimbangkan sama sekali oleh Majelis Hakim. “Tapi anehnya, Majelis Hakim menerima seluruh tuntutan JPU. Dalam vonis Majelis Hakim, kalau menolak/menerima harus ada pertimbangan hukumnya. Mengapa ditolak/diterima? Apa alasannya?” tandas Paman Sam.
Menurut Paman Sam, kliennya dituntut 42 UU Perbankan, yang mana pasal tersebut terkait adanya pemalsuan dokumen yang merugikan bank. Padahal dalam fakta persidangan tidak dapat dibuktikan JPU. “Klien saya dituduh melakukan pemalsuan dokumen dan melakukan pembukuan fiktif. Tapi dalam persidangan, JPU tidak mampu buktikan adanya pemalsuan dokumen dan tanda tangan. JPU juga tidak membuktikan adanya pembukuan fiktif,” ungkap Paman Sam.
Paman Sam mengaku sangat kecewa dengan putusan Majelis Hakim yang tidak mempertimbangankan fakta persidangan sama sekali. “Kalau seperti ini matilah hukum demi keadilan dan TYM. Inilah yang sangat ganjil. Hakim putuskan berdasarkan keinginan, bukan fakta persidangan. Maka inilah kami mencoba melakukan upaya hukum banding. Besok (Selasa, 25/6/21) akan didaftarkan di Pengadilan Tinggi,” ungkapnya.
Selain itu, jelas Paman Sam, kerugian negara yang didakwakan oleh JPU juga tidak jelas. “Saksi Wakil Kancab menyebut kerugian negara Rp 8 M lebih tapi lebihnya berapa tidak jelas. Saksi Kepala Cabang Boy Nunuhitu angka kerugian bank sekitar Rp 8 M lebih tapi tidak tahu angka pastinya. Angka kerugian tidak jelas kog klien saya dihukum?” kritiknya.
Paman Sam juga mengungkapkan, tidak ada hasil pemeriksaan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang menyebutkan bahwa ada kerugian bank dari kredit tersebut. “JPU menyebut telah menyita uang Rp 350 juta. Tapi JPU tidak menjelaskan uang itu berasal darimana dan disita dari siapa? Uang tersebut tidak ditunjukkan JPU sebagai barang bukti dalam sidang,” bebernya.
Menurut Paman Sam, dakwaan JPU bahwa kliennya terlibat kredit fiktif adalah tidak benar. “Karena ada debitur yang mengajukan permohonan kredit. Mereka mengakui bahwa mereka mengajukan kredit dan menerima kredit tersebut sehingga mereka mengangsur kreditnya. Lalu fiktifnya dimana?” bebernya.
Paman Sam menjelaskan, sesuai keterangan saksi dari bank NTT bahwa tidak ada masalah dalam pengajuan kredit tersebut. “Saksi mengatakan, persyaratan yang tidak lengkap, dikembalikan kepada nasabah untuk dilengkapi. Ini fakta persidangan, tapi mengapa Majelis Hakim tidak pertimbangkan fakta-fakta persidangan tersebut? Ada apa ini?” tandasnya.
Paman Sam juga mengungkapkan, ada 11 debitur yang mengaku menerima kredit tersebut. “Tapi uangnya diserahkan kepada Ayub Titu Eky untuk biaya politik. Lalu mengapa klien saya yang tidak menerima apapun dari nasabah yang dihukum? Ini namanya kriminalisasi?” tegasnya
Paman Sam juga mengungkapkan adanya kerancuan Pasal 55 UU Tipikor yang didakwakan kepada kliennya. “Klien saya didakwa dengan Pasal 55 UU Tipikor tentang perbuatan yang bersama-sama merugikan keuangan negara. JNCS didakwa sebagai pihak yang menyuruh melakukan tindakan korupsi. Lalu dimana pihak yang melakukan tindakan korupsi? Pasal ini rancu kalau dikenakan pada klien saya yang hanya terdakwa tunggal,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, sesuai Pasal 55 UU Tipikor akan memenuhi unsur jika terdakwanya lebih dari 1 orang. “Kan harus ada yang menyuruh melakukan, adanya melakukan, dan ada yang turut melakukan. Menurut saksi Ahli Sinurat, dakwaan JPU sesuai pasal 55 terhadap klien saya tidak tepat karena jika klien kami didakwa menyuruh melakukan, maka harus ada pihak/terdakwa yang disuruh melakukan. Mengapa mereka tidak diproses hukum? Ini aneh. Ada apa ini? Tapi Majelis Hakim abaikan semua itu. Ini yang kami sesalkan,” tegas Paman Sam.
Selain itu, Paman Sam menambahkan, dalam publikasi Bank NTT di media massa (sesuai pemeriksaan OJK, red), hanya 6 debitur (dari 22 debitur dalam kasus tersebut, red) yang dikategorikan bermasalah. Pemeriksaan terhadap kliennya juga tidak memenuhi syarat formil karena tanpa ijin Kapolri. “Padahal sesuai Pasal 42 ayat (2) UU Perbankan, pemeriksaan terhadap seorang direktur bank harus mendapatkan ijin dari Kapolri,” ungkapnya.
//delegasi(*/tim)