KUPANG, DELEGASI.COM – Aliansi Solidaritas Besipae (ASAB) menolak kesepakatan sepihak Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) dengan keturunan temukung Nabuasa, Frans Nabuasa (FN) terkait penyerahan lahan Besipae seluas 3.780 hektar yang terjadi pada Jumat (21/08/2020) di lokasi hutan Pubabu (Besipae).
ASAB menilai kesepakatan penyerahan tersebut tanpa melibatkan (mengabaikan, red) masyarakat korban dalam upaya penyelesaian konflik Hutan Adat Pubabu.
Demikian salah satu poin tuntutan pernyataan sikap Aliansi Solidaritas Besipae (ASAB) terhadap Pemprov NTT di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Jumat (28/08/2020) di Kupang.
ASAB juga menuntut dialog terbuka antara Pemprov NTT dan masyarakat Besipae, mendesak pemprov NTT agar segera memberikan kompensasi yang layak bagi masyarakat Besipae, mencabut sertifikat Hak Pakai dari Dinas Kehutanan, menolak dan mendesak segera mencabut Omnibus Law, menghentikan kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Besipae, tuntutan menjalankan Reforma Agraria Sejati, menolak kapitalisasi pertanian di Indonesia, menuntut pegakan HAM dan Hak Warga Negara di Besipae, segera mengembalikan hak pendidikan bagi anak-anak di Besipae, dan segera mengesahkan RUU masyarakat adat dan RUU Perlindungan Kekerasan seksual (PKS).
Koordinator Lapangan ASAB, Yufen Ernesto Bria yang ditemui tim media ini di sela-sela pernyataan sikap ASAB di depan Kantor DPRD NTT pada Sabtu (29/08/2020) mengungkapkan bahwa apabila beberapa point tuntutan secara aliansi diatas tidak dapat direalisasikan, maka ASAB akan tetap melakukan aksi masa yang sebesar-besarnya.
“Dari persoalan ini, jelas bahwa Pemerintah (Pemrov NTT, red) sedang membangun opini dan mengadu domba masyarakat adat dengan merusak tatanan budaya dan adat istiadat serta peradaban masyarakat. Situasi ini terlihat bahwa monopoli dan perampasan tanah oleh Pemprov NTT telah mengakibatkan masyarakat kehilangan aksesnya atas tanah, yang adalah sumber hidupnya,” kritiknya.
ASAB yang merupakan gabungan sejumlah elemen masyarakat (LMND-DN Kupang, LMND EK Kupang, WALHI NTT, FMN Cab Kupang, AGRA, OPSI, PMKRI, IMM, FOSMAB, KOMPAK, ITA PKK, ITAKANRAI, PB HAM, AKMI, AMPERA, LK FKIP UKAW, PMII PERMAPAR) dalam orasinya di depan Kantor DPRD NTT, menguraikan bahwa sejak tahun 1910 ketika Amanuban dan kerajaan-kerajaan di Timor tunduk kepada Belanda tidak pernah disebutkan dalam catatan sejarah, pemerintah Kolonial Belanda pernah merampas secara paksa tanah-tanah masyarakat.
Bahkan sampai sekarang masih tercatat, bahwa Amanuban adalah kerajaan yang dihormati hukum-hukum ulayatnya. Itulah sebabnya di Amanuban tidak ada tanah Eigendom.
Menurut ASAB, pejabat Pemprov NTT sedang dan telah membangun opini publik dan mengadu domba masyarakat adat.
“Yang sangat mengecewakan kami adalah tindakan para pejabat Pemprov ini telah merusak tatanan budaya dan adat istiadat serta perdababan masyarakat Timor. Kalau keturunana Temukung jadi raja, lalu keturunan Fetor dan raja jadi apa? Perlu kami jelaskan bahwa Besipae dahulu merupakan KIO (Hutan Adat) dalam hukum adat Amanuban sejak dahulu bernama “Pubabu”. Ketika tahun 1982, dengan pemanfaatan Kio Pubabu ini, maka terjadi rekonsiliasi antara Meo Besi dan Meo Pae maka diusulkan agar dinamai Besipae,” beber ASAB.
ASAB berpedapat bahwa di tengah situasi pandemic covid-19 dan juga perubahan iklim (cuaca dan intensitas curah hujan) yang dapat mengakibatkan masyarakat terancam gagal panen, Pemerintah NTT justru tidak memperdulikan kehidupan masyarakat adat Pubabu yang mayoritas petani dan memerlukan tanah untuk bisa hidup.
Oleh karena itu ASAB menilai konflik tersebut tidak terlepas sistem ekonomi politik kapitalisme yang mengekspansikan modal melalui pemerintah, dengan dalih pembangunan untuk mengenjot pertumbuhan ekonomi dengan skema perampasan ini di jalankan melalui kehutanan yaitu Kesatuan Pengelola Hutan (KPH).
Dengan masuknya suatu kawasan dalam KPH, maka akan dengan mudah dikonsesi pada korporasi besar seperti perkebunan dan pertambangan. Salah satu KPH besar yaitu KPH Mutis dengan mendominasi 4 kabupaten di NTT.
Salah satunya Timor Tengah Selatan dengan luas 66.000 ha, dengan total luas yang berada di Wilayah Kecamatan Amanuban Selatan 2.599 ha berdasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan No:138/kpts-II/1996 .
Selain monopoli agraria yang dilakukan oleh kehutanan, monopoli juga di lakukan oleh pemerintah provinsi, dalam hal ini Dinas Peternakan Prov.NTT dengan total luas 37.800.000 m2 berdasarkan sertifikat Hak Pakai nomor :01/2013-BP,794953. Selain Dinas peternakan, Dinas Pertanian dan investasi penanaman kelor di Hutan Adat Pubabu mengambil luas lahan masing-masing 1.000 ha.
ASAB pun mengkritisi konsep Nawacita yang di programkan oleh Rezim Jokowi-Ma’aruf lebih memihak pada invetasi dengan berbagi regulasi yang dibuat. MIsalnya seperti Omnibus Law. Menurut ASAB, ini akan menumbuhsuburkan eksploitasi dan akumulasi modal di berbagai penjuru Indonesia. Hal ini terlihat jelas seperti praktik nyata Pemprov NTT yang merampas dan menggusur masyarakat Besipae dari tanahnya sendiri.
Cara-cara yang dilakukan negara dengan kekuatan aparatus represif untuk menangkap, meneror, dan mengintimidasi gerakan-gerakan yang dibangun rakyat untuk menolak perampasan lahan, ini membuktikan bahwa rezim hari ini anti terhadap petani, perempuan, buruh dan kaum tertindas lainnya.
Hal ini terjadi ketika cara-cara yang dilakukan oleh Pemprov NTT dibawah kepemimpinan Viktor B. Laiskodat dengan menggunakan pendekatan yang represif dalam menggusur masyarakat adat Pubabu-Besipae.
//delegasi (*/tim)