Atraktif & Kesatria, Bupati Anton Hadjon Robekan Sadok Nonga

  • Bagikan
Bupati Flotim, Anton Hadjon saat melakukan aksi Sadok Nonga (Tinju Tradisional,red) dalam Festival Seni Budaya Lamaholot 2019 di lapangan sepak bola Desa Bentala, Lewolema, Rabu, 11/09/2019, Sore. (Delegasi.Com/BBO)

LARANTUKA, Delegasi.Com – Event Sadok Nonga alias Tinju Tradsional khas masyarakat Lewolema diperlihatkan dengan sangat atraktif dan kesatria dalam ajang Festival Seni Budaya Lamaholot 2019 kali ini. Termasuk, apa yang diperlihatkan oleh Bupati Flores Timur, Antonius H.Gege Hadjon, ST saat mengeksekusi anyaman wadah daun lontar (Kara-nee,red) yang dipasang para pembawa di lapangan Sepak Bola Bantala tersebut.

Warga Lewolema, terlihat Bapak Petrus Dawa Hewen (Berpeci) sangat riang saat atraksi Sadok Nonga. (Delegasi.Com/BBO)

 

Iyah, boleh dibilang sungguh atraktif dan kesatria. Pasalnya, hanya dengan satu kali pukulan tangan kanannya, Bupati Anton Hadjon mampu merobekan anyaman wadah daun lontar tersebut.

Atraksi yang dimainkan orang nomor satu Flotim ini pun langsung menyedot perhatian penonton dan tepuk tangan meriah.

“Ini luar biasa. Saya bisa melakukannya. Padahal, saya tidak menyangka bisa merobekannya hanya dengan satu kali pukulan. Sekali lagi, saya ajak semua pihak, mari kita muliakan apa yang kita miliki,”pungkasnya kepada media usai melakukan atraksinya di event Sadok Nonga tersebut.

Anton Hadjon yang kali ini tampil dengan pakaian kebesaran adat serba hitam, terlihat tampil sangat energik. Meski harus rela saat kepalanya disirami jerami padi yang terbang ketika terkena pukulannya. Kendati demikian, Anton Hadjon terlihat tak menggubrisnya.

Sesekali Ia pun tetap melepas senyum khasnya dan menyapa setiap warga yang hadir. Termasuk rekan-rekan media yang jumlahnya lumayan banyak, sekitar puluhan orang yang datang meliput. Sementara, Staf Ahli Hubungan Pusat dan Daerah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Dr. James Madaw, yang ikut mencoba memukul wadah daun lontar (Kara-nee,red) tersebut terlihat gagal merobekannya.

Inilah suasana saat Acara Sadok Nonga (Tinju Tradisional,red) di lapangan Sepak Bola, Bantala, Lewolema, Rabu, 11/09/2019, Sore. Terlihat abu membumbung tinggi. (Delegasi.Com/BBO)

 

Sebuah pertunjukkan yang sangat luar biasa dan menghibur. Saat ditemui media, James Madaw nyatakan, pihaknya sangat mendukung festival lamaholot 2019 ini, karena memiliki makna yang sangat dalam dan luar biasa.

Menyatukan berbagai suku, seni dan budaya, pulau dan agama, yang menjadi cita-cita pendiri bangsa.

“Berbagai atraksi seni budaya yang ditampilkan ini juga sebagai wahana konsolidasi untuk penguatan ekosistem kebudayaan melalui peningkatan, pengembangan standar tata kelolah festival di daerah-daerah menunjukkan kekayaan budaya Indonesia.

Sangat diharapkan agar atraksi seni buday seperti api alam, sadok nonga dan lain sebagainya terus dilestarikan,”pungkasnya.

Ia bahkan mengingatkan agar festival lamaholot jangan dikelolah secara terpisah dan parsial. Tetapi, harus diletakan diatas landasan yang terkonsolidasi dengan baik. Agar bisa menjadi fasilitas pertukaran budaya yang kreatif dan produktif ditataran lokal, regional, nasional bahkan internasional,”tutupnya.

Pantauan langsung media, atraksi Sadok Nonga 2019 ini dimainkan sekitar 100 orang penari oleh warga Lewolema. Mulai dari anak-anak muda sampai orang tua, baik pria maupun wanita.

Salah satu orang tua yang usianya diatas 90 tahun, yang ikut turun dalam atraksi Sadok Nonga kali ini adalah Bapak Petrus Dawa Hewen.

Dia terlihat begitu energik dan bergembira menikmati permainan rakyat ini. Saat diajak ngobrol media, Dawa Hewen yang didampingi Puteranya Pajon Hewen, menjelaskan, Ritual Sadok Nonga ini sudah berlangsung turun-temurun. Dan, melibatkan seluruh masyarakat saat musim panen tiba.

“Ini adalah ungkapan sukacita, kegembiraan, semangat dan kekastriaan warga Lewolema. Sekaligus perayaan kesuburan dan simbol perkawinan,”ujarnya.

Biasanya, sebut dia, dilakukan pada hari terakhir panen padi di sekitar mesbah (Padu Era), yang ada di tengah ladang. Hal yang sama dijelaskan dalam naskah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang dibagikan Tim Center Media, yang diback up Felix Koten,dkk.

Disebutkan, Padi terakhir yang dipanen disimpan dalam wadah (Kara-nee) yang berukuran tidak besar untuk kemudian diantar menuju pondok, tempat penyimpanan padi yang berukuran lebih besar.

Wadah yang kecil-sedang tersebut kemudian diisi jerami dan dibawa oleh para Pria ke sekitar Mesbah disertai teriakan menantang pria-pria yang disana untuk memukul sekuat dan sekeras mungkin, menyobek dan menembusi wadah.

“Ini menjadi ajang tinju spontan dan ramai. Masing-masing mencari penantangnya yang membawa wadah tersebut menekan lawan yang menantangnya dengan pukulan tangan kosong tanpa alas.

Setelah itu, padi terakhir dipanen, disarungi, dipangku layaknya manusia dan diantar menuju pondok dengan tarian mengelilingi pondok sebelum akhirnya disatukan dan disemayamkan. Lalu, dibunuhlah binatang untuk memulihkan kembali wadah anyaman yang sudah sobek dalam adu tinju tersebut,”ulas Felix Koten.

Disaksikan media, banyak wadah yang rusak akibat pukulan. Selain semaraknya Sadok Nonga kali ini, karena melibatkan banyak orang, tapi menampilkan busana adat yang indah. Menyedot animo.

Hujan debu di tengah lapangan pun tak membuat para penonton bergeming. Tak peduli. Sadok Nonga seolah memberi pesan serius agar nilai gotong royong, sukacita dan kekastriaan serta kesuburan tetap membingkai semangat Pemerintah Daerah Kabupaten Flotim dalam bekerja sesuai visi-misinya ‘Desa Membangun, Kota Menata’. Amin. //delegasi(BBO)

Komentar ANDA?

  • Bagikan