Polkam  

Balai Besar KSDA NTT Kampanyekan Gerakan Sayang Pohon

Avatar photo

KUPANG, DELEGASI.COM  – Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Nusa Tenggara Timur (BBKSDA NTT) mengkampanyekan gerakan sayang pohon untuk melindungi pohon dan atau hutan yang adalah penyangga kehidupan, pemberi oksigen, penahan air dan penarik embun yang bermanfaat untuk semua makluk hidup di bumi termasuk manusia. Karena menyayangi pohon sama dengan menyangi hutan, menyangi hutan sama dengan menyangi manusia dan makluk lain.

Demikian dikatakan Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Nusa Tenggara Timur (BBKSDA NTT), Timbul Batubara saat temu diskusi dengan Pemerintah Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang di sebelum kunjungan ke Kawasan Suaka Margasatwa Tuadale.

“Tidak hanya itu, adat-istiadat masyarakat di sekitar kawasan hutan harus dijaga karena ada kearifan lokal bagaimana menjaga alam, khususnya hutan.

Karena antara manusia (beradat/berbudaya, red) dan alam ada keterikatan relasi kosmologis. Ambil contoh seperti Bali, tidak hanya alam dan wisatanya yang dijaga tetapi budaya dan adatnya. Hutan Mangrove Tuadale di Desa Lifuleo harus juga dijaga dalam satu kesatuan yang utuh, baik alam dan manusia maupun elemen lainnya. Kita sayang orangnya, makanya kita jaga hutannya.

Oleh karena itu, kawasan hutan dan atau alamnya juga harus dijaga bersama,” ujarnya.

Menurut Timbul Batubara, menjaga dan melindungi pohon-pohon/hutan adalah tanggungjawab bersama; tidak hanya BBKSDA tetapi seluruh masyarakat desa dan pengambil kebijakan di dalamnya (Pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten, red).

 

“Tentu membutuhkan anggaran, tetapi masyarakat bisa mendayagunakan potensi di desa dan atau menggandeng mitra lain. Bisa dengan manfaatkan dana desa, dan atau membangun komunikasi kerjasama dengan instansi-instansi terkait. Kami meminta tolong untuk menjaga hutan. Jangan sembarang membakar hutan,” ajaknya.

Kepada pemerintah desa Lifuleo dan masyarakatnya, Timbul Batubara mengungkapkan bahwa tujuan kedatangan tim BBKSDA NTT ke desa Lifuleo tidak lain dari maksud konservasi sumber daya alam Lifuleo. Terutama Kawasan Hutan Lindung Tua Dale seluas 900 Ha.

“BBKSDA NTT itu pengelola hutan, tapi yang punya wilayah hutan Tua Dale itu adalah masyarakat setempat (Lifuleo, red), kades, camat, Bupati, Gubernur. Artinya, apabila kawasannya hutannya dijaga, maka yang merasakan manfaatnya itu masyarakat dan pak kades, semua,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut Timbul Batubara, pihaknya menginginkan Kepala Desa dan seluruh masyarakat desa Lifuleo yang menjaga wilayah hutan konservasi Tuadale di Desa Lifuleo dan sekitarnya. Karena semua itu adalah kekayaan alam dari masyarakat setempat dan bermanfaat untuk semua masyarakat dan banyak manusia.

Timbul Batubara juga mengingatkan agar hutan tersebut tidak diklaim dan diduduki seseorang atau sekelompok orang/suku, tapi dijaga bersama dan dimanfaatkan bersama untuk kesejahteraan masyarakat setempat.

“Kalau ada yang klaim kepemilikan maka kadesnya akan terganggu,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Desa Lifuleo, Lukas Oktovianus menegaskan bahwa Kawasan Tuadale seluas 900 Ha telah ditetapkan menjadi Hutan Negara sejak tahun 1994. BBKSDA NTT mengelola dan melindungi hutan tersebut untuk kepentingan masyarakat dan keberlanjutan hutan itu sendiri.

“Balai orang jauh, masyarakat Lifuleo adalah yangg terdekat untuk jaga dan lindungi kawasan hutan Tuadale. Kita wajib jaga hak-hak kita terutama hutan kita. Aparat Pemdes wajib kawal dan jaga siapa pun yang masuk ke kawasan Hutan Tuadale.

Karena akhir-akhir ini ada oknum-oknum yang asuk seenaknya ke kawasan tersebut untuk ambil kayu santigi, dan sebagainya,” ujarnya.

Sementara itu, Tokoh Masyarakat Dusun I dan II desa Lifuleo yang hadir pada kesempatan diskusi itu juga mengangkat isu terkait adanya klaim hak milik pribadi atas tanah Kawasan SM Tuadale. Bahkan sempat menjual beberapa hektar ke pihak tertentu dan mereka membangun tenda atau penginapan di lokasi tersebut. Tapi setelah dikonfirmasi dan diselesaikan, para pihak tersebut akhirnya menghentikan aktifitasnya di Kawasan Hutan Tuadale.

“Aparat maupun akhirnya tahu kalau itu kawasan hutan lindung sehingga mereka tidak datang lagi,” jelasnya.

Kades Lifuleo dan tokoh masyarakat Desa Lifuleo juga meminta masyarakatnya untuk mengawal Hutan Tuadale, agar tidak ada warga luar Desa Lifuleo datang berburu rusa dan burung-burung di hutan tersebut. “Kami sayangkan ada orang dalam di desa jadi penunjuk jalan bagi orang luar,” beber Kades Oktovianus.

Isu lain yang muncul dari diskusi tersebut ialah matinya ribuan pohon bakau/mangrove di sekitar pantai Kawasan Hutan Tuadale akibat tertutupnya aluran air laut (saat pasang-surut, red) ke kawasan hutan mangrove dan dampak tumpahan minyak dari Sumur Munyak Montara di Laut Timor. Forum mengusulkan perlunya kegiatan replanting (penanaman ulang, red) anakan mangrove untuk mendukung kelestarian kawasan mangrove di kawasan pantai Hutan Tuadale.

Setelah temu diskusi terkait Kawasan Hutan Tuadale, tim BBKSDA, Pemdes dan tokoh masyarakat desa Lifuleo, bersama-sama menuju ke Kawasan Suaka Margasatwa (SM) Tuadale.

Sebelum ke Tuadale, tim BBKSDA menyinggahi Pantai Tablolong dan beristirahat sejenak, sholat, dan santap siang.

Tablolong salah satu objek wisata pantai yang indah dengan hamparan pasir putih bersih dengan airnya yang jernih. Tablolong destinasi wisata favoirit baik bagi orang dewasa maupun remaja diakhir pekan. Panorama Sunset-nya di sore hari menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung.

Sepanjang bibir pantai ada jejeran lopo-lopo kecil untuk bernaung dan ada bangku-bangku kecil sehingga sehingga pengunjung dapat berbaring sambil menikmati udara segar pantai yang tiada hentinya datang membelai-merayu. “Tempat ini bisa buat kita lupa pulang rumah,” ujar salah salah seorang anggota rombongan sambil tertawa lebar.

Setelah makan siang, tim melanjutkan perjalanan ke SM Tuadale. Tiba di kawasan SM Tuadale, tim BBKSDA NTT mendemonstrasikan aksi sayang pohon dengan memeluk pohon (pohon Kusambi dan Bakau/Mangrove).

Satu per satu anggota tim dan secara berkelompok (termasuk wartawan, red) melakukan atraksi memeluk pohon sebagai ungkapan/wujud kecintaan terhadap hutan/pohon.
“Dengan memeluk pohon, kita merasakan ketenangan batin, ada kesenyawaan antara jiwa kita dengan pohon. Itu sama dengan kita menyatu dengan alam bahwa alam adalah bagian dari kita dan kita bagian kecil dari alam,” kata Kepala BBKSDA NTT selaku pemimpin ritual sebelum perjalanan dilanjutkan ke kawasan hutan mangrove (bakau).

Seperti disaksikan tim media ini, ribuan pohon mangrove di bibir pantai mengalami kekeringan dan bahkan mati. Warga masyarakat setempat mensinyalir matinya tanaman mangrove karena beberapa kemungkinan yakni tertutupnya aliran air laut ke kawasan mangrove akibat timbunan pasir (akibat hempasan ombak, red). Berdasarkan penelitian LIPI, kematian itu juga karena dampak tumpahan minyak dari Sumur Minyak Montara di laut Timor pada tahun 1998.

Kepala BBKSDA NTT, Timbul Batubara yang mekihat kondisi SM Tuadale, berdiskusu dengan timbya untuk mencari solusi untuk merehabilitasi hutan mangrive dan tanaman Tuak/Lontar yang mati. Dakam diskusi itu, Timbul Batubara dan timnya bersepakat untuk mengambil langkah responsif yang cepat yakni membuka saluran air laut ke kawasan mangrove untuk mencegah matinya lebih banyak pohon mangrove.

“BBKSDA NTT akan bersurat dan mengajukkan proposal ke Dirjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait penanganan tanaman mangrove di Kawasan Hutan Lindung Tua Dale ini. Lebih lebih baik,” tandas timbul Batubara.

//delegasi (*/tim)

Komentar ANDA?