“Dewan Komisaris dalam RUPS meminta Jajaran Direksi PT. Bank NTT melakukan langkah-langkah recovery atas MTN PT SNP senilai Rp 50.000.000.000. Antara lain melakukan koordinasi dengan kurator dan melaporkan perkembangan tersebut kepada BPK RI,” tulis BPK dalam rekomendasinya.
KUPANG, DELEGASI.COM – Bank NTT telah mengabaikan alias mengangkangi rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) terkait kasus gagal bayar investasi Medium Term Notes (MTN) senilai Rp 50 miliar di PT. Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP), dengan melakukan hapus buku/pemutihan kerugian kasus gagal bayar MTN senilai Rp 50 miliar tersebut dari neraca rugi/laba.
Padahal, dalam LHP-nya, BPK RI merekomendasikan kepada Bank NTT untuk segera melakukan recovery atau penagihan pembayaran pokok dan bunga investasi MTN tersebut.
Demikian informasi yang dihimpun tim media ini berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Pengelolaan Dana Pihak Ketiga dan Penyaluran Kredit Komersial, Menengah dan Korporasi Tahun 2018 dan 2019 (S.D Semester I) pada PT. Bank NTT di Kupang, Surabaya, Maumere dan Oelamasi Nomor : 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 Tanggal : 14 Januari 2020.
“Dewan Komisaris dalam RUPS agar meminta Jajaran Direksi PT. Bank NTT melakukan langkah-langkah recovery atas MTN PT SNP senilai Rp 50.000.000.000. Antara lain melakukan koordinasi dengan kurator dan melaporkan perkembangan tersebut kepada BPK RI,” tulis BPK dalam rekomendasinya.
Bila perlu, tulis BPK, dilakukan penyitaan aset PT. SNP untuk mengganti kerugian bank NTT terkait investasi tersebut. Namun yang terjadi, Bank NTT melakukan hapusbuku alias pemutihan kerugian Rp 60,5 miliar (investasi Rp 50 M + bunga Rp 10,5 miliar, red)
Menurut BPK, pembelian MTN Rp 50 miliar oleh Bank NTT (Dealer, Kepala Sub Divisi Domestik dan Internasional serta Kepala Divisi Treasury, red) dari PT. SNP tanpa memperhatikan prinsip due diligence yakni proses identifikasi dan verifikasi serta pemantauan untuk memastikan keberhasilan investasi (pengembalian pokok investasi RP 50 Milyar dan bunga investasi 10, 50 % atau Rp 10.500.000.000, red).
BPK RI membeberkan, Pembelian MTN Rp 50 miliar dari PT. SNP, tanpa dasar/pedoman Bank NTT tentang pelaksanaan penempatan surat berharga pada pihak ketiga non bank. Alasannya, buku pedoman Bank NTT tahun 2011 dan perubahan tahun 2013 dan 2017 belum mengatur pelaksanaan penempatan surat berharga pada pihak ketiga non bank. Tindakan tersebut, mengakibatkan kerugian bagi bank NTT.
Baca Juga:
Kisruh Pemilihan Wabup Ende, Akademisi Dr. Patris Kami: Warga Ende Sangat Kecewa
Kredit Fiktif Rp130 Miliar di Bank NTT, Mantan Dirut Pemasaran Bertanggungjawab
Oleh karena itu, BPK memberi rekomendasi kepada Dirut Bank NTT untuk memberikan sanksi kepada mereka yang bertanggungjawab atas pelanggaran terkait pembelian MTN tersebut. BPK RI merekomendasikan kepada Direktur Utama agar memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada Dealer, Kepala Sub Divisi Domestik dan International serta Kepala Divisi Treasury (saat ini menjabat sebagai Dirut Bank NTT, red) yang melakukan pembelian MTN tanpa proses due diligence.
Dirut Bank NTT, Aleks Riwu Kaho yang dikonfirmasi tim media ini terkait pembelian MTN Rp 50 miliar di PT. SNP pada Senin (15/11/2021) seusai Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisis III DPRD NTT dengan Bank NTT terkait pembelian MTN Rp 50 Milyar di PT. SNP dan kredit macet PT. Budimas Pundinusa Rp 130 miliar memberikan jawaban sebaliknya, bahwa terkait penghapusbukuan alias pemutihan kerugian MTN Rp 50 miliar itu sudah selesai ditindaklanjuti sesuai temuan BPK RI.
“Itu semua sudah selesai di BPK. Itu sudah selesai, itu sudah selesai ditindaklanjuti sesuai rekomendasi BPK,” tegasnya.
Terkait poin rekomendasi BPK yang mana yang sudah selesai di BPK, Aleks belum sempat menjelaskan lebih lanjut.
Pernah diberitakan sebelumnya (28/06/2020), berdasarkan informasi yang dihimpun tim media ini dari sumber yang sangat layak dipercaya, diduga ada fraud alias kecurangan perbankan dalam kasus gagal bayar investasi dalam bentuk Medium Term Notes (MTN) oleh PT. Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) yang merugikan Bank NTT senilai Rp 50 miliar. Namun masalah yang diduga melibatkan Dirut Bank NTT saat ini, Alex Riwu Kaho tersebut sengaja ditutup-tutupi oleh manajemen Bank NTT.
“Informasinya, diduga ada manipulasi laporan keuangan PT. SNP untuk mendapatkan investasi dari Bank NTT. Saya duga ada persekongkolan sehingga Bank NTT merugi hingga Rp 50 miliar dalam investasi itu,” ungkap sumber yang tak ingin namanya disebut.
Menurutnya, jika investasi di PT. SNP itu dianalisis secara profesional maka Bank NTT tidak mungkin menginvestasikan modal dalam bentuk Medium Term Notes (MTN) “Aneh, Bank NTT begitu mudah menginvestasikan dana Rp 50 miliar hanya untuk perusahaan finance dari Toko Elektronik Columbia?” ujarnya.
Ia yakin, ada ketidakberesan dibalik investasi MTN yang merugikan Bank NTT hingga Rp 50 miliar itu. “Saya sangat yakin bahwa ada syarat dan prosedur yang dilanggar dalam investasi itu. Jadi seharusnya Kejati NTT juga menyelidiki kasus gagal bayar MTN PT. SNP itu,” pintanya.
Ia menjelaskan, fraud atau kecurangan adalah suatu tindakan yang disengaja oleh satu individu atau lebih dalam manajemen atau pihak yang bertanggungjawab atas tata kelola, karyawan, dan pihak ketiga yang melibatkan penggunaan tipu muslihat untuk memperoleh satu keuntungan secara tidak adil atau melanggar hukum.
“Fraud itu merupakan serangkaian ketidakberesan dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang luar atau orang dalam perusahaan supaya mendapatkan keuntungan dan merugikan orang/pihak lain dalam masalah keuangan,” paparnya.
Pejabat Pelaksana Tugas (PLT) Dirut Bank NTT, Alex Riwu Kaho yang dikonfirmasi tim media ini usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPRD NTT beberapa waktu lalu mengatakan, masalah investasi gagal bayar PT. SNP saat ini masih dalam penyelesaian PKPU. “Itu investasi di SNP itu masih dalam penyelesaian oleh PKPU. Oleh kurator,” katanya.
Menurutnya, masalah investasi gagal bayar itu merupakan risiko usaha. “Ya risiko investasi ada di mana-mana. Dan risiko yang melekat pada bisnis pasti ada,” kilahnya.
Yang terpenting saat ini, lanjutnya, adalah penyelesaian masalah tersebut. “Tapi yang perlu sekarang adalah mitigasi yang sedang dilakukan, yakni penyelesaian-penyelesaian sesuai saluran hukum dan penyelesain lainnya secara administrasi sesuai teknis perbankan,” katanya.
Saat ditanya apakah Ia optimis bahwa masalah tersebut dapat diselesaian oleh PKPU atau kurator, Riwu Kaho mengatakan, “Harus optimislah, setiap bisnis pasti ada risiko. Yang terpenting sekarang adalah kemampuan memitigasi dan menyelesaiakan.”
//delegasi(Tim)