JAYAPURA, Delegasi.Com– Benny Wenda membantah pemberitaan media-media Indonesia yang menyebutkan dirinya diusir dari ruangan sidang umum PBB. Ia mengatakan berita itu tidak benar, karena dirinya tidak bertujuan berpidato di sidang umum PBB melainkan melakukan lobby pada negara-negara anggota PBB selama Sidang Majelis Umum PBB yang berlangsung di New York, akhir September ini.
“Saya terdaftar bersama delegasi Vanuatu. Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai yang bertugas mengangkat isu Papua dalam pidatonya. Tugas kami (ULMWP) melakukan lobby,” ungkap Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) ini melalui sambungan telepon, Minggu (29/9/2019).
Salah satu yang diupayakan oleh Benny Wenda adalah mendorong kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet ke Papua.
Sebelumnya, Nick Messet yang merupakan anggota delegasi Indonesia mengatakan kini PBB punya aturan baru, hanya warga negara resmi dari negara peserta yang bisa masuk dan hadir dalam Sidang Majelis Umum PBB.
“Benny Wenda cs mau masuk ruang sidang PBB dengan ikut delegasi Vanuatu tapi tidak diijinkan, karena peraturan PBB kali ini cukup keras,” ungkap Messet.
Wenda mengakui, perjuangan ULMWP untuk membebaskan Papua dari Indonesia masih sangat panjang. Tidak ada perjuangan pembebasan satu bangsa yang dicapai dalam waktu singkat. Mungkin saja, perjuangan yang dilakukannya ini pada saatnya nanti akan berganti aktor. Namun tujuannya tetap sama, membebaskan Papua dari Indonesia.
“Saya lihat, sekarang banyak orang Indonesia yang mendukung perjuangan bangsa dan rakyat Papua. Bahkan ada yang ditangkapi. Saya mohon maaf atas penangkapan yang mereka alami. Dan saya harus berterimakasih untuk dukungan mereka,” ujar Wenda.
Wenda kembali menegaskan bahwa musuh orang Papua adalah sistem kolonialisme yang dijalankan pemerintah Indonesia di Papua, bukan orang Indonesia. Sistem kolonialisme seperti ini menurutnya digunakan untuk menciptakan konflik horizontal antar penduduk di Tanah Papua.
“Saya menyampaikan duka cita dan keprihatinan atas peristiwa yang terjadi di Wamena dan Jayapura,” kata Wenda.
Ia juga membantah insiden kekerasan, pembakaran hingga pembunuhan yang terjadi di Wamena dan Jayapura pada tanggal 23 September berkaitan dengan aktivitas ULMWP di Kantor Majelis Umum PBB, di New York. Menurutnya, kehadiran ULMWP di sidang-sidang PBB sudah menjadi agenda tetap ULMWP.
“Sidang PBB ini dilakukan setiap tahun. ULMWP punya agenda lobby setiap Sidang Majelis Umum PBB diselenggarakan. Demikian juga dengan lobby di sidang Dewan HAM PBB. Saya sangat berterimakasih kepada Negara Vanuatu dan Kepulauan Solomon yang konsisten menyuarakan isu Papua,” ujar Wenda.
Tanggal 28 September lalu, Perdana Menteri Vanuatu Charlot Salwai Tabismasmas berpidato di hadapan majelis umum PBB dan meminta para pemimpin dunia membantu orang-orang West Papua (Papua). Ia mengecam pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat West Papua.
Menjawab pernyataan Vanuatu, menggunakan hak jawab (rights of reply) delegasi Indonesia menyebut komentar Vanuatu itu sebagai langkah tak bertanggungjawab.
“Kami mempertanyakan motif dan langkah Vanuatu yang tidak bertanggungjawab,” kata Rayyanul Sangaji, delegasi Perwakilan Tetap RI untuk Markas PBB New York, dikutip dari webtv.un.org, Sabtu (29/9/2019).
“Mereka menyoroti isu hak asasi manusia di Papua, tapi motif mereka sebenarnya adalah mendukung kelompok separatisme Papua,” lanjut Rayyanul.
//delegasi(*/tim)