Berikut Cuplikan lengkap, Kotbah  Padre Marco, SVD Saat Buka Tahun Baru Bersama XVI PWKI 

Avatar photo
Padre Markus Solo Kewuta, SVD, Padre Agustinus Purnomo, MSF dan Padre Paulus Laurentius Pitoy, MSC saat menjadi Konselebran, dalam Misa Konselebrasi Buka Tahun Baru Bersama XVI PWKI, Sabtu, 23 Januari 2021, Malam, dari KBRI untuk Tahta Suci Vatikan. (Delegasi.Com/BBO)

Vatikan, Delegasi.com–  Berikut ini cuplikan lengkap , Kotbah Padre Markus Solo Kewuta, SVD saat Perayaan Ekaristi buka tahun baru bersama XVI PWKI. Sabtu, 23 Januari 2021, Malam.

Bapak, Ibu, Saudara-Saudari Semua yang terkasih di dalam Kristus,

Bukankah sebuah paradoks kalau hari ini, Kita membaca dan merenungkan kata-kata Pemazmur di dalam bacaan pertama.

Pemazmur begitu yakin bermadah memuji dan memuliakan keagungan Tuhan sebagai Dia yang menenangkan goncangan gunung-gunung di dalam laut, menopang kota yang tergoncang keruntuhan, menyejukan hati bangsa-bangsa yang saling bertikai, menghentikan peperangan, dan lain-lain.

Baca Juga:

Padre Marco,SVD: PWKI, Jadilah Hamba Roh Kebenaran, Garam Dan Terang Dunia

 

Padahal, akhir-akhir ini Bangsa Kita mengalami cobaan beruntun melalui berbagai bencana dan peristiwa tragis?

Sementara itu, Virus Corona semakin menjalar ke mana-mana dan tiap hari korban masih terus berjatuhan?

Mengapa malapetaka demi malapetaka harus terjadi?

Disini, Kita kembali berurusan dengan pertanyaan klasik yang sudah mendampingi perjalanan hidup manusia sejak dulu kala yakni tentang Keadilan Tuhan.

Atau bahasa Teologinya, ‘Teodicea’.

Nabi Ayub, di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, dikenal sebagai Protagonis, di dalam perbincangan tentang ini.

Diceritrakan bahwa Ayub kehilangan semua anak berjumlah 10 yang meninggal secara tiba-tiba, lalu kehilangan 11.000 hewan dan segala harta benda.

Sekalipun demikian, Dia tetap kuat dan beriman teguh pada Tuhan, dan hati kecilnya tetap merangkul Tuhan seutuh-utuhnya.

Demikian nampak paradoks dimata istrinya, yang juga menderita, kehilangan segala yang berharga padanya, lalu memarahi suaminya Ayub dengan bahasa kutukan: ‘Tak usahlah Kau Percaya lagi pada Tuhanmu yang demikian. Cobailah Tuhanmu dan matilah’.

Dengan nada bulat dan menyakinkan, Ayub mengucapkan sebuah kredo yang Kita ulangi sampai saat ini, ‘Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Terpujilah nama TUHAN,’. (Ayub:1:21).

Bapak, Ibu, Saudara-Saudari semua yang terkasih dalam Kristus,

Apa hubungan ceritra Ayub dengan Mazmur 46 yang Kita dengar hari ini? Alur ceritranya mirip.

Ceritra 40 tahun pengembaraan Bangsa Israel di Padang Gurun setelah keluar dari Mesir, tidak selamanya indah.

Kita ingat ceritra bagaimana mereka lapar dan haus, timbul kecemasan dan keputusasaan ketika mereka belum juga sampai pada tujuan.

Semakin banyak orang diantara mereka mulai meragukan kepemimpinan Musa.

Muncul tokoh-tokoh radikal yang mempersalahkan Musa sebagai pemimpin.

Segala masalah dilimpahkan kepada Musa ketika mereka lapar dan haus.

Musa-lah yang dianggap bersalah dan harus bertanggungjawab.

Herannya, Mereka sengaja lupa kebaikan Musa ketika Dia membelah Laut Merah untuk menyelamatkan nyawa Mereka dari pengejaran tentara-tentara Mesir.

Baca Juga : Padre Marco,SVD: Hidup Itu Terkadang Ibarat Selembar Daun Tua

Kebencian, sekecil apapun, biasanya menutup jalan menuju pengakuan akan kebaikan seseorang.

Perilaku-perilaku negatif para pemberontak, tentu saja melemahkan semangat persatuan dan perjuangan untuk berlangkah maju.

Banyak dari Mereka seakan memenjarakan dirinya, di dalam nostalgia akan Mesir.

“Biar jadi hamba, yang penting bisa makan dan hidup,”.

Kira-kira demikian, prinsip Mereka. Mereka lupa bahwa meragukan Musa sebagai pemimpin pilihan Yahweh, Mereka sekaligus juga melawan kehendak Yahweh.

Diantara kaum pemberontak di Padang Gurun, ada Korah, Datan dan Abiram.

Mereka tak habis-habisnya mengeritik dan mencemooh Musa.

Bahkan, Mereka berani bersumpah-serapah terhadap Yahweh.

Lalu, suatu ketika hukuman jatuh kepada Mereka bertiga dan ketiganya tenggelam dalam bumi.

Sementara, para pengikut pemberontak-pemberontak itu dilalap oleh api hingga wafat. (bdk.Bilangan 16:32).

Korah wafat. Anak-anaknya tetap hidup. Sebenarnya, ideologi ekstrim Korah bisa turun ke atas anak-anaknya.

Tetapi, tidak selamanya demikian. Ideologi bukan perkara Gen.

Anak-anak Korah menemukan jalan hidupnya sendiri.

Pedihnya azab Tuhan terlalu dashyat untuk mereka kenang dan mereka tanggung.

Mereka bertobat, menjauhkan diri dari ajaran dan doktrin-doktrin kebencian, dari narasi-narasi provokatif, dan mereka bersatu dalam iman akan Yahweh.

Dan, bersama-sama Mereka mendaraskan doa pujian di dalam Mazmur 46 yang Kita dengar hari ini.

Mereka menempuh jalan pertobatan dan memuliakan Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana.

Apapun yang terjadi, demikian Ayub dan anak-anak Korah, hendak mengatakan Tuhan tetap hadir.

‘Dialah Kota Benteng Kita’. Tuhan ada disini. Dia tidak meninggalkan UmatNya. KeadilanNya nyata di dalam kehendak dan jalanNya yang tentu saja berbeda dari jalan dan kehendak Kita,’.

Entah, apapun yang terjadi, Tuhan semesta alam menyertai Kita.

Anak-anak Korah, tentu saja tidak ingin bermegah di atas penderitaan Ayah Mereka.

Mereka bukan saja mengagungkan Allah yang pandai menghukum. Mereka bernyanyi dan memuji Allah yang adil, baik dan benar.

Baca Juga: Berita Foto Terbaru Situasi Vatikan Saat ini Kiriman Padre Marco,SVD

Nampaknya, anak-anak Korah mengetahui dimana letak kesalahan Ayah Mereka dan kaum pemberontak bahwa para pemberontak terlalu banyak berbicara dan melakukan yang bukan-bukan.

Lebih dari itu, Mereka terobsesi oleh sebuah kenyakinan akan kebenaran mutlak yang Mereka miliki dan menilai berbagai perkara secara hitam-putih.

Itulah, sebabnya anak-anak Korah memberi solusi kepada para pencari Tuhan, bahwa Tuhan tidak ditemukan dimana-mana, kecuali dalam ‘DIAM’. “Diamlah dan Ketahuilah bahwa Akulah Allah,”. (Mazmur: 46:10).

Bagaimana mungkin Diam untuk mengetahui Allah? Kata ‘Diamlah’, di dalam bahasa Ibrani, ‘rapah’, bisa berarti ‘be still’, tenanglah, tinggallah tenang.

Bisa juga berarti jadilah ‘rileks’, lepaskanlah segala beban, bebaskanlah dirimu dari segala sesuatu yang mengekang dirimu, dari segala sesuatu yang membuatmu tidak bebas di dalam bathinmu.

Kosongkan dirimu dari segala yang menyesakkan hati dan pikiran.

Lepaskanlah apa yang kau sukai, tetapi ternyata tidak baik, tidak benar dan tidak adil.

Tinggalkan berbagai teori dan ideologi yang dibangun di atas dasar yang rapuh.

Serahkan dirimu seutuhnya pada Tuhan. Dia memiliki rencana-rencana paling indah untukmu.

Inilah arti ‘Diamlah’, dalam segala keluasan dan kekayaannya.

Bapak, Ibu, Saudara-Saudari yang terkasih dalam Tuhan Kita Yesus Kristus,

Setiap masa, setiap zaman memiliki karakternya sendiri.

Era Kita dijuluki era globalisasi dan postmodern dengan berbagai perkembangan dan perubahannya yang serba cepat, yang turut mengubah paradigma berpikir Kita, dan mengubah pula cara Kita mendefenisikan diri, masyarakat dan dunia.

Kategori pemikiran mikro berubah menjadi makro.

Inilah dunia Kita dengan segala kemajuannya. Disatu sisi dipandang sebagai berkat bagi kemanusiaan dan peradaban.

Di sisi lain dikritik karena dinilai membahayakan kesakralan Agama.

Yang lain lagi, menilai dunia Kita sekarang dengan label ‘cair’, datar, mengambang tanpa akar (liquid modernity dari Zygmunt Baumann).

Yesus, justru menggunakan kata ‘dunia’ sebagai lahan Kita bermisi. “Kamu adalah Garam Dunia. Kamu adalah Terang Dunia”.

Lebih tegas lagi boleh dikatakan, “Kami adalah Garam untuk Dunia dan Terang untuk Dunia,”.

Untuk konteks Kita Indonesia, Dunia yang dimaksud adalah Dunia yang berpulau-pulau, yang majemuk suku, agama, etnik, budaya dan bahasa.

Dunia Indonesia yang terus menerus diuji dengan berbagai krisis, baik politik, relasi sosial budaya, relasi lintas agama, berbagai malapetaka dan ancaman degdradasi moral.

Dunia Indonesia yang tengah berjuang untuk memerangi penyebaran Covid-19, akan tetapi masyarakat seperti belum bersatu.

Dunia Indonesia yang dipimpin oleh seorang Presiden yang resmi dipilih secara demokratis dan berbagai aparatur negara diserahkan mandat kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghantar Bangsa Kita ke masa depan yang lebih baik, akan tetapi di saat yang sama Kita sadar bahwa tidak semua orang mendukung dan bekerjasama secara jujur dan sepenuh hati.

Dunia Bangsa Indonesia Kita menderita polarisasi dan tentu saja berakibat pada melemahnya ikatan kebangsaan dan spirit ke-Indonesia-an Kita.

Dunia Indonesia yang sebagian warganya berani masuk dalam ‘posth truth era’ atau ‘era pasca kebenaran’, yang lebih suka menyebar ‘hoax’ dan fake news, daripada ‘kebenaran’.

Menurut Rasul Paulus dalam bacaan kedua hari ini, Mereka lebih suka menjadi hamba-hamba huruf dan kalimat, yang bisa menghancurkan nilai-nilai kehidupan bersama daripada menjadi hamba-hamba roh yang menyebarkan nafas-nafas kehidupan yang menyelamatkan.

Dunia seperti inilah yang menjadi ladang misi Kita bersama yang ditunjukan Yesus sendiri kepada Kita.

Sebagai Wartawan-Wartawati Katolik, yang mengemban misi kejurnalismean di dunia seperti ini, tentu tidak mudah.

Banyak kali berenang melawan arus. Banyak kali mungkin harus bergolak dengan nurani, oleh karena sebuah sikap.

Pendapat atau keputusan yang bisa berpotensi melukai kesucian iman. Atau membahayakan integritas diri-sendiri.

Menjadi nabi-nabi yang menyuarakan kebenaran di zaman ‘open society’ ini, tidak mudah, karena harus siap untuk dicemooh dan ditolak.

Apalagi, menjadi nabi kebenaran di negeri sendiri. Yesus berkata, ‘Sesungguhnya, tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya,’. (Lk: 4-24).

Akan tetapi, misi Kita sebagai Garam akan berfungsi sebagai Garam, dan Terang, akan berfungsi untuk menerangi, kalau Garam dan Terang, setia pada hakekat sebagai Terang dan Garam.

Artinya, Mereka tidak mudah membiarkan diri dimanipulasi atau diperalat sedemikian, sehingga misi awal Mereka untuk memberikan kelezatan dan penerangan, justru menjadi hambar, kabur dan tidak disukai oleh siapapun.

Yesus, malah membahasakan kegagalan misi Garam dan Terang, dalam cara yang lebih dramatis, yakni dibuang dan diinjak orang.

Misi Kita para pengikut Kristus sebagai Garam dan Terang Dunia, juga tentu saja termasuk misi kewartawanan.

Berdiri, tidak lain dan tidak bukan, diatas dua kaki, yakni kasih dan kebenaran (Caritas et Veritas).

Kasih dan Kebenaran, membuat misi Kita memiliki dasar, struktur, dan tujuan yang membawa keselamatan integral, jiwa dan badan.

Kasih dan Kebenaran, membantu Kita untuk mengenal apa yang baik, belum tentu benar.

Dan, apa yang benar, belum tentu juga baik.

Kasih yang bersikap permisip terhadap kesalahan dan dosa akan dikontrol oleh prinsip kebenaran.

Sebaliknya, kebenaran yang cenderung memperhamba manusia atas nama hukum dan aturan, akan dikontrol oleh Kasih.

“Kasih membahagiakan, Kebenaran memerdekakan,”. (Yoh: 8:31-32).

Saudara-Saudari,

Murid Yesus memiliki peran, tidak hanya untuk kelompok sendiri, tidak hanya untuk keluarga, atau lingkungan sendiri, tetapi untuk semua orang, dan untuk seluruh Dunia, lintas agama, lintas etnik dan budaya.

Yesus mengatakan ini setelah Paskah, “Pergilah, Jadikanlah Semua Bangsa Muridku. Bersaksi kapan dan dimana saja tentang Yesus, Jalan Kebenaran dan Hidup,”.

Yesus sendiri membangkitkan kenyakinan di dalam diri Kita masing-masing, bahwa Kita bisa menjadi misionaris-misionarisnya, melalui afirmasi bahwa Kita sejatinya adalah Garam dan Terang Dunia.

Yesus tidak meminta Kita untuk berjuang sekuat tenaga agar bisa menjadi Garam dan Terang Dunia. BUKAN.

Kita sudah menjadi Garam dan Terang oleh karena rahmat pembaptisan dan iman Kita yang teguh di dalam Gereja Katolik yang Kudus dan Apostolik ini.

Bersyukurlah bahwa Kita adalah anak-anak Tuhan yang memiliki kemampuan menjadi Garam dan Terang di dalam hati Kita.

Ini yang membangkitkan rasa percaya diri Kita sebagai Garam dan Terang Dunia.

Kita tanpa kesulitan bisa menjadi seperti orang Samaria yang murah hati di dalam Injil, yang berani mendekati orang yang terluka, merasa wajib untuk membantunya tanpa melihat perbedaan apapun yang melekat pada diri orang yang dibantu, karena penderitaan itu perkara kemanusiaan.

Menghapus rasa ibah dan solidaritas kemanusiaan oleh karena hukum agama tidak mengizinkan, padahal bertujuan untuk menyelamatkan nyawa manusia adalah sebuah tanda kegagalan misi kemanusiaan agama.

Bapak, Ibu, Saudara-Saudari yang terkasih di dalam Kristus,

Inilah fasit atau intisari singkat dari refleksi Kita hari ini :

Pertama: Dari anak-anak Korah, di dalam Mazmur 46, Kita menerima kepastian Iman untuk petualangan Kita di Tahun baru ini, entah apapun yang akan terjadi.

Bahwa Kita pada dasarnya tidak tahu kemana Kita melangkah dan apa yang menanti Kita sepanjang tahun ini.

Tetapi, Kita percaya sungguh bahwa Tuhan akan selalu bersama Kita.

Dialah Kota Benteng Kita, Tempat Kita Berlindung.

Kedua: Dari Rasul Paulus di dalam bacaan Kedua, Kita belajar untuk menjadi hamba-hamba roh yang menyebarkan benih-benih kasih dan kebenaran, persatuan dan kesatuan, bukan sebaliknya menjadi hamba-hamba huruf, kata dan kalimat yang menyesatkan atau merusak nilai-nilai kehidupan bersama.

Ketiga: Dari Injil Sabda Bahagia menurut Matius, Kita membaharui rasa percaya diri Kita sebagai ‘Yang Berbahagia’ Sebagai pengikut-pengikut Kristus, Sebagai Garam dan Terang Dunia di tengah Dunia yang kian berubah.

Kita sesungguhnya memiliki kemampuan ilahi di dalam diri Kita untuk mengubah, mentransformasi dan menyelamatkan.

Peran ini justru sangat krusial di masa-masa seperti ini, dimana Dunia, khususnya Bangsa dan Negara Kita ‘terluka’ berulangkali dan berjuang sekuat tenaga untuk pulih.

Marilah Kita terus mewartakan kabar gembira, kabar keselamatan dengan narasi-narasi penuh harapan dan yang menghidupkan.

Tuhan Yesus Memberkati Kita Semua. Amin.

//delegasi (BBO)

 

 

Komentar ANDA?