OPINI  

Catatan Hitam Yasonna Hamonangan Laoly

Avatar photo

Yasonna Hamonangan Laoly resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri hukum dan hak asasi manusia (Menkumham) pada Kabinet Kerja I Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Alasan pengunduran diri Yasonna, kata dia, karena Yasonna terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari daerah pemilihan Sumatera Utara.

Oleh: Moh.Ainul Yaqin

 

“Akan dilantik jadi anggota DPR, tidak boleh rangkap jabatan,” tuturnya.”Saya dapat konfirmasi memang betul (Yasonna Laoly) menyerahkan surat pengunduran diri,” ucap Staf Khusus Presiden Adita Irawati di Jakarta, Jumat, 27 September 2019, seperti dilansir dari Antara.

Alasan pengunduran diri Yasonna, kata dia, karena Yasonna terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari daerah pemilihan Sumatera Utara. “Akan dilantik jadi anggota DPR, tidak boleh rangkap jabatan,” tuturnya.

Namun, berikut Tagar rangkum sejumlah catatan hitam Yasonna Laoly selama menjabat menteri hukum dan HAM dari 26 Oktober 2014 hingga 27 September 2019.

1. Diperiksa KPK terkait KTP-el

Tim Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly terkait dugaan korupsi megaproyek pengadaan KTP elektronik (KTP-el).

“Yang bersangkutan diperiksa untuk tersangka MN (Markus Nari),” ujar Juru bicara KPK, Febri Diansyah kepada wartawan di Jakarta, Selasa, 25 Juni 2019.

Markus Nari saat itu berstatus terdakwa dalam kasus yang merugikan uang negara Rp 2,7 triliun dari total anggaran Rp 5,9 triliun. Markus diduga berperan memuluskan pembahasan dan penambahan anggaran proyek KTP-el di DPR.

Berdasar fakta persidangan, Markus bersama sejumlah pihak lain meminta uang kepada Irman (saat itu Dirjen Dukcapil Kemendagri) sebanyak Rp 5 miliar pada 2012. Uang itu diduga untuk memuluskan pembahasan anggaran perpanjangan proyek KTP-el tahun 2013 sebesar Rp 1,49 triliun.

2. Didesak mundur karena tak mampu atasi pengelolaan lapas

Yasonna Laoly diminta mundur dari jabatannya Menteri Hukum dan HAM terkait permasalahan temuan inspeksi mendadak (sidak) Ombudsman RI ke Lapas Sukamiskin, Bandung.

Sidak dilakukan oleh Ombudsman RI yang dipimpin anggota Ombudsman Ninik Rahayu pada Kamis, 13 September 2018, malam. Ninik didampingi kepala perwakilan dan 11 asisten dari Ombudsman. Saat itu, pihak Ombudsman mendapati kamar mantan Ketua DPR Setya Novanto berukuran lebih besar daripada kamar narapidana lainnya.

Menurut akademisi hukum pidana Asep Iwan Iriawan, Menkumham Yasonna wajib bertanggungjawab atas permasalahan narapidana kasus korupsi, seperti Setnov, yang memiliki kamar mewah ketimbang narapidana kasus-kasus pidana lain, misalnya kasus pencurian.

Fakta itu menimbulkan mosi tidak percaya kepada Kemenkumham perihal perbedaan terhadap narapidana. Mengingat, dia menegaskan sekali lagi, bahwa Sukamiskin banyak diisi oleh narapidana yang dulunya memiliki pengaruh atas jabatan yang diemban.

“Lapas ini berulang kejadian (fasilitas mewah), ini menyangkut orang-orang berpengaruh. Ini menyangkut ketidak percayaan masyarakat pada Kemenkumham. Menterinya saya tidak percaya, teman-teman sudah minta mundur tuh Yasonna itu. Karena apa? Sistem sudah jelas, programnya diakui,” kata Asep dalam acara CNN Indonesia TV, Minggu, 16 September 2019.

Sebelumnya, pada Jumat, 20 Juli 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) menangkap Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husein atas dugaan korupsi pemberian fasilitas dan izin khusus bagi sejumlah narapidana.

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan, penyelidikan kasus ini bermula dari informasi masyarakat mengenai adanya dugaan jual beli sel tahanan dan jual beli izin keluar lapas. KPK mulai menyelidiki kasus ini pada bulan April 2018.

3. Dituding sebagai dalang dualisme Golkar dan PPP

Pada pertengahan 2014, konflik internal yang tengah melanda Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan diyakini bukan berakar dari campur tangan partai berkuasa.

Persoalan internal yang tidak segera diselesaikan dengan baik sampai memicu lahirnya kepengurusan ganda justru merugikan partai politik itu. Dua partai politik tertua di Indonesia, Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan, saat itu memiliki dua kepengurusan akibat konflik internal yang masih berlangsung dengan saling klaim paling sah.

Partai Golkar terbelah dipimpin Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, sementara PPP terpecah dipimpin Djan Faridz dan Romahurmuziy.

Dalam opininya yang ditulis, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo meyakini dualisme partai itu karena ulah Menkumham Yasonna Laoly yang bermain dalam penerbitan Surat Keputusan (SK) yang berulang-ulang.

Pasalnya, dua SK yang dikeluarkan Yasonna untuk menyelesaikan internal dua partai politik yang diterbitkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dibatalkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Masalah kompetensi dan kapabilitas sang menteri? Atau, karena Yasonna berpolitik dengan mengelola konflik internal dua partai itu agar terus berlarut-larut?,” tulis Bamsoet sapaan akrabnya yang dimuat Sindonews.com, pada Senin, 6 April 2015.

Saat itu, Yasonna dinilai tidak cermat dalam menerbitkan SK, tanpa melihat detail fakta-fakta keabsahan yang ditempuh ARB dkk untuk Partai Golkar dan Djan Faridz-SDA untuk PPP. Tiba-tiba Yasonna mengeluarkan surat keputusan pengesahan untuk kepengurusan kubu Agung Laksono dkk dan kepengurusan Romy dkk.

Penerbitan kedua SK itu karena baik kubu Agung Laksono di Golkar dan kubu Romy di PPP sudah mempertontonkan pilihan mereka untuk mendukung pemerintah, tidak salah juga kalau banyak kalangan menuduh Menteri Laoly berpihak alias tidak independen.

“Memahami posisi Menteri Laoly seperti itu, ARB dan Djan Faridz pun tidak tinggal diam. Keduanya menempuh cara-cara legal,” tulis Bamsoet lagi.

//delegasi(Sumber: tagar.id)

Komentar ANDA?