Cerita Bidan Fifi yang Hidup Berdampingan dengan Komodo

Avatar photo

 

Laban Bajo, Delegasi.com – Banyak hal yang membuat jantung Fifi Sumanti (24) berdegup kencang saat menjalani profesinya sebagai bidan.

Setelah lulus dari Akademi Kebidanan Syekh Yusuf Gowa di Makassar, Sulawesi Selatan, Fifi langsung kembali pulang ke tempat tinggalnya di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Tak disangka, ia langsung mendapat pasien malam itu juga.

Fifi bahkan langsung mendapat kasus yang cukup berat, yaitu seorang ibu hamil yang mengalami gejala eklampsia atau tekanan darah tinggi.

“Malamnya saya dipanggil warga karena ada ibu hamil yang mengeluh sakit kepala, bengkak di bagian kaki dan wajah. Saat itu sama sekali tidak ada bidan yang ada hanya satu perawat laki-laki,” cerita Fifi kepada Kompas.com.

Sebagai bidan yang baru saja wisuda, Fifi mengaku masih minim pengalaman menangani ibu dengan eklampsia. Ia pun hanya mengandalkan teori. Di pulau yang terkenal sebagai destinasi pariwisata dunia itu memang ada Puskesmas Pembantu (Pustu) Komodo.

Akan tetapi, fasilitas kesehatan masih terbatas dan persediaan obat saat itu sedang kosong. Tentu belum memungkinkan untuk menangani kasus berat.

Akhirnya Fifi memutuskan untuk merujuk ibu hamil tersebut ke Labuan Bajo. Labuan Bajo merupakan daerah pusat kota di Manggarai Barat. Saat itu, di sana pun hanya ada Puskemas Labuan Bajo. Rumah sakit besar baru ada di Labuan Bajo pada tahun 2016 ini.

Tapi, ibu hamil dan keluarganya tidak langsung bersedia untuk dirujuk. Padahal, situasi sudah darurat dan butuh keputusan cepat.

“Kebiasaan masyarakat Komodo itu kalau disuruh merujuk ke Labuan Bajo paling susah. Harus gunakan senjata pamungkas, seperti rayuan dan sedikit menakut nakuti. Ha-ha-ha,” ucap Fifi.

Setelah menjelaskan bahaya yang bisa dialami ibu hamil jika tidak segera dirujuk, keluarga pun setuju untuk membawa ibu hamil ke Labuan Bajo.

Pukul 23. 00 WIT, mereka berangkat menggunakan perahu motor untuk menyeberangi lautan. Butuh sekitar 4 jam untuk sampai di Labuan Bajo. Itu pun sangat tergantung gelombang laut.

Di pertengahan jalan, ibu hamil tersebut tiba-tiba kejang-kejang. Fifi merasa jantungnya mulai berdebar kencang. Di atas perahu, ia terus berdoa agar segera sampai di Labuan Bajo.

Singkat cerita, ibu hamil dan bayinya selamat setelah tindakan operasi. Hal itu adalah pengalaman pertama Fifi menangani ibu hamil di kampungnya.

“Setelah kejadian itu saya bertekad untuk mengabdikan diri sebagai sukarelawan dengan gaji Rp 50 ribu per bulan, itu pun kalau ada,” ucap Fifi.

ayangnya, Fifi tak langsung mendapat tugas praktik di kampung halamannya itu. Setelah lulus PNS, Fifi yang saat itu masih berusia 20 tahun, ditempatkan di daerah pegunungan Labuan Bajo.

Selama 11 bulan lamanya Fifi menjadi bidan di daerah itu. Sampai akhirnya, ia kembali mendapat penempatan baru tahun 2013 dan itu di tanah kelahirannya, Desa Komodo. Masyarakat Komodo menyambut hangat kehadiran Fifi kembali.

Tiga hari jelang pernikahan

Saat mulai praktik lagi di kampung halamannya, Fifi masih sering dihadapkan dengan situasi mendebarkan. Salah satu pengalaman yang paling sulit ia lupakan adalah saat menangani kasus gawat darurat jelang tiga hari waktu akad nikahnya.

Malam itu, April 2016, ada ibu melahirkan dengan plasenta tertinggal di dalam rahim. Ibu tersebut mengalami pendarahan hebat. Saat itu, Fifi hanya ditemani oleh bidan Mirna yang merupakan bidan honorer.

“Saya sempat melakukan manual plasenta tapi tidak berhasil, keadaan ibu semakin memburuk,” kata Fifi.

Lagi-lagi Fifi harus merujuk ibu tersebut ke Labuan Bajo. Namun, ibunda Fifi melarang anaknya itu pergi ke Labuan Bajo. Alasannya, “pamali” calon pengantin melakukan perjalanan jauh.

“Jawaban saya singkat saat itu, saya janji saya tetap akan berdiri di pelaminan 2 hari ke depan,” ucap wanita kelahiran 8 Mei 1992 itu.

Akhirnya, sekitar jam 12 malam, Fifi dan bidan Mirna melakukan perjalanan ke Labuan Bajo. Namun, perjalanan tak semulus yang dibayangkan.

Ibu hamil tersebut mengalami perdarahan hebat sampai perahu yang mereka tumpangi penuh dengan ceceran darah. Naasnya lagi, mesin perahu tiba-tiba mati di tengah gelombang laut.

“Saya semakin tidak kuasa menahan tangis, saya takut jika ibunya tidak bisa diselamatkan,” kenang Fifi.

Sambil menahan angin dingin yang menyesap ke dalam tubuhnya, Fifi sempat membayangkan baju pengantin warna merah marun yang akan dikenakannya dua hari lagi.

Beruntung, setengah jam kemudian mesin perahu akhirnya kembali beroperasi. Mereka tiba di Labuan Bajo pada waktu subuh yang masih gelap dan dingin.

Tak sia-sia, sang ibu selamat setelah harus mendapat banyak transfusi darah. Bayinya juga sehat dan kini sudah berusia 7 bulan.

100 persen persalinan di fasilitas layanan kesehatan

Di kampung halamannya itu, Fifi aktif menjalankan beberapa program pilihannya. Salah satunya adalah persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan harus 100 persen.

Hal ini merupakan upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Program Fifi juga sempat menuai pro dan kontra karena kebiasaan ibu hamil di sana lebih memilih melahirkan di rumah.

“Saya sadar, untuk mengubah cara berpikir mereka tidak segampang membalikkan telapak tangan. Lambat laun program saya Alhamdulillah sukses, bukan karena saya, tapi karena kesadaran masyarakat yang mulai membaik,” cerita Fifi yang saat ini sedang hamil 7 bulan.

Dalam waktu tiga tahun, Fifi berhasil membuat ibu hamil tak lagi melahirkan sendiri di rumah. Ia juga kerap melakukan penyuluhan dan mendatangi rumah-rumah ibu dengan kehamilan berisiko.

Sampai saat ini, ia satu-satunya bidan PNS di pulau tersebut. Terkadang ia dibantu satu atau dua bidan lainnya yang bekerja sukarelawan. Tidak ada perawat, apalagi dokter di Pulau Komodo.

Terkadang, mereka juga membantu menangani berbagai penyakit yang dikeluhkan masyarakat. Bahkan, sesekali ada pasien bule yang merupakan wisatawan mancanegara di sekitar Pulau Komodo

Ya, kampung mereka atau tepatnya Desa Komodo terletak di Pulau Komodo yang tak lain juga dihuni oleh lebih dari 1000 hewan komodo. Dulu, komodo masih berkeliaran bebas di pemukiman penduduk.

Tetapi, setelah banyak peristiwa masyarakat yang digigit komodo, daerah pemukiman telah dipagari agar tidak ada komodo yang bisa masuk.

Dalam satu Pulau Komodo, juga terdapat dua dermaga, yakni untuk ke Desa Komodo yang kini juga telah menjadi kampung wisata dan kawasan Loh Liang yang menjadi habitat hewan komodo.

Lahir dan besar di Pulau Komodo membuat Fifi banyak berharap untuk kemajuan kampungnya itu. Ia ingin masyarakat komodo bisa selalu mendapat air minum yang bersih dan memiliki lahan untuk berkebun sehingga bisa makan sayuran yang segar tanpa harus jauh-jauh ke Labuan Bajo.

Masyarakat pun bisa lebih sehat dan lebih sadar pentingnya pola hidup bersih dan sehat. Ia juga ingin anak-anak di Desa Komodo bisa menikmati pendidikan dan kesehatan yang lebih baik//delegasi (kompas.com)

Komentar ANDA?