“Kami minta pemerintah untuk lebih berhati- hati dalam mengambil kebijakan terkait dengan urusan perbatasan agar tidak berpotensi menimbulkan konflik baru dan sangketa berlanjut tanpa usai,”
Leonardus Lelo
Kupang, Delegasi.Com – Fraksi Partai Demokrat DPRD NTT mengingatkan pemerintah provinsi agar lebih berhati-hati dan mawas diri dalam mengambil kebijakan terkait dengan urusan penyelesaian tapal batas antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Demikian salah satu poin catatan kritis Fraksi Partai Demokrat dalam sidang paripurna DPRD NTT yang disampaikan juru bicara fraksi, Leo Lelo, Rabu (7/8/2019) malam.
Sidang paripurna itu dengan agenda penyampaian pemandangan umum fraksi- fraksi atas rancangan perubahan APBD NTT 2019.
Leo Lelo menyatakan, pihaknya memandang perlu mengingatkan pemerintah terkait penyelesaian masalah perbatasan, seperti perbatasan antara Manggarai Timur-Ngada maupun perbatasan di pulau Sumba.
Pemerintah provinsi mungkin merasa tegas dan yakin bahwa masalah ini sudah diselesaikan dengan mematok batas dan menyatakan diri sukses.
“Perlu dicermati bahwa masalah perbatasan ini masih terus menghangat pada level di bawah bahkan akar rumput,” tegas Leo Lelo.
Ia mengungkapkan, pemberitaan media massa sangat jelas menunjukkan, langkah yang telah diambil pemerintah provinsi dalam penyelesaian tapal batas antardaerah belum masih menyisahkan persoalan. Misalkan, adanya penolakan dari panitia khusus (Pansus) DPRD Manggarai Timur terkait pergeseran batas yang telah dilakukan. Juga adanya penolakan dari masyarakat Desa Wetana, Sumba Barat.
“Kami minta pemerintah untuk lebih berhati- hati dalam mengambil kebijakan terkait dengan urusan perbatasan agar tidak berpotensi menimbulkan konflik baru dan sangketa berlanjut tanpa usai,” tandas Leo Lelo mengingatkan.
Anggota DPRD NTT dari Fraksi PKB, Jhon Rumat menyampaikan, memang untuk menyelesaikan masalah perbatasan antara Manggarai Timur dan Ngada, gubernur sudah mempertemukan kedua belah pihak. Selain itu, bupati dua daerah bertetangga itu pun sudah menandatangi kesepakatan penyelesaian perbatasan. Namun kesepakatan yang diambil waktu itu dinilai tidak tepat karena mengabaikan sejarah dan sosial budaya masyarakat di perbatasan dimaksud.
“Kita harus kepada sejarah terbentuknya Kabupaten Manggarai dan kini Manggarai Timur yang berbatasan dengan Ngada,” tandas Jhon.
Ia menyatakan, pilar-pilar batas menjadi bukti sejarah yang ditanam beberapa dekade lalu tidak boleh digeser. Masyarakat jangan dibenturkan hanya karena memenuhi keinginan pemerintah menyelesaikan masalah perbatasan secara cepat dengan mengabaikan aspek prinsip dan sejarah.
Terkait kesepakatan yang diambil dengan menggeser titik batas, Jhon menegaskan, perlu dibahas ulang. Gubernur harus memediasi kembali masyarakat pemilik tanah di wilayah perbatasan, baik masyarakat Manggarai Timur maupun Ngada.
“Jangan mempertentangkan soal status kependudukan masyarakat di perbatasan, tapi yang dipertentangkan adalah hak ulayat masyarakat Manggarai Timur dan Ngada,” papar Jhon.
//delegasi(hermen)