Polkam  

Dewan Kesal, Dana Covid-19 Rp 710 M Belum Dicairkan Pemprov NTT

Avatar photo

“Saya heran, Pemprov ini kerjanya apa saja selama 3 bulan ini. Dari pertemuan-pertemuan sebelumnya, alasannya sama saja. Data belum ada.  Gubernur dan Wagub kerjanya apa saja sehingga tidak bisa hadir dalam Dalam Paripurna? Dewan Rapat Paripurna, Wagub jalan ke Maumere dan keliling Flores. Kerja apa ini? Kita DPRD sebagai lembaga kecewa sekali,”

Viktor Mado Watun

 

 

KUPANG, DELEGASI.COM – Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTT tampak kesal dan kecewa karena alokasi dana tanggap darurat sebesar Rp 710 Milyar oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT belum ‘dicairkan hingga saat ini (hanya beberapa hari lagi akan diberlakukan ‘New Normal’ alias tatanan hidup baru, red).

Kekesalan dan kekecewaan itu tampak dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III DPRD NTT dengan Badan Keuangan Daerah (BKD) NTT, Selasa (9/6/20).

Kekesalan dan kekecewaan itu diperlihatkan beberapa anggota Komisi III DPRD NTT ketika Kepala BKD NTT, Sakarias Moruk mengungkapkan bahwa dana tanggap darurat Covid-19 sekitar Rp 710 M belum dapat dicairkan karena menunggu data dari Pemkab/Pemkot se-NTT.

Menurut Moruk, hanya Pemerintah Pusat yang telah mencairkan dana JPS dan bantuan langsung Sembako.

“Selama ini dana yang bisa disalurkan hanya dari pusat, sedangkan dari APBD kabupaten maupun propinsi belum sama sekali,” ujar Moruk menanggapi pertanyaan beberapa anggota Komisi III yang mempertanyakan realisasi dana tanggap darurat Covid-19.

Moruk menjelaskan, dari total alokasi dana tanggap darurat Covid-19 Rp 810 M, alokasi untuk pencegahan dan penanganan Covid-19 sekitar Rp 100 M yang telah dicairkan.

“Untuk penanganan Covid yang sampai hari ini sudah dicairkan sekitar Rp 80 M lebih ke Dinas Kesehatan, RSUD, Badan Kesbangpol, Dinas Sosial dan Kominfo yang merupakan OPD-OPD pendukung.  Sedangkan alokasi dana Rp 105 M untuk JPS (Jaringan Pengaman Sosial) dan Pemberdayaan Masyarakat Rp 605 M belum dicairkan sampai saat ini karena kami masih menunggu data dari Pemkab/Pemkot se-NTT,” katanya.

Karena terkendala masalah data penerima yang belum valid itu, jelasnya, sehingga Pemprov NTT belum mencairkan dana JPS dan Pemberdayaan Masyakat.

“Kami berharap pandemi Covid ini selesai sehingga dapat dialokasikan kembali pada kegiatan semula termasuk untuk bapak/ibu dewan (dana Pokir, red),” ujar Moruk.

Menanggapi penjelasan Moruk, Wakil Ketua Komisi III DPRD NTT, Viktor Mado Watun tampak kesal dan menyatakan kekecewaannya.

Viktor Mado Watun

 

“Saya heran, Pemprov ini kerjanya apa saja selama 3 bulan ini. Dari pertemuan-pertemuan sebelumnya, alasannya sama saja. Data belum ada.  Gubernur dan Wagub kerjanya apa saja sehingga tidak bisa hadir dalam Dalam Paripurna? Dewan Rapat Paripurna, Wagub jalan ke Maumere dan keliling Flores. Kerja apa ini? Kita DPRD sebagai lembaga kecewa sekali,” ujarnya kesal.

Menurut Mado Watun, Gubernur Laiskodat harusnya memimpin langsung kegiatan pencegahan dan penanganan Covid-19.

“Lalu Gubernur dimana? Kita DPRD ini dalam situasi covid seperti ini harus diberitahu, kalau gubernur dan wakil gubernur tidak ada. Harusnya gubernur memberikan perhatian serius terhadap penanganan Covid-19. Seperti yang di Jawa Barat, gubernur yang mengumumkan tentang covid. Gubernur memimpin langsung penanganan Covid-19 di lapangan,” tandasnya.

Mado Watun menekankan, harus ada data yang valid sebelum dana JPS dan Pemberdayaan Ekonomi disalurkan.

“Soal data, tadi pak Kaban jelaskan belum ada data tapi mau salurkan uang. Aduh … ini kerja orang gila. Tidak ada data tapi kita mau salurkan uang APBD yang begitu besar. Sebenarnya untuk pandemi covid ini, data harus clear dari tingkat terendah (dari desa/kelurahan, red).

Dan gubernur harus berdiri sebagai komandan,” tegasnya.

Masalah data warga penerima bantuan yang belum valid, lanjut Mado Watun, dapat diselesaikan dengan cepat jika gubernur bersikap tegas.

“Tidak akan berkepanjangan jika gubernur bertindak tegas terhadap para kepala daerah yang belum memasukan data. Harus ada sanksi tegas. Karena itu saya pesan melalui Pak Kaban, kami minta agar Pak Gubenur mengambil peran untuk menyelesaikan masalah data ini dari kabupaten/kota agar tidak menimbulkan konflik di masyarakat di saat seperti ini,” tandasnya dengan nada kesal dan kecewa.

Mado Watun menjelaskan, masalah data calon penerima bantuan dapat diselesaikan dengan sederhana.

“Saya berpikir sederhana, kalau ada 200 kk di desa maka di sharing APBD II tanggulangi berapa? Dana desa berapa? Pusat berapa? Propinsi berapa? Tidak usah pakai prosentase tapi pakai sharing begitu saja. Tapi disepakati besarannya Rp 600 ribu semuanya,” tuturnya.

Menurut Viktor, harusnya bantuan itu sudah harus disalurkan kepada masyarakat NTT yang sangat membutuhkan di saat masa pandemi Covid-19.

“Saya minta pak kaban sampaikan kepada pak gub, data harus clear. Kalau data tidak clear jangan disalurkan dulu. Minimal pengeluaran dana APBD yang begitu besar harus dirasakan oleh masyarakat. Kalau penyalurannya tetap membuat masalah di masyarakat, saya rasa pemerintah gagal. Karena itu kami minta minimal gubernur harus jadi komandan untuk menyelesaikan masalah data dan penyaluran bantuan kepada masyarakat dalam jangka waktu secepatnya,” pesannya.

Hal senada juga katakan Anggota Komisi III DPRD NTT, Jhon Halut.

“Sedikit lagi sudah diberlakukan new normal, tapi  sampai saat ini belum ada penyaluran bantuan padahal seharusnya sudah dicairkan sebagian dananya. Ini bagi saya tidak masuk akal. Realokasinya cepat tapi realisasinya sampai saat ini tidak ada. Bahkan mungkin sampai akhir tahun pun tidak ada realiasai kalau masih menunggu data.  Sampai saat ini, hanya dana untuk APD (Alat Pelindung Diri, red) saja yang sudah dicairkan,” kritiknya.

Wakil Ketua Komisi III, Leonardus Lelo juga menyatakan kekesalannya terkait data yang tidak valid yang menjadi alasan Pemprov untuk tidak menyalurkan bantuan JPS dan Pemberdayaan Masyarakat.

“Saya heran dinas sosial kabupaten/kota ini kerja apa saja? Menurut Kemensos, data itu menjadi kewenangan kabupaten/kota, pusat hanya menyetujui. Tiap 6 bulan diperbaharui, 1 tahun 2 kali, tapi model pendataan seperti ini kacau sekali,” ujarnya kesal.

Refocusing, lanjut Lelo, tujuannya untuk pemberdayaan masyarakat terdampak.

“Tidak bisa refocusing semaunya saja. Karena itu saya ingin ada presentase, kegiatannya ini dampaknya seperti ini. Contohnya jalan, apakah proyek jalan ini berkorelasi langsung dengan peningkatan ekonomi masyarakat? Apa penting kita bangun jalan? Penting tapi di saat pandemi covid seperti ini, belum tentu berkorelasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.

Pihaknya berharap, ada skema pemberdayaan ekonomi masyarakat dari dana Covid-19 Rp 605 M dari masing-masing OPD (Organisasi Perangkat Daerah, red) dibantu Bapeda.

“Bukan kita refocussing semau kita. Oh pak gub punya begini. Dinas mau begini. Tidak boleh semaunya. Tapi harus pakai analisis yang bagus. Saya yakin tingkat pertujmbuhan akan terukur,” kritik Lelo.

 

//delegasi(*/tim)

Komentar ANDA?