ADA sejumlah anggapan bernada minor yang ditujukan kepada para birokrat yang ada di daerah NTT antara lain : birokrasi kusam mentok pada rumus pengelolaan keuangan: terima lalu belanja. Terima dari negara, lalu dibelanjakan untuk pegawai dan publik. Uang sedikit, sedikit pula pembangunan. Kerja asal jadi dan asal-asalan. Tak ada inovasi, pun kreativitas. Ia mirip orang gajian; terima, belanja, lalu habis. Ia tergantung total pada gajian
Oleh : Valeri Guru (Pranata Humas Dinas Perpustakaan Provinsi NTT)
Alas Kata
ADA sejumlah anggapan bernada minor yang ditujukan kepada para birokrat yang ada di daerah NTT antara lain : birokrasi kusam mentok pada rumus pengelolaan keuangan: terima lalu belanja. Terima dari negara, lalu dibelanjakan untuk pegawai dan publik. Uang sedikit, sedikit pula pembangunan. Kerja asal jadi dan asal-asalan. Tak ada inovasi, pun kreativitas. Ia mirip orang gajian; terima, belanja, lalu habis. Ia tergantung total pada gajian. Selalu minus ide soal act and think out of the box (bandingkan editorial harian Victor News, Selasa, 3 Oktober 2017).
Nah, setelah membaca, mencerna dan mencoba memahami isi teks dan konteks tulisan editorial di atas, tergugah hati dan pikiran saya untuk menulis dan memberi pencerahan ala kadarnya. Dan kalau benar birokrasi di daerah ini minus ide maka akan berdampak pada kualitas pelayanan publik yang lebih luas. Bahkan bisa berakibat pada polusi birokrasi memimjam istilah Lawrence J. Peter (2007) dalam Kompas Rabu 20 September 2017.
Apa itu polusi birokrasi ? Sebuah polusi yang dilahirkan dari macam-macam produk kebijakan yang tidak ramah kepada rakyat yang tidak mendatangkan maslahat, malah justru memantik kehebohan, keriuhan, perdebatan, dan juga cenderung menguras energi. Polusi yang demikian ini kadar bahayanya lebih dahsyat mengingat ia akan berimbas langsung pada mekanisme jalannya stabilitas tatanan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.
Hal ini telah diingatkan oleh filsuf Perancis Jean Baudrillard (1929). Ia mengatakan : “manusia dewasa ini tidak mendefinisikan diri berdasarkan apa yang dia hasilkan, melainkan apa yang dia konsumsi. Orang tidak merasa bangga karena telah menghasilkan sesuatu, tetapi kalau dapat menggunakan sesuatu.”
Karena itu, kalau gagasan Baudrillard disandingkan dengan teks editorial di atas maka tepatlah sudah klaim bahwa birokrasi kita hanya bisa belanja atau menghabiskan uang negara dan minim inovasi apalagi kreativitas untuk membangun dan melayani masyarakat di daerah ini. Isi editorial ini secara kasat mata memang sangat menusuk kalbu para birokrat kita. Tapi penting untuk diingatkan. Atau paling tidak ada otokritik agar ada perbaikan demi pelayanan yang lebih bermartabat.
Mentalitas inovator
Dalam berbagai kesempatan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya selalu berpesan agar kita tidak boleh ‘miskin” dalam berinovasi dan berkreativitas. “Sumber daya alam memang sangat terbatas tapi kita tidak boleh minus dalam inovasi dan kreativitas,” kata Frans Lebu Raya. Tapi apakah pesan ini menggugah masyarakat termasuk para birokrat untuk dan melaksanakannya dalam tugas dan pelayanan sehari-hari ? Hanya rumput yang bergoyang yang bisa menjawabnya…!
Harus diakui bahwa orang sering kali takut mendengar kata inovasi, seolah-olah menjadi inovator itu sesulit menemukan roda bulat semasa semua orang berjuang mencari cara praktis memindahkan benda berat. Inovasi tidakah harus seinventif itu. Inovasi pada dasarnya adalah menemukan cara-cara baru dari hal-hal yang sudah menjadi rutinitas, dan tanpa disadar, ternyata sudah usang. Inovasi juga bukan sekadar menggunakan ponsel tercanggih ataupun tahu software terbaru. Inovasi berarti pemimpin sampai bawahan (pengikut) harus mencemplungkan diri, menguik dan mengotorkan tangan dalam proses bisnis, berkarya dan berpikir tentang apa yang bisa diperbaharui, dan peluang apa yang bisa diambil, dengan bermodalkan pengalaman, pengetahuan serta network yang ada.
Terkait dengan hal inovasi, Charles Prather dan Lisa Gundry dalam bukunya Blueprints for innovations memberikan tiga resep dalam melakukan inovasi strategi yaitu : edukasi, aplikasi dan lingkungan. Edukasi artinya para pemimpin kita harus dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan dalam berinovasi dan memenangkan persaingan atau kompetisi dalam dunia yang riil. Seanjutnya edukasi perlu diikuti dengan aplikasi sehingga para pemimpin kita dapat menerapkan apa yang sudah mereka pelajari. Kesemuanya ini perlu didukung oleh lingkungan yang kondusif, khususnya lingkungan internal organisasi atau instansi pemerintah itu sendiri. Ini berarti perlu adanya budaya organisasi yang mendukung inovasi. Satu unsur penting dari lingkungan adalah kesediaan untuk menerima perbedaan pendapat atau pandangan dalam mengimplementasikan ide atau gagasan yang inovatif dan kreatif itu.
Kunci Sukses Pemimpin
Setiap orang adalah pemimpin dan semua itu dimulai dari kepemimpinan diri sendiri. Ketika kita sudah terbiasa memimpin diri dengan cara-cara profesional, kita dapat mengatur hidup dengan berkualitas, serta memiliki strategi dan taktik yang tepat. Kepemimpinan diri membangun kemandirian dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti semua perilaku kita terarah dan berfokus pada tujuan, bukan sekadar aksi dan reaksi. Setiap tindakan kita memiliki ukuran yang tepat dan dampak positif terhadap tujuan kita. Kepemimpinan diri yang unggul merupakan kekuatan untuk mencapai kesuksesan yang lebih dari sebelumnya.
Karena itu, paling tidak ada tiga kunci sukses dalam mengembangkan kepemimpinan diri yakni pertama, memiiki kepercayaan diri yang kuat; kedua, memiliki tujuan dan fokus; dan ketiga, memiliki rencana dan tindakan. Theodore Roosevelt dalam Kompas, Sabtu 9 September 2017 mengatakan, aku memimpikan orang-orang yang mengambil langkah berikutnya, bukan yang mencemaskan ribuan langkah berikutnya.
Kita memang mengharapkan pemimpin yang kuat, dicintai bawahan atau para pengikutnya, mampu menggerakkan tim ke tujuan yang jelas, tidak menunda-nunda, dan mampu mendistribusi beban kerja dengan prima sehingga bawahan merasakan kebersamaan yang menyenangkan dan sekaligus mau bekerja keras untuk menunjang pencapaian visi organisasinya. Joshua Spodek dalam bukunya step by step leadership menyatakan bahwa tantangan untuk menjadi seorang pemimpin hanya bisa dilakukan dengan latihan. Seorang pemimpin perlu mengasah ketrampilan sosial, emosional, dan ekspresinya. Pemimpin harus mampu menggambarkan dirinya sebagaimana orang memandang dirinya.
Disadari atau tidak, dunia dewasa ini termasuk NTT membutuhkan pemimpin yang jujur dan mengabdi dengan tulus hati. Pemimpin yang konsisten antara apa yang dipikirkan, dipercakapkan dan apa yang diperbuat. Jika tidak maka masyarakat hanya menemukan dan merasakan pemimpin yang senantiasa terjebak dalam rutinitas belaka dan cenderung konsumtif. Artinya, apa yang ada (uang di dalam APBD) itulah yang dihabiskan. Bung Hatta pernah berpesan : “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki.”
Di tikungan ini sebenarnya kita sedang mencari dan membutuhkan figur atau sosok pemimpin di daerah ini yang penuh dengan semangat inovatif dan kreativitas tinggi demi memajukan dan mensejahterakan rakyat di daerah ini. (*)