KUPANG, DELEGASI.COM – Diduga ada hubungan cinta terlarang alias perselingkuhan antara 2 (dua) oknum ASN di Kota Kupang; inisial VFM (Pegawai Kantor Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman Kota Kupang) dan IB (Pegawai Kantor Badan Pertanahan Kota Kupang) dibalik kasus pemalsuan Surat Hak Milik (SHM) Tanah yang merugikan seorang pengusaha muda di Kota Kupang berinisial AKA senilai Rp. 586,000,000 (Lima Ratus Delapan Puluh Enam Juta Rupiah).
Hal ini terungkap dalam sidang di Pengadilan Negeri Kelas 1 Kupang pada Jumat (05/09/2020).
Seperti disaksikan tim media ini dalam sidang yang dipimpin oleh Majelis Hakim; Sarlota Suek, SH (Hakim Ketua), Fransiska P. Paula Nino, SH, MH (anggota), dan Maria R.S. Maranda, SH dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Abdul Rahman, SH, baik JPU maupun Majelis Hakim ‘mencium’ adanya ‘aroma perselingkuhan’ antara VFM dan IB di balik kasus tersebut, berdasarkan jawaban VFM atas pertanyaan JPU maupun majelis hakim.
Ditanyai Jaksa Penuntut Umum, Abdul Rahman, SH sejak kapan dan dimana dirinya (VFM, red) mengenal IB? VFM pun menjawab bahwa dirinya sudah mengenal dan berteman dengan IB sejak lama, sekitar tahun 2017.
Lalu tentang alasan mengapa dirinya menyerahkan seluruh proses pengurusan sertifikat SHM miliknya kepada IB ketimbang pergi sendiri mengurusnya langsung di BPN, VFM menjawab, “Saya serahkan proses pengurusan sertifikatnya ke ibu Iin karena percaya saja pada ibu Iin.”
VFM bahkan menceritakan, setelah menerima sertifikat tanah dari IB, ia menyimpannya di dalam lemari dan tidak pernah membuka sertifikatnya, dan tidak tahu apakah sertifikat yang disimpan itu asli atau palsu. Ia juga tidak pernah berpikir waktu itu untuk mengecek keaslian sertifikat tersebut ke BPN Kota.
Lebih lanjut ditanyai JPU, untuk apa dan mengapa memberi IB uang sebesar itu (Rp. 400,000,000, red)? VFM pun menjawab, “Uang itu saya pinjamkan ke ibu Iin.” Namun keterangan VFM tersebut dibantah langsung IB di persidangan. “Keterangan pak Viktor tidak benar. Uang itu Ia berikan kepada saya,” ungkapnya. Mendengar keterangan IB tersebut, VFM pun hanya menunduk tersenyum.
Mendengar keterangan VFM dan bantahan IB, Hakim Ketua, Sarlota M. Suek, SH pun dengan tegas bertanya kepada VFM apakah uang tersebut yang diberikan/dipinjamkan kepada IB itu diketahui istrinya? VFM dengan tersenyum menatap majelis hakim dan menjawab, “istri saya tidak tahu.”
Lalu Hakim Ketua, Sarlota Suek, SH mencecar VFM lagi, “berarti anda ini tidak jujur dengan isteri anda sendiri. Kasian istri dan anakmu hadir disini, duduk di belakang mendengar langsung keterangan anda ini, sebagai seorang isteri dan anak pastinya sakit hati mendengar keterangan anda seperti ini.” VFM pun tersenyum lebih lebar lagi seperti tidak ada beban bersalah.
“Kok begitu mudahnya anda percaya sama IB; menyuruhnya mengurus balik nama sertifikat, lalu memberikan uang sebesar Rp. 400 Juta tanpa sepengetahuan isteri anda?”tanya Hakim Ketua Lebih lanjut.
VFM menjawab lagi bahwa dirinya sudah mengenal IB sejak lama dan berteman cukup dekat sehingga percaya saja IB dan memberikan uang Rp. 400 juta itu kepada IB, “hanya saya tidak kasi tau istri,” tandasnya.
Hakim Ketua, Sarlota Suek pun mengkonrontasi VFM apakah menurutnya perbuatanya itu (beri sertifikat yang palsu kepada AKA dan memberi uang ke IB Rp 400 Juta ke IB tanpa sepengetahuan isterinya, red) salah atau benar? VFM dengan senyum malu-malu menjawab,” salah bu, saya akan minta maaf kepada pak Abee.”
Hakim Ketua, Sarlota Suek kembali menghardik VFM. “ya dengan pak Abee nanti, tetapi lebih kasian isteri dan anakmu yang duduk disini mendengar anda di belakang. Anda ini berdosa loh! Anda menipu isteri, jadi minta maaf kepada isteri dan anakmu, juga kepada Tuhan,” nasehatnya.
Setelah IB dan VFM memberikan keterangan terkait kasus tersebut, Hakim Persidangan, Sarlota M. Suek SH mempersilahkan keduanya duduk sejajar di kursi terdakwa.
IB pun beranjak dari posisi duduknya (tergugat,red) menuju bangku dimana telah duduk VFM menghadap Majelis Hakim.
“Lu maksud apa bilang pinjaman?” tanya IB kepada VFM dengan wajah memelas sambil duduk di samping kanan VFM. VFM pun hanya tersenyum kecil dengan wajah memerah.
Hakim lalu bertanya kepada keduanya, “masih ada keterangan tambahan yang ingin saudara berdua sampaikan?”
Keduanya pun hanya terdiam tanpa kata dan Hakim Sidang pun menutup sidang tersebut dan mengumumkan sidang akan dilanjutkan Pada Selasa (22/09/2020) dengan agenda mendengar tuntutan jaksa penuntut umum.
Setelah sidang ditutup Majelis Hakim, IB yang mengenakan rompi orange (bertulis punggung ‘TAHANAN KEJAKSAAN NEGERI KOTA KUPANG’, red) langsung bergegas keluar meninggalkan ruang sidang dengan mengerutu melewati barisan bangku dimana duduk istri dan anak dari VFM.
Sesampainya di lorong menuju pintu keluar tahanan menuju ruang/mobil tahanan, IB berhenti dan berdiri dengan wajah menghadap ke arah pintu keluar ruang sidang itu, seakan menunggu seseorang yang akan keluar dari ruang persidangan tersebut.
Sesaat kemudian, keluarlah VFM melewati barisan bangku yang sama dimana sedang berdiri isteri dan anaknya.
Namun tanpa menghiraukan keduanya, VFM langsung berjalan keluar pintu ruang persidangan. Isteri dan anak VFM hanya terdiam dan dengan wajah pasih tetap memandang ke arah jalannya sang suami/ayah yang seakan tanpa beban dan memperdulikan keduanya yang sedang berdiri menunggu.
Di lorong menuju pintu keluar tahanan Pengadilan Negeri itu, VFM bertemu IB dan keduanya nampak memperdebatkan sesuatu hal terkait keterangan mereka berdua di persidangan hari itu (05/09/2020).
Seperti diberitakan sebelumnya (18/08/2020), dua oknum Pegawai Negeri Sipil di Kota Kupang, masing-masing: Iin Bria alias IB (Pegawai Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Kupang) dan Viktor Ferdinan Maubana alias VFM (Pegawai Kantor Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman Kota Kupang) diduga memalsukan sertifikat tanah alias Surat Hak Milik/SHM (SHM nomor 05828 dan SHM nomor 05829) yang mengakibatkan kerugian korban inisial AKA sebesar Rp 586.000.000. Atas perbuatan itu, VFM dan IB saat ini duduk di ‘Kursi Pesakitan’ sebagai terdakwa.
Kronologi kasus tersebut bermulai dari tahun 2018, dimana VFM menawarkan 2 (dua) bidang tanah bersertifikat hak milik kepada AKA dengan harga Rp.800.000/per meter namun tawaran VFM tersebut tidak ditanggapi karena terlalu mahal.
Beberapa bulan kemudian, lanjut Nixon, terjadi negosiasi ulang antara VFM dengan AKA terkait penjualan object tanah milik VFM. Dan AKA setuju dengan harga Rp.500.000/per meter. VFM lalu mengirimkan Foto/Copyan Sertifikat Hak Milik (SHM) melalui WA.
Lalu di bulan November 2018, VFM bersama AKA meninjau 2 (dua) lokasi object tanah yang mau dibeli.
Disaat itu terdakwa, IIN BARIA (IB) datang ke lokasi tersebut bersama 2 (dua) orang saksi yang tidak dikenal AKA untuk melakukan pengukuran tanah dimaksud. “Saat pengukuran batas tanah, AKA hanya memegang copyan sertifikat (yang diprint dari WhatsApp/WA) yang telah dikirim VFM sebelumnya,” ujarnya.
Setelah pengukuran terjadi, lanjutnya, AKA berkomunikasi dengan VFM meminta agar VFM menyerahkan Sertifikat Asli object tanah dimaksud ke Notaris Sarlina Sari Dewi Darmawan. VFM pun berjanji bahwa Sertifikat akan diantar orangnya (temannya, red) ke Notaris Sarlina Sari Dewi Darmawan.
Dua sertifikat tersebut lalu diantar oleh terdakwa IB (Pegawai BPN Kota Kupang yang adalah teman VFM, red) ke kantor Notaris Sarlina Sari Dewi Darmawan. Setelah itu IB menginformasikan kepada AKA bahwa Sertifikatnya telah diantar ke notaris.
AKA lalu menelepon VFM untuk memastikan apakah IB (terdakwa, red) itu yang dimaksud orangnya pak Viktor dan VFM menjawab, “iya itu orang saya.”
AKA kemudian meminta Notaris Sarlina Sari Dewi Darmawan agar melakukan pengecekan 2 (dua) Sertifikat asli tersebut ke kantor BPN Kota Kupang: apakah 2 sertifikat tersebut benar sudah terdaftar di BPN sesuai Buku Tanah yang ada di BPN.
Keesokan harinya, terdakwa IB kembali ke kantor Notaris Sarlina untuk mengambil 2 sertifikat tersebut dan melakukan pengecekan di Kantor Pertanahan Kota Kupang (tanpa melalui loket pemeriksaan, red).
Beberapa waktu kemudian setelah itu, terdakwa IB menyerahkan kembali 2 sertifikat tersebut ke Kantor Notaris SarlinaSari Dewi Darmawan.
Setelah dilihat, ternyata memang di sertifikat tersebut sudah tertera cap BPN yang menerangkan bahwa sertifikat tersebut tertulis asli.
Kemudian berdasarkan informasi tersebut, AKA meminta Notaris (Sarlina Sari Dewi Darmawan, red) menyiapkan Penandatanganan Perjanjian Jual Beli (PPJB).
PPJB tersebut kemudian ditandatangani oleh VFM selaku penjual bersama isteri dan AKA selaku pembeli dihadapan notaris.
Saat itu juga AKA menyerahkan sejumlah uang kurang lebih sebesar Rp. 2000,000 (Dua Ratus Juta Rupiah) cash sebagai tanda ikatan PPJB.
Uang tersebut diterima VFM bersama isteri yang diikuti penandatanganan kwitansi tanda terima uang dihadapan Notaris, pada bulan oktober tahun 2018. Saat itu juga AKA berjanji akan melunasi (menyerahkan sisa pembayaran tanah, red) pada bulan Januari 2019 dan setelah itu baru dibuatkan akta jual belih.
Selanjutnya pada waktu yang dijanjikan yakni Januari 2019, AKA hadir lagi di kantor notaris dengan membawaserta bukti kwitansi panjar sebesar Rp 200,000,000+ yang pernah diberikan ditahap pertama sebelumya. Juga kwitansi sisa pembayaran tahap II yang sudah dilunasi AKA.
Jadi total semuanya mencapai Rp.586,400,000-. Angkanya mencapai jumlah tersebut karena AKA menanggung sebagian besar pajak dari penjual (VFM, red) karena VFM selaku penjual merasa keberatan pajaknya terlalu tinggi.
Setelah pengikatan akta jual beli itu dilakukan dan ditandatangani VFM bersama isteri, AKA meminta kepada Notaris untuk memproses balik nama 2 sertifikat tersebut dari nama VFM ke AKA.
Berdasarkan permintaan itu, Notaris menyuruh stafnya ke Kantor Pertanahan untuk mengurus proses balik nama (melalui jalur pemeriksaan loket, red), barulah loket mengecek dan menemukan ternyata 2 sertifikat tersebut tidak dapat diproses untuk balik nama karena 2 sertifikat tersebut asli tetapi palsu.
Blangkonya asli produk Badan Pertanahan, tetapi isinya palsu yakni nomor pemegang haknya; baik itu nama pemilik asli dan bidang tanah tersebut yang terdaftar di Kantor Pertanahan atas nama orang lain dan bidang tanah itu berada di tempat lain.
// delegasi (*/tim)