Jakarta,Delegasi.com – Anggota DPD asal Kalimantan Selatan Sofwat Hadi mengakui lembaga DPD tak terlalu mendapat sorotan dari masyarakat.
Namun, kisruh dan polemik di internal membuat DPD belakangan menjadi perhatian publik. Ini membuat Sofwat khawatir DPD hanya dikenal publik sebagai lembaga yang kerap kisruh.
“DPD jadi terkenal karena berita tidak baik dan berita yang mengecewakan masyarakat di daerah,” ujar Sofwat dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (8/4/2017).
Kericuhan dan kekerasan dalam rapat paripurna DPD lantaran ada perbedaan pendapat menyikapi putusan Mahkamah Agung.
MA menerbitkan keputusan atas uji materi terkait Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2016 yang mengatur masa jabatan Pimpinan DPD menjadi 2,5 tahun. MA mengabulkan pembatalan tatib tersebut.
Artinya, masa jabatan Pimpinan DPD dikembalikan menjadi lima tahun.
Dengan adanya putusan MA, sebagian kalangan menilai tak ada dasar hukum bagi DPD RI untuk memilih pimpinan periode 2017-2019.
Menurut Sofwat, semestinya seluruh anggota DPD mematuhi putusan MA yang berkekuatan hukum.
“Walau peraturan untuk internal, tapi DPD tidak boleh melanggar undang-undang,” kata Sofwat.
Namun, pada akhirnya Wakil Ketua MA Suwardi mendampingi tiga pimpinan baru DPD, yakni Oesman Sapta sebagai ketua, dan Nono Sampono serta Darmayanti Lubis sebagai wakil ketua, mengucap sumpah jabatan.
“Kalau sudah melanggar peraturan yamg lebih tiggi, undang-undang, itu kewenangan MA untuk meluruskan,” kata Sofwat.
Anggota DPD RI dari Jawa Tengah Akhmad Muqowam mengutarakan pendapat senada. Ia menyayangkan persoalan internal di DPD menjadi ramai di luar.
“Jangan ademokratis, jangan kekanak-kanakan. Jadi mestinya sesuatu yang dilakukan di dalam tidak perlu dibawa keluar,” kata Muqowam.
Keputusan MA menjadi kontroversi saat dibacakan dalam Rapat Panitia Musyawarah yang digelar DPD.
Ada pro dan kontra dalam menafsirkan putusan MA tersebut. Sebab, terdapat kesalahan pada putusan itu.
Hal ini menjadil multitafsir, ada yang menganggap putusan itu harus dijalankan, ada juga yang menganggap cacat karena salah ketik, sehingga tak bisa dijadikan dasar hukum.//delegasi(kompas.com)