“Penelitian ekoleksikon ritual keda kanga pada Guyub Tutur Bahasa Lio-Ende Flores (GTBLEF), didasari atas kerisauan terhadap realitas akibat dampak perubahan iklim dan cara pandang yang terjadi saat ini, bahwa pola pikir dan sistem berkehidupan oleh masyarakat pada umumnya, khususya GTBLEF yang kian tergerus oleh era kemoderenan. GTBLEF mulai menunjukkan keangkuhan berinteraksi yang sangat massif terhadap sosiobudaya dan sosioekologis, sehingga perlu ditanggapi serius oleh semua generasi pemakainya sebagai bagian dari entitas dan identitas kelingkungannya”.
Dr. Patrisius Kami, S.Pd., M.Hum
SUKU Lio adalah suku tertua dan suku terbesar yang ada di Pulau Flores. Kendati Suku ini masih sangat sakral memegang teguh tradisi dan budaya warisan para leluhur namun sebagian tradisi dan ritual adat sebagai simbol identitas, kebesaran, keperkasaan, dan kewibawaan secara sosial budaya suku Lio kian tergerus jaman
Bahasa Lio-Ende Flores sebagaimana layaknya bahasa daerah lainnya di Indonesia, memiliki keanekaragaman budaya, tradisi, adat, dan bahasa lokal yang menunjukkan sistem dan perilaku berpikir, baik secara sosioekologis maupun sosiokultural.
Banyak elemen budaya, adat, dan tradisi Lio Ende beradaptasi untuk diberdayakan dan dimanfaatkan, meski secara faktual dan fungsional, sendi-sendi kebudayaan lokal itu meunjukan gejala keterpojokan bahkan bergeser nilai-nilai keetnikan.
Sebagian di antara kekuatan kebudayaan warisan leluhur itu memang masih terekam kuat dalam memori dan pola hidup generasi tua. Akan tetapi, dinamika kehidupan nasional dan global mulai menggusur, meminggirkan, dan mengancam kebermaknaan, keberlanjutan, dan kelestarian sebagaimana tampak pada perubahan prinsip, pola, dan gaya hidup generasi muda Lio-Ende bahkan Indonesia umumnya.
Melihat fenomena dan dinamika kehidupan masyarakat Lio-Ende yang kian hari terus berubah akibat perkembangan zaman, penelitian terhadap ritual keda kanga ‘rumah adat’ ini sangat diperlukan, sehingga eksistensi dan kewibawaan secara sosial budaya tetap dipertahkan dan dijunjungtinggikan, sebagai entitas dan identitas yang mengandung makna dan nilai-nilai kehidupan, baik secara sosioekologis maupun secara fisikalekologis.
Dengan pengertin lain, bahwa lingkungan hidup masyarakat Lio-Ende sejatinya telah menjadi sumber daya imajinasi, inspirasi, dan kreasi dalam membangun tradisi, adat, dan elemen-elemen budaya lokal, dan itu diharapkan tetap dipertahankan dan diwariskan, karena keda kanga tidak sekedar simbok estetikvisual saja, namun sebagai simbol identitas, kebesaran, keperkasaan, dan kewibawaan bagi masyarakat Lio-Ende bahkan kabupaten Ende pada umumnya.
Proses ritual keda kanga merupakan bagian dari bahasa dan lingkungan, sebagai bentuk bangunanan bahasa yang menggambarkan hasil leksikalisasi, gramatikalisasi, tekstualisasi, kontekstualisasi dan kulturalisasi berbasis keberagaman yang ada di lingkungan.
Di sisi lain, ritual keda kanga juga sebagai wujud dari lingkungan bahasa yang membatasi ruang hidup yang ragawi (fisik) dan rohani (kultural) yang menggambarkan pentingnya eksistensi berkarakter, berbudaya dan beradab, seperti yang pandangan Fowler dan Kress (Zainuddin, 2013) menyatakan bahwa semua bahasa diwujudkan dalam ideologi.
Fenomena dan inetrraksi dalam konteks ritual keda kanga, pada guyub tutur bahasa Lio-Ende pada akhir-akhir ini, berpotensi dan berdampak pada berbagai ruang kehidupan manusia, dan lingkungan kehidupan masyarakat yang dijumpai tanpa melibatkan seluruh pancaindra dan perasaan, untuk memaknai realitas keadatan sebagai patron dan norma kehidupan.
Kenyataan inilah yang dicoba untuk diungkap dalam penelitian ini melalui keberadaan leksikon bahasa Lio-Ende dalam lingkungan adat keda kanga dengan perspektif ekolinguistik, dengan mengkaji hubungan timbal balik bahasa dan ekologi (lingkungan ragawi dan sosial budaya) sebagai representasi leksikon-leksikon kehidupan pada guyub tutur bahasa Lio-Ende.
Penelitian ekoleksikon ritual keda kanga pada Guyub Tutur Bahasa Lio-Ende Flores yang disingkat GTBLEF, didasari atas kerisauan terhadap realitas akibat dampak perubahan iklim dan cara pandang yang terjadi saat ini, bahwa pola pikir dan sistem berkehidupan oleh masyarakat pada umumnya, khususya GTBLEF yang kian tergerus oleh era kemoderenan mulai menunjukkan keangkuhan berinetrraksi yang sangat massif terhadap sosiobudaya dan sioekologis, sehingga perlu ditanggapi serius oleh semua generasi pemakainya sebagai bagian dari entitas dan identitas kelingkungannya. Ketidakpedulian terhadap bentuk khazanah serta perubahan-perubahan kegiatan keadatan kian mengancam sistem dan tatanan nilai kehidupan yang kaya akan sumber daya karakter, nilai, dan filosofis ragawi secara total dalam kehidupan nyata.
Keda kanga sebagai representasi aktivitas budaya, memiliki peran sentral sebagai patron yang menunjukan simbol kebesaran dan kewibawaan bagi GTBLEF. Representasi kewibawaan itu tergambar pada setiap proses dan cara mendirikannya.
Keda Kanga
Keda kanga ‘rumah adat’ merupakan bangunan tradional yang dibangun berdasarkan falsafah adat, yakni gagasan yang secara turun temurun diwariskan, sesuai dengan tatanan nilai dan makna-makna simbolis yang terkandung melalui setiap tahap dalam proses ritual. Gagasan itu lahir sebagai bentuk pola pikir masyarakat Lio-Ende secara tradisional mengarah pada hierarki sumber daya budaya, yang diterekam melalui peritiwa ritual, salah satunya ritual pembangunan keda kanga.
GTBLEF pada umumnya, menganggap keda kanga ‘rumah adat’ sebagai cerminan hidup profan dengan Tuhan dan para Leluhur atau dalam sebutan Du’a gheta lulu wula Ngga’e ghale wena tana yang artinya Tuhan yang di surga dan di bumi, sehingga segala norma yang mengikatnya menjadi suatu kesepakatan bersama diwajibkan dalam ritual atau upacara adat. Setiap membangun keda kanga ‘rumah adat’ harus melalui proses secara matang, dalam artian harus melalui kesepakatan bersama seluruh Masyarakat, penyiapan bahan, dan yang paling penting yaitu meminta persetujuan, arahan serta perlindungan dari para Leluhur (roh nenek moyang) melalui ritual adat.
Wujud Konstruksi Keda Kanga
Pola permukiman dan bentuk keda kanga ‘rumah adat’ tradisional GTBLEF dibangun selalu berkaitan dengan konsep kekerabatan (Gemen Scap), antisipasi terhadap alam lingkungannya dan hubungannya dengan sang pencipta alam semesta yang dipercayainya. Hal ini dapat kita lihat pada saat upacara adat, proses pembangunan keda kanga ‘rumah adat’ dan perkampungan tradisional yang masih ada dan berlaku di masyarakat adat, termasuk acara seremonial lainnya yang masih ada sampai sekarang ini. Berikut contoh gambar bentuk konstruksi keda kanga.
Berbagai bentuk penamaan rumah adat yang fariatif tersebut, peneliti menamai dengan sebutan keda kanga, karena secara wujud, pemanfaatan dan tata letaknya di setiap kampung adat di wilayah Lio-Ende serta keberadaan rumah adat tersebut selalu berdampingan dengan kanga ‘pelataran ritual adat’. Dari sisi lain tidak menunjukan adanya perbedaan fungsi, bentuk, posisi dan pemaknaan, namun memiliki sistem dan pola yang lengkap, artinya di mana ada keda pasti di situ juga kanga.
Tahap Pembangunan Keda Kanga
Tahapan Persiapan/Musyawarah Adat,, Tahap pertama sebelum melakukan proses pembangunan keda kanga ‘rumah adat’ seluruh mosa laki ‘tetua adat’ dan dihadiri seluruh ana kalo fai walu ‘masyarakat adat’ melakukan musyawara bersama di ola se ‘tempat pertemuan adat’ untuk menyepakati waktu pelaksanaan dan mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan baik peralatan pekerjaan, hewan, are ‘beras’ dan moke ‘arak’
Menemukan Restu Leluhur-so bhoka au ‘membakar bambu’, Apabila hasil musyawarah telah disepakati oleh suluruh keluarga untuk bersama sama memikul tanggung jawab membangun keda kanga, maka ditetapkan waktu untuk melakukan acara ritual so bhoka au ‘ritual membakar bambu’. Ritual ini dihadiri semua mosalaki dan dan ana kalo fai walu. Upacara ini merupakan upacara penting karena harus mendapat persetujuan dari leluhur untuk menentukan waktu yang baik membangun keda kanga.
Berita Adat, Apabila ritual adat mendapat restu dari leluhur telah berjalan seperti yang diharapakan, maka tahap berikutnya adalah melaksanakan berita adat. Penyampain berita adat disampaikan secara lisan yang disebut kaba kea dan berita adat melalui nggo lamba ‘memukul alat musik gong dan beduk’ yang disebut dogo no nggo pongga no lamba sebagai tanda akan melaksanakan pengerjaan keda kanga, sehingga semua ana kalo fai walu (khusus laki-laki dewasa) mengetahui dan wajib mengikuti setiap proses pembangunan.
Tae Ndolu ‘menyiapkan sipat’, Tae ndolu merupakan melilit dan membuat benang sedemikian rupa sehingga menjadi salah satu alat tukang kayu tradisional. Benang lilitan ini kemudian dibaluti pewarna hitam yang dibuat dari arang bakar sabut kelapa yang disebut ae masi. Benang lilitan ae masi disebut ndolu sedangkan tae adalah proses pembuatan ndolu tersebut. Ndolu merupakan alat tukang kayu tradisional yang berfungsi sebagai mistar penggaris yang berguna dalam pengolahan kayu menjadi balok atau papan. Tae ndolu dilakukan dengan ritual resmi yang diberi ra wawi ‘dara babi’ dan melalukan pa’a loka ‘memberikan sesajian’ di kanga ‘pelataran adat’ oleh majo atau ata sua ‘orang yang mendaraskan doa adat’.
Poka Kaju ‘pemotongan kayu’, lelo ki ‘memotong alang-alang’, Poka kaju ‘memotongan kayu’ dan lelo ki (hi) ‘memotong alang-alang’ adalah menebang pohon kayu serta memotong alang-alang di hutan adat. Dalam melaksanakan poka kaju para ata nggesu ‘tukang tradisional’ harus mengikuti seluruh proses ritual yang dilaksanakan. Dalam proses pembangunan keda kanga semua ana kalo fai walu ‘masyarakat adat’ (khusus laki-laki dewasa) wajib terlibat dalam semua tahap, kecuali sakit dan lansia. Sebelum berangkat memotong kayu, terlebih dahulu poke nitu ‘mengantar roh alam’ yang diakukan ritual ole ata sua dengan berdiri di tubu kanga/tubu musu ‘tugu sesajian di pusat kanga’.
Wake Leke Pera atau Loge Leke ‘Memasang tiang induk pertama atau Pondasi’, Pemasangan atau wake leke pera dilakukan dengan proses ritual yang dituturkan oleh ata sua ‘pendaras doa adat’ atau laki pini wiwi lapi lema yang menyatakan bahwa ingin menggantikan tiang batu yang lama dengan tiang batu yang baru. Setelah pemasangan tiang dasar langsung memulai dengan leda tenga ‘ pemasangann balok’ utama dan balok kedua dikuti debo dalo/soro dalo berupa bambu kecil yang dipasang di atas balok kedua sebagai alas lantai yang dibuat dari bambu cincang.
Te’ka Wisu ‘memahat Tiang Kolom’, Tahap Teka wisu ‘memahat tiang kolom’ merupakan proses pemahatan tiang kolom sebagai struktur pada empat sudut yang berfungsi sebagai penopang utama atau struktur utama untuk mendirikan atap keda kanga. Pelaksanaan teka wisu harus mengikuti tahapan adat secara benar. Ada empat buah wisu ‘tiang kolom’ yang secara filosofis dimiliki oleh masing-masing jabatan mosalaki ‘tetua adat’. Jenis kayu yang digunakan untuk tiang wisu adalah kaju naka ‘kayu nangka’. Proses teka wisu bersamaan dengan mangu ‘tiang induk utama’.
Wake Mangu ‘Memasang tiang Induk’, Wake mangu merupakan pemasangan tiang induk atau tiang utama. Untuk wake mangu ‘memasang tiang induk atau utama’, harus melalui musyawarah mosalaki untuk menyepakati waktu dan jam mendirikan tiang induk utama. Tahap ini dianggap penting karena berhubungan dengan relasi GTBLEF dengan Du’a Ngga’e ‘Tuhan’. Masyarakat memandang mangu sebagai hierarki kehidupan dengan Du’a Gheta Lulu Wula Ngga’e wena tana, antara langit dan bumi, maka untuk mendirikan mangu diperlakukan secara khusus. Ada dua buah tiang mangu, yang kiri dan kanan.
Ate Keda Kanga dan saka ubu ‘mengatap rumah adat dan menutup bubungan’, Setelah proses struktur keda kanga sudah didirikan, tahap yang harus dilalui oleh seluruh tetua adat dan masyarakat adat adalah melakukan acara gawi sia ‘tandak sampai pagi’ menunggu hari berikutnya untuk dilanjutkan proses pengatapan. Pada saat proses pengatapan berlangsung laki ine tana, ame watu atau sebutan untuk mosalaki yang menjabat sebagai mama dari tana dan bapa dari batu, duduk di dalam keda untuk melakukan kegiatan maru ki ‘penglancar alang-alang’, yang dalam keyakinan GTBLEF bahwa selama proses pengatapan berlangsung ada kehadiran dan kekuatan alam dan roh nenek moyang, makanya laki ine tana ame watu harus duduk di dalam keda kanga samapai proses pengatapan selesai, dan proses pengatapan, harus diselesiakan dalam waktu satu hari.
Kolu Lengi ‘menguburkan minyak (kelapa)’, Pada tahap terakhir setelah rumah adat dan ornamen-ornamennya selesai dibangun maka akan diadakan peresmian. Syukuran besar-besaran diadakan dengan menyembeli kerbau sebagai hewan kurban. Darah kerbau dioleskan pada keda kanga sebagai simbol pemurnian dan peresmian. Nggo no lamba ‘gong dan beduk’ dilantumkan selama perayaan puncak dan semua orang diajak untuk menari terutama gawi yang merupakan tarian pemersatu masyarakat GTBLE.
Joka Sewa Kaju ‘Membuang tatal kayu’, Joka se’wa ‘membuang tatal kayu’ merupakan salah satu tahap pasca pengatapan, sisa serpihan kayu dan bahan bangunan lainnya dibuang dengan melakukan ritual poke nitu ’mengusir roh alam/jahat’. Arti dari joka se’wa kaju berarti membuang tatal kayu.
Dengan adanya ritual ini diharapkan keda kanga akan terhindar dari bala (bencana) dan seluruh penghuni kampung sealu diberikan kesehatan dan kebahagiaan.***
Dr. Patrisius Kami, S.Pd., M.Hum adalah Pemimpin Umum/Penanggung Jawab publikntt-new dan Korwil NTT liputan4.com. Juga sebagai dosen salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Kota Kupang. Tulisan ini adalah Sinopsi Disertasinya dalam mempertahankan gelar Doktor di Udayana Bali