HKAN, Momentum Refleksi Tiga Pilar Pendekatan Konservasi Hutan di NTT

  • Bagikan
Kepala Balai Besar KSDA NTT memberikan arahan saat kegiatan pemungutan sampah di Puncak HKAN di TWA Camplong, Senin (10/8/2020) //Foto: delegasi.com (BJ)

KUPANG, DELEGASI.COM – Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2020 yang puncak perayaannya dilaksanakan pada 10 Agustus, adalah momentum untuk merefleksi tiga pilar pendekatan menjaga kelestarian hutan di Nusa Tenggara Timur.

Demikian dikatakan Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam(BBKSDA) NTT, Timbul Batubara di sela- sela kegiatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2020 yang di pusatkan di TWA Camplong, Senin (10/8/20).

“Menjaga kelestarian hutan tidak hanya menjadi kewenangan BBKSDA, tetapi kita semua punya peran yang sama. Oleh karena itu pendekatan tiga pilar mulai dari pemerintah, masyarakat adat dan tokoh agama adalah kebijakan bersama,” ujar Batubara.

Momentun HKAN kali ini, lanjutnya, menjadi refleksi semua pihak agar tiga unsur ini benar benar memaksimalkan peranya masing-masing demi keberlangsung ekosistim dan kelestarian hutan di Nusa Tenggara Timur,” kata Timbul Batubara.

Serimoni dan tutur adat dari Komunitas Suku Mutis Tuan, untuk mengembalikan harmonisasi alam CA Gunung Mutis dalam kearifan budaya setempat. //Foto :delegasi.com (Dok Pribadi)

 

Menùrut Timbul Batubara, Nusa Tenggara Timur menjadi wilayah rujukan Konservasi Alam di Indonesia. Sebab adat istiadat di NTT selalu berkaitan erat dengan alam. Dan tiga unsur pendekatan yang menjadi pedoman umum konservasi hutan di Indonesia saat ini justru lahir dari NTT.

“Kita mesti berbangga, di NTT, semua seremoni dan tutur adat selalu berkorelasi dengan alam, baik hutan, gunung laut dan lain sebagainya. Jadi dalam tutur atau seremoni adat selalu menyebut tanah, pohon, gunung, batu, air atau sungai dan lain sebaginya. Ini menunjukan betapa korelasi antara adat dan alam semesta di wilayah ini segitu kuat,” urai Batubara.

Momentum HKAN kali ini, jelas Batubara, merupakan refleksi total bagi tiga pilar itu untuk mengembalikan perannya masing-masing dalam menjaga dan merawat alam. Sebab, saban tahun berbagai kasus mulai dari perambahan hutan secara nonprosedural dan pelanggaran larangan adat masih sering terjadi dimana-mana.

“Ini bukan kebetulan. Semarak Road to HKAN yang bergaung di seluruh Indonesia sejak awal bulan Agustus 2020 di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur yang mengusung tema “Negara Rimba Nusa, Merawat Peradaban Menjaga Alam”, secara implisit mengingatkan tiga pilar itu mendapat peran yang sangat strategis dalam keberlangsungan kelestarian alam,” katanya.

 

Tema ini, katanya, sengaja diangkat guna menggugah hati sekaligus sebagai refleksi buat semua pihak untuk bangkit dan sadar serta peduli dan menjaga alam raya Indonesia.

Spirit Lonto Leok dan Filosofi Jari Tangan

Sebelum tiga pilar hadir dalam kerja konservasi, mengelola kawasan konservasi, seringkali kita melupakan satu aspek kunci, yaitu soal nilai-nilai budaya yang masih hidup dan dijadikan falsafah hidup dan tatalaku oleh masyarakat tertentu.

Di Manggarai, dikenal “Lonto Leok” atau duduk bersama, bermusyawarah, membicarakan berbagai persoalan kehidupan masyarakat, adalah konsep dari ‘gendang’n on’e lingko pe’ang”.

Mengambil tempat di di rumah Gendang. Rumah Adat yang memiliki nilai spiritual dan nilai sejarah, yang menghubungkan kita yang masih hidup saat ini dengan para roh nenek moyang.
Persoalan bersama tersebut antara lain tentang lingkungan hidup, hutan, kebun, dan lain sebagainya.

Inisiatif untuk “Lonto Leok” dengan tiga pihak, yaitu unsur Adat (Tua’ Golo, tokoh Adat), Kepala Desa, Camat, dan Gereja di sekitar TWA Ruteng wilayah Kabupaten Manggarai Timur, adalah langkah-langkah kelanjutan dari upaya untuk membangun komunikasi dan persaudaraan multipihak dalam menjaga kelestarian alam.

Budaya “Lonto Leok”‘- duduk melingkar dan rembuk bersama soal larangan adat atau hukum adat yang berkaitan dengan kelestarian alam //Foto: Iatimewa

 

Timbul Batubara juga mengingatkan para pemangku adat di kawasan hutan adat untuk terus berjuang serta mengingatkan warganya agar selalu menjaga kerharmonisan alam yang berpedoman pada kesepakatan adat masing-masing daerah.

Dia mencontohkan Kawasan TWA Ruteng, dimana sebagian titik di kawasan itu sering terjadi pelanggaran sepakatan Lonto Leok (Duduk melingkar untuk rembuk bersama, Red).

Menurut mantan Kepala BBKSDA Papua itu, mestinya eksistensi budaya lonto leok menjadi rujukan masyarakat Manggarai (Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur) dan mendapat tempat terhormat dimata warga setempat.

“Mereka (warga, Red) harus menjadi bagian dari Lonto Leok itu sendiri, sehingga mereka merasa bahwa mereka-lah menentukan keberlangsungan kelestarian hutan di kawasan itu,” harapnya.

Relasi adat dan alam di Manggarai, katanya, tidak berbeda jauh dengan komunitas adat dari Keluarga Besar Mutis Tuan dalam menjaga kelestarian Cagar Alam (CA) Gunung Mutis.

Keluarga Besar Mutis Tuan merupakan komunitas adat (suku) yang bertanggungjawab serta ‘tuan’ dari Cagar Alam Gunung Mutis saat ini. Komunitas ini menggunakan filosofi jari tangan untuk menjaga keseimbangan CA Gunung Mutis.

Usif Yakob Obe Tusalak salah satu dari keturunan Keluarga Besar Mutis Tuan yang hadir pada puncak HKAN 2020 di TWA Camplong menguraikan filosofi jari tangan yang terdiri dari lima unsur yaitu Tuhan, Alam, Adat, Pemerintah dan Sesama Manusia, merupakan unsur yang diyakini menjaga keseimbangan alam. Lima Unsur itu mempunyai relasi yang harmonis dan saling mengikat.

“Ada pantangan dan larangan adat yang harus ditaati dalam mode pendekatan tersebut untuk menjaga kelestarian CA Mutis. Filosofi jari tangan ini sebenarnya hukum adat yang harus ditaati,” papar Usif Yakob.

//delegasi (hermen jawa )

Komentar ANDA?

  • Bagikan