“Sejujurnya kami mendukung program pemerintah NTT yang ingin mengembangkan rumput laut di NTT, khususnya dua klaster terbaik, namun perlu diingat bahwa tumpahan minyak Montara masih ada di perairan NTT, sehingga perlu kajian mendalam,” katanya kepada Antara di Kupang, Senin (17/9/2018).
Hal ini disampaikannya menanggapi rencana pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk mengembangkan tanaman rumput laut di dua klaster potensial, yakni Rote Ndao dan Pulau Timor pada 2019.
Dirilis AntaraNews, menurut Tanoni dampak tumpahan minyak Montara pada 2009 mengakibatkan ratusan hektare rumput laut di sejumlah daerah khususnya Pulau Timor dan Rote Ndao yang berdekatan dengan Laut Timor rusak total, bahkan hingga saat ini sulit untuk dikembangkan.
Oleh karena itu, kata dia, identifikasi itu perlu dilakukan oleh para ahli agar jika pemerintah ingin mengembangkan klaster itu tidak sampai mengembangkan di lokasi yang masih ada minyak mentahnya.
“Ahli kami dari AS, Robert B Spies saat melakukan penelitian masih menemukan minyak mentah di beberapa lokasi, yang juga menjadi tempat pembudidayaan rumput laut. Kalau ini masih ada tentu rumput laut berpotensi tidak bisa hidup dengan baik,” tambahnya.
Sejauh ini, kata dia, rumput laut yang masih bisa hidup adalah rumput laut dengan kualitas dan harga yang murah sementara rumput laut dengan harga serta kualitas terbaik sulit hidup di perairan NTT seperti di Tablolong, Kupang Barat.
Ia juga menambahkan kawasan Rote Timur di Pulau Rote hingga saat sudah tidak bia ditanami lagi, sementra Rote Barat Daya seperti di Desa Nembrala bisa dibudidaya tetapi dengan kualitas yang rendah.
Menurut Ferdi, pihaknya berencana berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup NTT untuk bekerja sama mengidentifikasi pencemaran laut Timor yang sudah berlangsung selama sembilan tahun itu.