“Sisi lain yang juga menarik dalam proses-proses ideologisasi yang salah-kaprah itu ialah membenda-matikan kemanusiaan dari Sang Calon Presiden melalui sebuah kata benda yang populer yaitu pencitraan”
Oleh John Kaunang
Tahun 2019 akan dilakukan Pemilu Presiden, tepat bersamaan dengan Pemilu Anggota Legislatif. Pemilu serentak seperti ini adalah yang pertama kali akan diberlakukan di negara kita. Sebagai hal yang baru dalam sistem politik dengan kondisi sosialbudaya dan sosialekonomi bangsa kita yang ada, tidak heran kalau situasinya membara pada suhu panas tinggi.
Kompornya adalah para aktor politik dan media pers, terutama media sosial online, baik yang dilakukan secara sadar atau tidak maupun secara sengaja atau tidak. Situasi panas yang membara ini kalau terus berkembang bebas pasti akan menimbulkan kebakaran yang sangat merugikan kelangsungan hidup ber-NKRI dan yang akan sangat menderita adalah rakyat-kebanyakan, bukan para aktor politik dan pengelola media pers tersebut.
Sebuah ironi dalam ilmu-pengetahuan tentang ideologisasi, demokrasi dan kebebasan berpendapat (kerennya: “freedom of speech”) yang melupakan landasan nilai-nilai moral, etika, dan estetika. Nilai-nilai moral, etika, dan estetika, baik sebagai warisan leluhur dan yang diajarkan oleh agama maupun yang perlu dihayati dari dinamika perkembangan ilmu-pengetahuan (dan teknologi).
Salah satu faktor yang determinan dalam membarakan situasi sebagaimana dimaksudkan adalah semakin berkembangnya proses-proses ideologisasi yang salah-kaprah, yang menggunakan pilihan mengganti vs mempertahankan Presiden, yang sedang berkuasa sebagai basis dari proses-proses ideologisasi tersebut. Proses-proses ideologisasi termaksud dijadikan “Kitab Suci” dimana semua pihak yang terlibat aktif secara sengaja memper-Tuhan-kan diri-sendiri.
Seluruh sendi-sendi hidup bermasyarakat yang bersifat mempersatukan dieksploatasi sedemikian-rupa oleh para pihak dalam proses-proses ideologisasi yang, pada kenyataannya, salah-kaprah. Sebagai contoh, aku yang menginginkan status-quo adalah Pancasila sehingga engkau yang berbeda dengan aku adalah anti-Pancasila; contoh lain, agamaku adalah harapan masa-depan sehingga agamamu yang lain hanya menjadi duri dalam daging; lebih buruk lagi, jika aku melakukan kejahatan maka itu adalah baik-adanya, tetapi jika engkau yang lain dari aku yang melakukannya maka kejahatan itu adalah jahat adanya.
Sisi lain yang juga menarik dalam proses-proses ideologisasi yang salah-kaprah itu ialah membenda-matikan kemanusiaan dari Sang Calon Presiden melalui sebuah kata benda yang populer yaitu “pencitraan”.
Orang waras lantas teringat betapa batu-kayu-pasir yang sesungguhnya hanya benda-mati biasa-biasa saja diproses atau dibentuk menjadi sebuah vas-bunga tetapi harus dicitrakan sedemikian-rupa agar ada pembeli yang menghargainya; misalnya pencitraan dengan ungkapan bahwa vas-bunga itu akan memberikan status sosial bernilai tinggi bagi yang memilikinya.
Pencitraan vas-bunga seperti ini diideologisasikan sebagai cara berdagang yang hebat, dahsyat, dan cerdas sehingga Sang Calon Presiden dalam setiap Pemilu pun harus dibenda-matikan agar dapat dibentuk-bentuk sehingga masuk kualifikasi layak untuk dicitrakan.
Akibat pencitraan vas-bunga tersebut, terbuka ruang “persaingan dagang” yang sangat mudah dimasuki oleh anasir-anasir jahat. Celakanya, ketika anasir-anasir jahat telah masuk, demi berlangsungnya proses ideologisasi pencitraan itu, anasir-anasir jahat tersebut diberikan lahan subur untuk bertumbuh dengan pesat. Maka, sekali lagi, orang waras terpaksa “mengelus-dada” melihat suatu fenomena dunia politik tanah-air sebagai ironi dalam kehidupan berdemokrasi, berideologi, dan bebas-berpendapat.
Ada pepatah lama: jangan bermain api kalau tidak ingin terbakar. Bagi para aktor politik dan media pers online yang dimaksudkan dalam tulisan ini mungkin perlu diberikan ungkapan pepatah sejenis yaitu: jangan bikin api kalau tidak mampu dikendalikan karena yang akan terbakar adalah rakyat-kebanyakan yang ingin hidup damai dan sejahtera lahir-bathin.
Ideologisasi yang salah-kaprah itutelah menghasilkan amat-sangat-banyak kerja yang memunculkan “perang dagang” yang tidak sehat dan tidak berharga. Lebih buruk lagi karena “perang dagang” itu melibatkan atasnama rakyat-kebanyakan yang justru tidak dihargai eksistensinya sebagai pemegang kedaualatan atas negara ini.
Waspadalah dan Berhati-hatilah !!!