Definisi kemiskinan menjelaskan bahwa variabel untuk mengukur derajad kemiskinan adalah pendapatan murni.
Tetapi yang digunakan di Indonesia adalah pendapatan yang diperkirakan (proksi) menggunakan pengeluaran rumah tangga, pendapatan yang tidak murni alias semu. Ini yang menjadi masalah dalam perencanaan pembangunan di negara berkembang,”
Oleh: John Kaunang,
Pengamat Kebijakan Pembangunan Wilayah
Delegasi.Com – SK Pos Kupang 30 Maret 2019, di halaman depan, ada berita yang memuat ucapan Menteri PPN/BAPPENAS RI tentang bagaimana NTT dapat keluar dari kemiskinan dengan kata-kata sebagai berikut: “….. untuk keluar dari kemiskinan, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan, yakni menerima atau membuka kesempatan bagi investor untuk berinvestasi di NTT. Karena ….. bla bla bla dan seterusnya”.
Kemudian, di akhir berita ada sambutan Wakil Gubernur sebagai berikut: “Kami minta maaf kepada para Bupati karena kami tidak akan keluarkan izin tambang”; artinya, Pemerintah Provinsi tidak akan mengeluarkan izin investasi di bidang pertambangan. Berita di Pos Kupang ini, dapat dipastikan akan membuat para ahli perencana pembangunan wilayah tingkat “advance”, yang selalu menggunakan pendekatan secara komprehensif, menjadi tersenyum.
Di satu pihak, Pemerintah Pusat mengharuskan untuk menerima investor, sementara Pemerintah Daerah menolak investor sekalipun yang terberitakan hanya di bidang pertambangan. Secara yuridis formal, Pemerintah Provinsi memang berwenang mengeluarkan larangan seperti itu. Namun, apakah itu tidak berarti bahwa Pemerintah Provinsi sedang memprotes Pemerintah Pusat, yang dalam hal ini Menteri PPN/BAPPENAS, agar kalau membuat pernyataan harus lebih rinci dan spesifik?!
Apakah kesalahan komunikasi seperti ini berlaku juga di bidang-bidang yang lain?! Atau, memang hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi sedang tidak harmonis ?! Semoga jawabannya adalah tidak ada masalah yang serius dalam hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Selain dari itu, muncul juga pertanyaan: Apakah usaha pertambangan memang adalah suatu usaha yang terlarang ?! Apakah panas bumi Ulumbu di Kabupaten Manggarai yang sekarang sudah mulai dieksploatasi adalah suatu kesalahan ?! Apakah provinsi lain dan negara lain terlalu naif karena mengizinkan adanya usaha pertambangan ?! Bagaimanakah kehidupan manusia seandainya dunia tanpa pertambangan sejak dahulu kala ?! Fantastis !‼
Lebih lanjut, menanggapi pernyataan Menteri PPN/BAPPENAS tersebut, sebaiknya terlebih dahulu dibaca buku dari Mahbub Ul Haq (1934-1998) berjudul “The Poverty Curtain: Choices for The Third World” (1976). Mahbub Ul Haq telah menerima banyak penghargaan dari badan-badan internasional, termasuk dari salah satu badan PBB yang secara khusus bertugas untuk membantu pembangunan di negara-negara berkembang yaitu UNDP (“United Nations Development Programme”); terutama, penghargaan yang menyangkut pembangunan manusia/”human development”.
Dalam tulisan ini, yang akan disoroti adalah kritik Mahbub Ul Haq terhadap para perencana pembangunan di negara-negara berkembang yang terkenal dengan sebutan 7-dosa perencana pembangunan. Salah satu dosa yang ditonjolkan yaitu terlalu percaya pada penanaman modal khayal atau investasi (dari luar wilayah) daripada pemenuhan kebutuhan lokal dan sumberdaya yang tersedia.
Kritik Mahbub Ul Haq ini akan dapat dipahami sedalam-dalamnya kalau disandingkan dengan tulisan E.F. Schumacher (1911-1977), seorang ekonom sekaligus filsuf yang sangat terkenal, dalam buku “A Guide for The Perplexed” (1977) — ia juga sangat terkenal dengan pemikiran ekonomi di dalam bukunya yang berjudul “Small is Beautiful: A Study of Economics as if People Mattered” (1973).
Kritik terhadap terlalu percaya pada investasi (dari luar) karena sangat tidak mungkin investasi itu demikian murah hati sehingga tidak mengutamakan efisiensi yang bertujuan memperoleh sebesar-besarnya keuntungan bagi diri-sendiri. Apalagi di era sekarang ilmu pengetahuan untuk kecekatan dan teknologi telah demikian berkembang sehingga semakin sulit bagi sumberdaya manusia lokal untuk beradaptasi. Akibatnya, sudah dapat dipastikan bahwa sangat mungkin terjadi demi investasi seperti itu akan terjadi invasi penguasaan lahan secara besar-besaran oleh investor dimana rakyat setempat akan tersingkirkan.
Oleh sebab itu, jangan hanya sampai pada pernyataan menerima atau membuka kesempatan bagi investor saja tetapi harus sampai pada analisis kelayakan jenis investasi dengan perbandingan secara proporsional antara manfaat bagi rakyat setempat terutama berupa loncatan peningkatan pendapatan terhadap manfaat bagi investor; proporsional dalam arti lebih besar manfaat yang bersifat lokal daripada yang terbawa keluar.
Setiap investasi bersifat individual dan tidak mengenal yang namanya keadilan yang bersifat sosial; apalagi investasi yang menggunakan modal uang dalam jumlah besar.
Setiap investasi harus efisien dengan menggunakan perangkat analisisnya adalah “costs-benefits ratio” dengan sebanyak-banyaknya laba/keuntungan yang dapat diperoleh. Memang ada perangkat-perangkat analisis seperti “externalities”, “risk analysis”, “opportunity costs”, “social costs”, dan lain-lain sejenis yang dapat dijadikan alat kontrol tetapi tetap berbasis pada “private costs-benefits ratio” sebagai faktor determinannya. Itulah sebabnya diperlukan analisis kelayakan jenis investasi dalam konteks sosial atau dalam konteks demografik dan geografik dengan pendekatan kewilayahan yang komprehensif. Berdasarkan kondisi dan situasi kewilayahan yang ada di NTT, jenis investasi yang layak, dalam kaitan dengan mengatasi masalah kemiskinan, adalah di bidang pertanian tertentu dan tidak berskala besar yang pengorganisasiannya melibatkan dan dapat dipahami sebanyak-banyaknya penduduk lokal/setempat. Pertanyaannya: Apakah ada investor swasta yang berminat karena murah hati ?! Jawabannya: tidak ada !‼
Selanjutnya, tentang kemiskinan. Salah satu sumber masalah adalah sebagai berikut: definisi kemiskinan menjelaskan bahwa variabel untuk mengukur derajad kemiskinan adalah pendapatan murni tetapi yang digunakan di Indonesia adalah pendapatan yang diperkirakan (proksi) dengan menggunakan pengeluaran rumah tangga, pendapatan yang tidak murni alias semu.
Batas garis kemiskinan NTT T2018 ditetapkan sebesar Rp 354.898,-/kapita/bulan. Jika diasumsikan 1 KK=5 Orang, maka batas garis kemiskinan per keluarga penduduk NTT adalah Rp 1.774.490,- Menurut data statistik jumlah penduduk miskin, yang berpenghasilan di bawah Rp 354.898,- adalah 21,35% atau sekitar 1.142.170 Orang atau 228.434 KK.
Teknik menghitung seperti ini adalah sah tetapi hasilnya belum tentu benar. Mengapa belum tentu benar ?! Pertama, variabel yang digunakan adalah pengeluaran rumah tangga yang sangat mungkin tidak terkait dengan kerja produktif, padahal definisi kemiskinan berbasis pendapatan sebagai hasil dari kerja produktif.
Kedua, selalu saja ada yang disebut sebagai “human error” dalam mendata; sebagai indikator, sampai dengan saat ini, untuk menghitung DPT untuk Pemilu saja masih bermasalah tentang kebenarannya. Ketiga, jumlah Rp 354.898,-/kapita/bulan atau Rp 1.142.170,-/KK/bulan apakah benar-benar suatu batas garis kemiskinan yang tepat?! Oleh sebab itu, demi lebih mendekati kebenaran, perlu ada yang disebut faktor koreksi yang caranya harus diketahui oleh BPS (Biro Pusat Statistik) sebagai badan yang bertanggungjawab. Jika batas garis kemiskinan sebagaimana yang dimaksudkan oleh BPS itu benar, maka untuk membawa rakyat NTT keluar dari kemiskinan sangat cukup kalau pemerintah menggunakan dana pemerintah dengan sungguh-sungguh membangun perdesaan dengan mengembangkan usaha pertanian berskala ekonomi kecil; tidak diperlukan investasi dari luar apalagi yang berskala ekonomi besar. Apakah pemerintah punya dana untuk itu ?! Ada dan mencukupi !‼
Bahaya tersembunyi dari cara menghitung garis kemiskinan dengan menggunakan proksi pengeluaran adalah masalah kesenjangan pendapatan dan pembuatan kebijakan publik dalam rangka pembangunan ekonomi. Kesenjangan sudah pasti akan terreduksi secara otomatis dengan cara menghitung seperti itu, dan kebijakan pembangunan akan salah-arah karena pengeluaran rumahtangga tidak menggambarkan kekuatan atau kelemahan ekonomi senyatanya.
Itulah sebabnya, setiap ahli perencanaan pembangunan wilayah akan tersenyum membaca pernyataan-pernyataan Menteri PPN/BAPPENAS RI dan Wakil Gubernur NTT dalam koran Pos Kupang 30 Maret 2019 sebagaimana tersebut di atas; tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala ….. kok bisa ya ?!
Kupang, 30 Maret 2019