“Sebagai Titisan Dewa, salah satu kelebihan yang dimiliki Kewae adalah tidak menampakan ketuaan. Dia tetap kelihatan sebagai seorang anak manusia (perempuan) dewasa.”
Dr. Keron A. Petrus
“Mengenal Lebih Dekat Ekologi Budaya Masyarakat Adonara” adalah judul utama dari tulisan ini. Tulisan yang terbagi dalam beberapa seri ini, diuraikan warisan tutur sejarah Adonara dalam pemahaman kebudayaan. Sampai dengan seri ini, masih sebatas pengungkapan (data) sejarah, belum masuk pada tahapan diskusi teoritis dalam pendekatan Ekologi Budaya, yang dijadikan sumber analisis ”kunci dari tulisan ini.
Penulis menyadari akan adanya beragam versi dari sebuah tutur sejarah, maka perlu ditegaskan bahwa pengungkapan sejarah dalam pemahaman budaya Lamaholot-Adonara tidak sebatas pengetahuan. Ada tangggung jawab moral, dan siap menerima teguran dari Alapet Rera Wulan, Alam dan Leluhur jika yang terungkap adalah rekayasa.
Kewa Sedo Bolen Penghuni Pertama Adonara
Tutur yang diwariskan dari generasi ke generasi bahwa orang pertama yang mendiami tanah Adonara adalah seorang Perempuan. Ada tutur yang mengatakan perempuan itu bernama Sedon Lepan Ina. Sedangkan, Kewae Sedo Bolen adalah generasi sesudahnya. Versi lain, menyebutkan orang pertama yang mendiami tanah Adonara adalah Kewae Sedo Bolen. Bahkan, ada yang menyebutkan nama Kewae Sedo Bolen sebagai nama lain dari Sedon Lepan Ina. Ragam versi ini sama-sama menyebutkan, mereka berasal (muncul) dari alam puncak Ile Boleng, Adonara. Dalam bahasa setempat disebut buta bete walan mara tana tawan ekan gere (kemunculannya sejak tanah Adonara ini ada).
Dalam tulisan ini memberi fokus pada keberadaan Kewae Sedo Bolen (selanjutnya, disebut Kewae). Namun, Kewae bukan keturunan Sedon Lepan Ina atau nama lain dari Sedon Lepan Ina, dan bukan pula berasal (muncul) dari alam puncak Ile Boleng-Adonara. Kewae adalah manusia Titisan Dewa.
Dikisahkan, Dewa membawa bayi Kewae dari suatu tempat ke puncak Ile Boleng. Bayi Kewae dibaringkan di atas “batu” di sebuah tempat, yang saat ini dikenal dengan nama Riawale. Kewae dirawat dan dibesarkan oleh orang utan di puncak Ile Boleng. Sebagai Titisan Dewa dan menyatu dengan alam Ile Boleng, dia memiliki talenta yang luar biasa untuk dapat mengendalikan kejadian alam di lingkungan alam puncak Ile Boleng.
Pada awal kehidupannya di puncak Ile Boleng, sesungguhnya Kewae tidak sendirian. Setelah kedatangannya, hadirlah pasangan Tupe Tadon Pito dan Sedon Lipat Lema dari alam puncak Ile Boleng (buta bete walan mara tana tawan ekan gere) sebagaimana telah diuraikan dalam seri sebelumnya dalam sub judul Kewa Rera Gere sebagai Penguasa Wai Jara.
Sebagai Titisan Dewa, salah satu kelebihan yang dimiliki Kewae adalah tidak menampakan ketuaan. Dia tetap kelihatan sebagai seorang anak manusia (perempuan) dewasa. Kewae kemudian bertemu dan menikah dengan Kelake Ado Pehan (selanjutnya ditulis Kelake), pemuda asal Ile Adowajo, pantai selatan, Lembata. Setelah mempunyai keturunan, mereka membentuk sebuah perkampungan yang diberi nama Riawale.
Keturunan dan Suku-Suku Permulaan Adonara
Warisan tutur menjelaskan bahwa hasil pernikahan Kewae dan Kelake lahirlah 7 (Tujuh) orang putra, semuanya laki-laki. Pertama, Ado Bala (Sulung) Kedua: Balawa Lema; Ketiga: Ola Lamanepa; Keempat: Beda Geriniha; Kelima: Nuka Masan Dai; Keenam: Boro Bisak Pati; Ketujuh (bungsu): Sina Sabon Mado.
Meskipun perkampungan mereka (Riawale) terletak puncak Ile Boleng, tetapi akses Kewae dan Kelake bersama keluarganya secara perlahan semakin terbuka dengan dunia luar, terlebih dengan masyarakat di kaki Ile Boleng. Kawin-mawin pun terjadi. Sejalan dengan itu, penghuni perkampungan Riawale pun terus bertambah.
Kondisi ini mendorong terjadinya pengelompokan garis kerabat (kelompok sosisal) berdasarkan garis keturunan tidak dapat dihindari. Masuk generasi kedua dari Kewae dan Kelake mulailah dibentuk suku (clan) berdasarkan garis keturunan. Melalui proses pembicaraan bersama (musyawarah), dibentuklah suku (clan) permulaan Adonara sebagai berikut:
1.Tika Tukan Putra sulung: Ado Bala; dan putra ketujuh: Sina Sabon Mado
2.Wai Jara Putra kedua: Balawa Lema dan putra kelima: Nuka Masan Dai
3.Kayo Puke Putra ketiga: Ola Lamanepa
4.Wai Bao Putra keempat: Beda Geriniha
5. Kayo Puhun Putra keenam: Boro Bisak Pati
…Tite kakan-arin, ama-anna wekan taaro (suku) lema, nuku pete kepae, tite nehin ama tounene tou, Ke, suku beloene kakan arin, bo keni, bo bele pupu taan tou. Ata bedoen beto, hodiwe hewo de tite, pai saga gerian taan jadi suku toutaan jadi kakan-arin, ama-anna… Adonara beloene: adoadonara, naranara lema…” (amanat Leluhur)
(Kita terbagi dalam lima suku, tapi jangan lupa kita tetap dalam satu garis keturunan, satu bapasatu nenek. Jadi, suku artinya kakak beradik, baik lebih kecil maupun besar kita tetap satu. Orang [luar] datang, kita terima mereka, bangun dan rawat hubungan baik untuk menjadi satu suku, kita menjadi bersaudara kakak-adik, bapak-anak… Adonara artinya Ado Bala bersaudara yang terbagi dalam lima suku… ).
..Tobo marin, nuan gahin kakanet-arin taan de pao rere. Marin oneket de kedepa nehage kakanet-arinet nemupu, sukhuket ekanet, lewuket tanhaket ne mege-heke nekuat lali puke noro gere mun teti wutun. Ti ata hule oneka loa, oneka senna. Ata rala doan rebelelen; Eee, tana tou, tana Adonara puhun geriok tua’, puke di gelete tua ke tite bahoketwelu niwanet de hire…(amanat Leluhur. Tidak diterjemahkan agar tidak kehilangan makna)
Sebagaimana dalam seri-seri sebelumnya, saya selalu mengajak, mari kita duduk dan bicara dari hati ke hati demi generasi Adonara. Sejarah adalah Identitas, karena itu semua orang merasa berkepentingan terhadapnya.***
Penulis adalah Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) NTT