KUPANG, DELEGASI.COM – Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) meminta seluruh elemen Pemerintah dan Masyarakat NTT tidak menjadikan stunting sebagai proyek kemiskinan di Indonesia Timur, khususnya di NTT.
Pasalnya, pemerintah baik pusat maupun daerah (Pemprov NTT, red) dan stakeholders terkait (LSM, Lembaga Agama, hingga pemerintahan desa, red) memiliki data yang berbeda-beda tentang jumlah stunting. Parahnya, angka stunting juga tidak begitu menurun signifikan.
Demikian disampaikan Anggota Komisi IV DPRD NTT, Vinsensius Pata saat diwawancarai tim media ini di Kantor DPRD NTT pada Kamis (02/09/2021), terkait program pencegahan stunting di NTT senilai Rp 125 Milyar yang salah sasaran.
“Pemerintah dan lembaga lainnya fokus bicara tentang pencegahan stunting tetapi lupa persoalan utama yang adalah akar stunting yakni kemiskinan. Padahal, kalau dipikirkan secara logis, stunting sebenarnya ‘anak’ dari kemiskinan. Kita tenar dengan kata stunting, bukan kemiskinan. Jadi yang harus diurus itu kemiskinan bukan stunting,” jelasnya.
Menurut Vinsen Pata, hampir semua Dinas terkait di daerah hingga pemerintah pusat mengurus stunting. Ironisnya, angka jumlah stunting tidak menurun drastis. “Provinsi urus stunting, Kabupaten urus stunting, desa urus stunting, LSM urus stunting, tapi kok tidak turun-turun?” kritiknya.
Anggota Komisi IV DPRD NTT itu menduga, terjadinya perbedaan angka soal stunting dan kemiskinan di NTT disebabkan oleh karena adanya data yang tidak akurat dan tidak singkron antara pemerintah dan stakeholders lain yang bergerak dalam pencegahan stunting.
“Ekstrimnya, jangan sampai stunting dijadikan proyek. Ini data BPS lain, data Pemprov lain, data pusat lain, data LSM lain, data di desa lain, kan aneh?” kritiknya lagi.
Ia menyarankan, agar urusan penanganan stunting dibagi secara jelas dan tegas antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan lembaga non pemerintahan atau lembaga swasta lainnya sehingga menghasilkan satu data yang pasti dan valid.
“Pusat urus berapa persen, Pemprov NTT berapa persen, Kabupaten/Kota urus berapa, LSM urus berapa, dan Desa berapa,” saranya.
Vinsen Pata berpendapat, langkah tepat mengatasi stunting (anak tumbuh pendek/kerdil, red) di NTT ialah dengan fokus menurunkan angka kemiskinan.
Pengembangan desa model merupakan salah satu contohnya. Di desa model itu, sejak awal kehamilan, ibu hamil harus diperhatikan nutrisinya dan kesehatannya sehingga dapat melahirkan manusia sehat.
“Kalau diperhatikan sejak hamil dan sampai balita, maka stunting pelan-pelan hilang. Tapi stunting bukan menjadi prioritas tapi kemiskinan,” tandasnya.
Vinsen Pata menyetujui adanya pembuatan desa model penanganan stunting mulai dari masa kehamilan sehingga terukur dan fokus. “ Yang jadi pertanyaan kenapa masalah ini tidak selesai juga.
Karena data tidak sinkron, dan langkah yang diambil dan pelaksanaan di lapangan tidak tepat sasaran. Kalau tidak tepat sasaran, itu urusan lembaga pengawasan. Tapi buat saya, jangan fokus stuntingnya tapi kemiskinannya,” pintanya.
//delegasi(*/tim)