KUPANG, DELEASI.COM – Kuasa hukum mantan Kepala Kantor Cabang Bank NTT Oelamasi, JNCS, Semuel Haning dan Marthen Dillak menyebut Penyelidik Polres Kupang melakukan tindakan kriminalisasi terhadap kliennya karena ada upaya penangkapan/jemput paksa yang dilakukan penyidik Polres Kupang.
Pernyataan itu disampaikan Sam Hanin dan Marthen Dillak kepada wartawan di Kupang, Kamis(2/7/2020).
Menurut kedua kuasa hukum itu, tindakan yang dinilai kriminalisasi itu karena melanggar Peraturan Kapolri (Perkapolri) Nomor 8 tahun 2009 Pasal 27 dan pasal 2. Kemudian pasal 56 KUHAP, Perkapolri dan UU No.30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, serta Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 4 tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang.
“Upaya jemput paksa ini merupakan kriminalisasi terhadap klien kami. Klien kami masih melakukan upaya hukum melalui PTUN Kupang yang akan disidangkan Selasa (7/7/20) depan. Jadi saya berharap semua pihak dapat menahan diri sampai ada keputusan hukum yang tetap,” tandas Sam Haning.
Menurut Sam Haning, masalah penyalahgunaan wewenang yang disangkakan kepada JNCS (dalam dugaan kredit topeng yang dikatakan macet, red) adalah tidak benar.
“Karena para nasabah mengakui (dalam pemeriksaan polisi, red) secara sadar melakukan pinjaman dan hingga saat ini nasabah/dibitur masih mencicil. Bahkan ada debitur yang sudah melunasinya,” ungkapnya.
Lalu, lanjut Haning, dimana penyalahgunaan kewenangan? “Siapa yang dirugikan? Atau siapa yang diuntungkan? Kalau dikategorikan macet, sebenarnya itu masalah perdata, kenapa ditarik ke pidana? Ini kriminakisasi,’ tandas Haning.
Penetapan JNCS sebagai tersangka dalam dugaan penyalahgunaan wewenang terkait pemberian fasilitas kredit KMK-JP Konstruksi tahun 2017, KNKUR Tahun 2018, KNKRC Proyek Tahun 2018 dan Pemberian Fasilitas kredit K1-JP Tahun 2018 pada Bank NTT Cabang Oelamasi oleh penyidik Polres Kupang, dinilai Haning telah menyalahi Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 4 tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang.
Pria yang akrab disapa Paman Sam itu mengatakan bahwa penetapan tersangka atas kliennya (JNCS, red) oleh Penyidik Polres Kupang terlalu cepat alias terlalu dini.
Akibatnya, status tersangka yang disandang kliennya bertentangan dengan ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2015, Tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan wewenang sebagaimana bunyi pasal 2 ayat (1); Pengadilan berwenang, menerima, memeriksa dan memutus permohonan ada atau tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintah sebelum adanya proses pidana.
Lebih lanjut Paman Sam mengungkapkan bahwa atas dasar ketentuan Mahkamah Agung tersebut, maka pihaknya mengharapkan Penyidik Polres Kupang menahan diri atau mengurungkan niat untuk melakukan penahanan terhadap kliennya.
“Sebab, berdasarkan ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2015, Pasal 2 ayat (1), kami selaku kuasa hukum sedang mengajukan permohonan kepada pengadilan Tata Usaha Negara Kupang untuk menguji keputusan, apakah yang dilakukan klien kami itu benar tergolong dalam penyalahgunaan wewenang sebagai seorang pejabat Negara atau tidak,” ujarnya.
Paman Sam mengharapkan, semua pihak tunduk dan taat terhadap hukum dan menunggu hingga adanya keputusan Majelis Hakim terkait gugatan TUN tersebut berkekuatan hukum tetap.
“Kalau memang ternyata putusan Mejelis Pengadilan TUN bahwa tindakan klien kami tersebut adalah penyalahgunaan wewenang, maka penyidik (Penyidik Polres Kupang, red) tidak perlu bersusah payah untuk menjemput klien kami, karena kami yang akan mengantar klien kami kepada penyidik,” jelasnya.
Akan tetapi, lanjut Paman Sam, kalau pengadilan memutuskan bahwa ternyata Klien Kami tidak bersalah maka Penyidik juga harus hormati putusan hukum tersebut.
Sejalan dengan pernyataan Paman Sam, Marthen Dillak, yang juga anggota Kuasa Hukum JNCS mengatakan bahwa semestinya sebelum penyidik menetapkan JNCS sebagai tersangka, penyidik mengajukkan permohonan gugatab TUN.
Apakah tindakan JNCS termasuk penyalahgunaan wewenang atau tidak?
“Dan seandainya dari awal penyidik melakukan langkah tersebut, maka tentu proses ini tidak berbelit belit seperti ini. Oleh karena itu, sekali lagi kami berharap agar Penyidik Polres Kupang tidak perlu lah datang untuk menjemput paksa klien kami untuk di tahan,” tandasnya.
Menurut Marthen Dillak, seharusnya semua pihak saling menghargai karena proses hukum sedang berjalan di Pengadilan hingga apapun putusan majelis hakim, semua pihak wajib hormati.
Marthen Dillak juga mengungkapkan kekecewaannya terkait sikap oknum penyidik Polres Kupang yang datang ke rumah JNCS pada sore hari (2/6/2020) sekitar pukul 15.15 Wita untuk menjemput paksa dan menahan JNCS.
“Tadi sore mereka datang dan mau jemput paksa klien kami untuk ditahan. Padahal kami telah memberitahukan kepada mereka (penyidik, red), bahwa kami sebagai kuasa hukum telah mengajukan permohonan kepada Pengadilan TUN untuk menguji apakan putusan klien kami (JNCS, red) tersebut termasuk penyalahgunaan wewenang atau tidak,” jelasnya.
Dan andaikan tadi sore, lanjut Marthen Dillak, mereka (penyidik, red) membawa klien kami secara paksa, maka tidak tertutup kemungkinan pihaknya akan mengadukan penyidik ke Propam Polda NTT.
“Kami sebagai kuasa hukum tentu tidak mengharapkan hal tersebut terjadi,” pungkasnya mengakhiri pembicaraannya.
Sebagaimana diberitakan tim media ini sebelumnya (pada 15/6/20), Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Kupang di Pra-Peradilankan dan di PTUN-kan terkait cacat prosedur (mal procedure) dalam pemanggilan terlapor, JCNS dalam kasus ‘kredit topeng’ Rp 8,9 M di Bank NTT Kancab Oelamasi, Kabupaten Kupang.
Menurut Kuasa Hukum JCNS, Sam Haning, SH, MH, Surat Panggilan kedua yang disertai Surat Perintah Membawa Paksa itu tidak sesuai petunjuk dalam Peraturan Kapolri (Perkapolri) Nomor 8 tahun 2009 Pasal 27 dan pasal 2.
Kemudian pasal 56 KUHAP, Perkapolri dan UU No.30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Ini mal-proses. Cacat prosedur. Juga merupakan upaya menakut-nakuti dan intimidasi oleh Kepolisian Resort Kupang. Karena itu klien saya memutuskan untuk pra-peradilankan Kapolres Kupang. Kami juga mengugat TUN Penyidik Kepolisian Resort Kupang,” tandas Haning.
Haning menjelaskan, panggilan kedua terhadap kliennya disertai Surat Perintah Membawa Paksa mantan Kepala Cabang Bank NTT Oelamasi, JCNS oleh Penyidik Kepolisian Resort Kupang (Polres Kupang) untuk kepentingan penyelidikan dan atau penyidikan terkait kasus dugaan ‘kredit topeng’ Bank NTT Cabang Oelamasi.
“Ini mal-prosedural alias cacat prosedur serta merupakan intimidasi terhadap terlapor. Karena itu kami mempra-peradilankan Kapolres Kota Kupang dan melakukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN),” ujarnya
Haning menilai ada kejanggalan karena kliennya dituduh dengan Undang-Undang Perbankan nomor 10 tahun 1998 pasal 49 ayat 1 dan 2 dengan ancaman hukuman 3 sampai 8 tahun, tetapi tanpa melalui prosedur-prosedur sebagaimana seharusnya dan menurutnya itu adalah mal-prosedural.
“Ada tahapan-tahapan yang dilanggar/tidak dilalui oleh penyidik dalam penetapan tersangka terhadap kliennya. Ada mal-prosedural yakni adanya tahapan-tahapan yang dilanggar oleh penyidik dalam penetapan tersangka terhadap klien saya,” ujar Paman Sam.
Sebagai contoh, lanjut Paman Sam, Perkab Nomor 8 tahun 2009 pasal 27: bahwa seorang saksi, tersangka diperiksa harus didampingi penasehat hukum. Kemudian pasal 2 Perkab nomor 8 tahun 2019 bahwa kalau tanpa didampingi kuasa hukum, maka proses penyidikan itu tidak sah.
“Kemudian klien saya dipanggil dan diperiksa tanggal 21 November 2019 (sesuai Surat Panggilan tanggal 19 November 2019) tanpa didampingi kuasa hukum,” tuturnya.
Lalu tanggal 23 Oktober 2019, lanjutnya, dikatakan bahwa ada Surat Perintah Dimulainya Penyelidikan (SPDP).
“Tetapi setelah dicek, SPDP itu tidak pernah diberikan kepada terlapor,” ujar Paman Sam.
Padahal, jelasnya, sesuai Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130 tahun 2012 dikatakan bahwa ketika mengajukan SPDP, satu minggu sebelumnya SPDP itu sudah harus disampaikan kepada calon tersangka atau pelapor.
“Sayangnya, sejak dilakukannya pemeriksaan terhadap klien saya pada tanggal 23 Oktober s/d 21 November 2019, ternyata pada tanggal 4 Juni 2020, klien saya baru ditetapkan sebagai tersangka. Inilah acuan kita ketika kita mengatakan proses tersebut mal-prosedural atau proses penetapan tersangka terhadap klien saya itu cacat hukum,” paparnya.
Selain itu, sesuai Pasal 56 KUHAP itu, lanjut Paman Sam, perkara pidana dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun wajib didampingi penasehat hukum.
“Sementara dalam konteks kasus klien saya, Penyidik yang seharusnya menegakkan PERKAPOLRI justeru melanggar,” kritiknya.
Selanjutnya, jelas Paman Sam, ada UU Nomor 30 tahun 2014 Tentang Administrasi Kepemerintahan yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang lahir daripada asas-asas yang tidak bersifat hukum dan yang tidak sesuai asas pemerintahan yang baik, maka semua itu akan cacat hukum.
“Jadi, mengapa kita pra-peradilan-kan dan mengapa kita TUN Kapolres Kabupaten Kupang? Karena Polisi itu bagian dari TUN, bagian dari pejabat negara yang menetapkan sebuah keputusan terkait penetapan tersangka dan mengakibatkan orang lain merasa dirugikan. Jadi tanggal 22 Juni 2020 kita akan sidang pra-peradilan,” bebernya.
Lebih lanjut Sam Haning menegaskan bahwa panggilan kedua yang disertai Surat Pemerintah Membawa Paksa kliennya menunjukkan suatu keanehan dan bentuk menakut-nakuti, bentuk intimidasi.
“Klien saya itu dipanggil (suratnya tanggal 12 Juni 2020) dan tanggal 15 Juni 2020 ini dipanggil untuk dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka (Surat Panggilan Kedua, red). Itu juga disertai Surat Perintah ppMembawa secara paksa. Ini kan lucu, itu darimana?” kritiknya.
Menurutnya, akan berbeda jika kliennya punya alasan-alasan tertentu tidak bisa hadir, maka penyidik datang di rumah untuk lakukan pemeriksaan.
“Ini tiba-tiba ada perintah membawa. Sepanjang sejarah ini baru saya tahu bahwa ketika panggilan kedua harus disertai Surat Perintah Membawa. Ini berarti ada bentuk Intimidasi, ini bentuk tekanan psikis terhadap klien saya. Ini tidak boleh!” tandasnya.
//delegasi (*/tim KOWAPPEM)