LARANTUKA-DELEGASI.COM–Tindakan PT.Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bina Usaha Dana Larantuka melelang agunan milik Debitur Ricky Leo, yang belum jatuh tempo, dilaporkan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Flotim, pada Kamis, 25/02/2021.
Laporan diantar langsung Elisabeth Ede Keraf, selaku Istri Debitur, dan diterima langsung Ketua DPRD Flotim, Robertus Rebon Kreta,S.Pd.
Laporan itu, sebagaimana yang diperoleh Delegasi.Com, dari Debitur, berisi berbagai hal dan fakta yang dialami Debitur, yang secara terbuka dibeberkan ke lembaga wakil rakyat Flotim.
Isi perihal laporan tersebut sebagai berikut:
Pertama: Bahwa sesuai perjanjian kredit Nomor : 9513/BUD/PST/K.INV/09/2018, tanggal 28 September 2018, dengan jangka waktu selama 36 bulan, terhitung dari tanggal 28 September 2018 sampai dengan 28 September 2021, adalah waktu jatuh tempo.
“Karena waktu belum jatuh tempo sesuai dengan perjanjian kredit, maka Kami selaku Debitur telah melakukan pembayaran cicilan setiap bulan pokok + bunga, yaitu Pokok Rp.90.194.500 + Bunga Rp.44.000.000, sehingga jumlahnya yang telah terbayar Rp. 134.194.500, dari kredit sebesar Rp.500.000.000.
Selanjutnya, pada tanggal 25 November 2020, Kami melakukan pembayaran lagi Rp.100.000.000, namun ditolak petugas PT.BPR BUD dengan alasan yang tidak jelas,”tulis Ricky Leo.
Baca juga: Nasabah Adukan BPR Larantuka ke DPRD Flotim
Kedua: Bahwa selama ini selaku Debitur, selalu mempunyai itikad baik untuk membayar cicilan, sekalipun ada beberapa bulan masih ada ketunggakan.
“Namun, ketunggakan tersebut, Kami Debitur atasi dengan membayar dalam sekali, untuk sekaligus ketunggakan tersebut, karena dipengaruhi oleh keadaan Kami sebagai Debitur, dalam usaha Kami tidak berjalan selama 3 bulan berturut-turut,”paparnya.
Ketiga: Bahwa selain selaku Debitur dalam keadaan kecelakaan, juga posisi Kami selaku Debitur adalah bagian dari masyarakat Indonesia, dalam menghadapi Pandemi Covid-19, yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan usaha bisnis perekonomian Kami selaku Debitur.
Dan, hal itu sangat di luar kemampuan Kami.
Namun, pihak PT. BPR BUD tidak paham.
Dan, Kami merasa sangat ditekan dan tidak dikenai pemberlakuan Undang-Undang OJK Nomor 11 Tahun 2020, tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countereychical/dampak penyebaran Coronavirus/Lisease 2019.
Keempat: Bahwa pada Hari Senin, 20 April 2020, Pengadilan Negeri Larantuka melakukan penetapan Sita Eksekusi (Executorial Beslaq) Nomor: 08/PDT.EKS/2019/PN.LTK tanggal 31 Maret 2020, yang telah bertentangan dengan UU Hak Tanggungan, yaitu: pada pasal 6 UU No.4 Tahun 1996, pasal 11 ayat 2 huruf E, pasal 20 ayat 1, yang menegaskan bahwa apabila Debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, dalam hal ini dengan bantuan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) tanpa harus meminta fiat eksekusi dari Pengadilan Negeri Larantuka.
Sehingga tindakan PN Larantuka tersebut telah bertentangan dengan UU.
Kelima: Bahwa berdasarkan permohonan eksekusi yang diajukan PT.BPR BUD Larantuka, selaku Kreditur maka PN Larantuka telah melakukan penetapan Sita Eksekusi (Executorial Beslaq) pada tanggal 20 April 2020, Nomor: 08/PDT/Eks/2019/PN.LTK, tanggal 31 Maret 2020, maka Kami selaku Debitur telah melakukan gugatan perlawanan terhadap penetapan sita eksekusi tersebut.
Saat ini gugatan perlawanan masih/sedang dilakukan proses pemeriksaan di PN Larantuka.
Namun, tiba-tiba surat dari PN Larantuka tertanggal 2 Desember 2020, Nomor : W26-U3/1089/HK.02/12/2020 dengan perihal pemberitahuan tentang Eksekusi Lelang.
Dimana, hal tersebut sangat bertentangan dengan Undang-Undang dan Perjanjian Kredit, yaitu UU tentang Hak Tanggungan pada Pasal 6 UU No.6 Tahun 1996 yang menegaskan, apabila Debitur Cedera Janji Pemegang Hak Tanggungan Pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum.
Selanjutnya, Pasal 11 ayat 2 huruf E UU No.4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menegaskan, bahwa dalam Akta pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janjj antara lain bahwa pemegang Hak Tanggungan Pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan.
Dan, selanjutnya Pasal 20 ayat 1 UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menegaskan apabila Debitur cedera janji, maka berdasarkan : a). Pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan.
b). Titel Eksekutorial yang dapat dalam sertifikat Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam UU, maka seharusnya pihak PT.BPR BUD selaku Kreditur pemegang Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melakukan pelelangan umum dan dibantu KPKNL tanpa melalui PN Larantuka.
Kecuali terhadap tindakan Eksekusi pengosongan.
Dan, perjanjian kredit tentang surat kuasa menjual, dengan demikian proses pelelangan agunan tersebut tanpa melalui prosedur.
Selanjutnya, menurut Kami penetapan sita eksekusi oleh PN Larantuka, masih bersifat prematur, karena perjanjian kredit antara PT.BPR BUD selaku kreditur dengan debitur selama 36 bulan, dari tanggal 28 September 2018 sampai tanggal 28 September 2021, adalah waktu jatuh tempo pelunasan jaminan.
Karena, pelunasan jaminan tanah dan bangunan tersebut harus menunggu berakhirnya jatuh tempo pada 21 September 2021.
Keenam: Sebagai Debitur, Kami merasa ditekan oleh BPR Larantuka, karena memaksa Kami untuk melunaskan pinjaman kepada Bank dengan alasan karena perkara tersebut dalam proses persidangan perdata di PN Larantuka.
Sementara, saat mediasi Hakim Majelis sudah menyampaikan untuk bisa dibicarakan secara damai, namun pihak Bank menolak dengan alasan yang tidak jelas.
Setiap ditanya tidak bisa karena masalah sudah di Pengadilan Negeri Larantuka.
Kami sebagai masyarakat pencari keadilan menanyakan apa benar tindakan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Larantuka dan pihak BPR BUD Larantuka, terkait tunggakan hutang Kami yang belum jatuh tempo?
Kami sebagai konsumen dan sebagai masyarakat Indonesia punya hak untuk mendapatkan keadilan, yang sangat kelihatan adalah keadilan berat sebelah.
Dan, Kami merasa sangat ditekan dalam masalah ini.
Sementara Kami masih punya niat bayar.
Untuk itu, sekali lagi Kami menolak keras proses pelelangan dimaksud.
Ketujuh: Ada beberapa Nasabah yang mengalami hal yang sama disaat membayar sedikit ketunggakan mereka kepada pihak BPR BUD Larantuka, tapi pihak BPR BUD Larantuka menyampaikan bahwa akan melakukan perpanjangan masa kredit kepada mereka dengan catatan jangan menyampaikan kepada nasabah lain. Apakah perlakuan ini benar?
Kedelapan: Perlu Kami sampaikan perhitungan Agunan oleh Tim Apprisal dan penetapan penunjukan Tim Aprisal oleh PN Larantuka, Kami selaku Debitur tidak disampaikan.
Kami dengarnya dari pegawai PN Larantuka, bukan pemberitahuan secara resmi. Apakah ini benar?
Kesembilan: Perlu dijelaskan bahwa pada Agunan tersebut ada 2 buah kubur keluarga, yang satu sudah ada sebelum kredit pada PT.BPR BUD Larantuka.
Dan, yang satu lagi pada Bulan Oktober 2019.
Kami diberikan surat oleh pihak BPR BUD Larantuka untuk bongkar kubur tersebut.
Menurut Kami, pihak Kredit pada BPR BUD Larantuka, tidak secara cermat dalam meneliti Agunan Kredit dalam memberikan kredit kepada Nasabah.
Kesepuluh: Pihak Bank memberikan tenggang waktu kepada Kami selama 14 hari untuk membayar lunas dengan nilai yang sangat mencekik debitur.
Sementara, Kami tahu ada pernyetaan modal APBD Flotim kepada BPR BUD Larantuka.
Dan, itu uang rakyat.
Sekalipun, Nasabah macet, apakah harus lelang agunan dan menakuti Debitur dengan aturan OJK.
Bukannya, aturan OJK melindungi Konsumen.
Kami mohon Bapak Ketua DPRD Flotim dan Komisi B bertindak tegas pada PT. BPR BUD Larantuka, yang perlakuan mereka bukanlah menggunakan hati nurani, tapi mempermalukan Debitur, dengan membawa aparat untuk pasang papan plang.
Ini Bank Daerah, apa tidak ada cara lain, yang lebih baik.
Kami masih mampu bayar. Kami tidak lari dari tanggungjawab.
Kami minta direskedule. Jangan karena kredit macet, Nasabah masih mampu bayar, agunan dilelang tanpa sepengetahuan Kami.
Ada beberapa nasabah BPR BUD Larantuka juga alami perlakuan, yang sangat mengganggu psikologi masyarakat Flotim.
Kami mohon kebijakan dan ditindaklanjuti.
Demikian isi laporan ini dibuat Debitur Richardus Ricky Leo dan Istrinya Elisabeth Ede Keraf.
Laporan setebal 4 halaman ini tembusannya ke berbagai pihak.
Sebut saja, Ketua Pengadilan Tinggi di Kupang, Ketua Ombudsman NTT di Kupang, Ketua OJK NTT di Kupang, dan lainnya. (Delegasi.Com/BBO)