“Sebenarnya saya tak ingin menorehkan tulisan ini sejak awal kejadian. Namun tiga hari lalu, saya tiba-tiba kaget dan terbangun dari tidur sekitar Pukul 03.00 dini hari. Saat itu, listrik sedang padam. Sekonyong-konyong aksi mama -mama di Besipae menghantui pikiran saya”
Fabi Latuan
DELEGASI.COM – MASYARAKAT NTT kembali dihebohkan dengan beredarnya video aksi Gubernur NTT, Viktor Laiskodat saat menghadapi Mama-Mama bertelanjang dada di Besipae di Media Sosial sekitar 2 pekan lalu.
Latar belakang alias sejarah dibalik kejadian yang merupakan ‘kecelakaan’ sejarah kepemimpinan di NTT itu sangat panjang. Masyarakat Besipae tahu betul bahwa lahan itu merupakan warisan nenek moyangnya yang menjadi sumber kehidupan bagi mereka dan anak-cucunya.
Menurut masyarakat di Besipae, lahan yang masa HGU-nya telah usai pada tahun 2012 itu harusnya dikembalikan Pemprov NTT kepada mereka sebagai pemilik sah hak ulayat lahan Besipae. Namun yang terjadi, segelintir oknum di Pemprov NTT diduga melakukan rekayasa dan intimidasi dalam penyerahan hak milik dari warga setempat untuk memproses sertifikat hak milik atas nama Pemprov NTT.
Karena itu masyarakat adat yang mendiami Besipae melakukan penolakan dan demo untuk memprotes Pemprov NTT. Mereka seakan tak kenal lelah untuk memperjuangkan hak mereka yang menurut mereka telah dirampas oleh Pemprov NTT.
Disisi lain, Pemprov NTT mengklaim tanah itu telah menjadi hak milik Pemprov NTT dengan diterbitkannya sertifikat hak milik pada tahun 3013. Bahkan Pemprov mempersilahkan masyarakat adat di Besipae melakukan gugatan ke pengadilan untuk membatalkan sertifikat itu.
Menurut Pemprov NTT, pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk mengakomodir kepentingan masyarakat Besipae. Namun upaya itu ditolak masyarakat Besipae dan tetap menuntuk pengembalian seluruh lahan ulayat Besipae.
Namun dalam tulisan ini, saya tidak ingin membahas secara mendalam sejarah lahan Besipae yang disengketakan oleh masyarakat ulayat dan Pemprov NTT. Saya hanya ingin membedah kejadian yang terjadi pada Jumat (12/5/20) itu.
Mari kita bedah kejadian itu secara independen alias merdeka dalam mengungkapkan pikiran kita sebagai warga negara yang peduli dengan pembangunan daerah ini..
1. Pemagaran Lokasi Tempat Pertemuan
Secara protokoler, sebelum seorang Gubernur mendatangi lokasi pertemuan, dinas teknis dan protokoler yang ditugaskan mendampingi gubernur dalam pertemuan itu mempersiapkan segala sesuatunya. Termasuk memantau dan mengkondisikan situasi pertemuan tersebut.
Tapi mengapa situasi tersebut tidak dideteksi oleh dinas teknis dan protokoler. Ini hanya bisa terjadi kalau ada staf ‘bai’ngao’ yang ditugaskan untuk mengatur pertemuan itu. Atau memang ada pihak yang ‘kepala batu’ untuk tetap melaksanakan pertemuan itu walaupun situasinya tidak memungkinkan.
Ketika Gubernur Laiskodat dan rombongan tiba di Besipae (seperti yang terlihat dalam video, red), lokasi pondok dan pondok pertemuan telah dipagari dengan kayu. Secara sekilas, siapa pun pasti akan menangkap pesan non-verbal dari keberadaan pemagaran itu.
Seorang pemimpin yang bijak, akan memahami pesan penolakan yang amat sangat terhadap kehadiran dirinya oleh para pemilik ulayat lahan Besipae. Para protokoler pun harusnya mengarahkan Gubernur Laiskodat untuk meninggalkan tempat itu agar tidak terjadi aksi/demonstrasi yang lebih memalukan kepada seorang gubernur.
Namun yang terjadi (seperti dalam video yang beredar, reed), Gubernur Laiskodat ‘beradu mulut’ sambil menunjuk-nunjuk warga. Rupanya komunikasi verbal alias secara lisan saat itu antara Gubernur dan warga setempat tak ada titik temu. Gubernur terjebak dengan situasi saat itu. Atau mungkin saja sang gubernur memang sengaja dijebak dalam situasi itu.
Tampak Gubernur Laiskodat tak dapat mengendalikan emosinya hingga nekad menaiki pagar kayu itu. Namun dihalangi dengan pelukan di kakinya (saat berada di atas pagar, red) oleh seorang mama bertelanjang dada.
Sebenarnya ada pesan non-verbal yang ingin disampaikan sang mama saat memeluk kaki Gubernur Laiskodat. Dengan memeluk kaki sang gubernur, sebenarnya sang Mama sedan memohon, ‘Jangan rampas tanah yang menjadi sumber kehidupan bagi kami dan anak-cucu’, begitu pesan yang saya tangkap..
2. Adu Mulut
Saat berdialog, Gubernur dan rombongan telah menangkap pesan penolakan itu secara gamblang. Lalu mengapa Gubernur tidak memerintahkan dinas teknis untuk menyelesaikan masalah itu? Lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Mengapa dinas teknis dan protokol tidak berinisiatif untuk segera mengambil alih situasi? Mengapa seorang gubernur diposisikan sebagai seorang juru nego sengketa lahan? Saya kira secara sadar atau tidak, saat itu dinas teknis dan protokol sedang merendahkan jabatan seorang gubernur dengan membiarkannya beradu mulut dengan masyarakat setempat.
Apalagi untuk menjadi seorang negosiator, diperlukan kematangan emosional yang luar biasa. Hmmm …. sebagai seorang pemimpin yang bijak, bukankah sebaiknya Gubernur Laiskodat dapat meredam emosinya dan berbalik meninggalkan tempat itu karena secara gamblang ia ditolak di depan matanya?
Menurut anda, pantaskah seorang gubernur memarahi dan membentak-bentak rakyatnya yang sedang memperjuangkan sumber penghidupan yang menjadi hak anak-cucu? Bijaksanakah?
Apakah pengembangan ternak dan kelor harus dibangun di atas penderitaan para pemilik lahan ulayat Besipae? Berapa sih besaran APBD NTT untuk pengembangan ternak dan kelor?
Hmmmm … bagi saya itu alasan ‘asal bunyi’ yang sangat menyedihkan untuk dijadikan kedok. Saya tahu persis berapa besaran dananya APBD NTT untuk pengembangan sapi dan kelor. Tapi tak perlu kita bahas dalam tulisan ini.
3. Aksi Telanjang Dada
Telanjang dada yang dipertontonkan Mama-Mama di Besipae merupakan simbol perlawanan yang sangat luar biasa. Ada pesan non-verbal yang sangat kuat dibalik aksi itu
Dilihat dari sejarah perjuangan mereka, saya kira aksi telanjang dada itu merupakan bentuk frustrasi setelah rangkaian perjuangan mereka melalui aksi demo tidak membuahkan hasil. Bahkan ditanggapi dengan emosional oleh seorang gubernur yang mendatangi mereka.
Ternyata apa yang mereka harapkan dari kedatangan seorang gubernur tak sesuai ekspektasi mereka. Padahal mereka pasti berharap lebih, mungkin sang Gubernur bisa lebih bijaksana dalam melihat masalah sengketa Lahan Besipae sehingga dengan arif mencarai solusi terbaik bagi kedua pihak.
Jika dicermati, tak ada lagi pilihan yang lebih bermartabat bagi mereka untuk mengungkapkan pesan ‘Cinta’ mereka untuk dapat dipahami seorang Gubernur NTT yang katanya saat kampanye berjanji akan memperjuangkan hak rakyat kecil.
Dilihat dari kekompakan dan gestur tubuh mereka saat membuka baju, saya berkesimpulan bahwa mama-mama di Besipae itu sudah ‘siap’ untuk menyambut kedatangan Gubernur Laiskodat dengan penolakan. Mereka dengan sadar melakukan aksi telanjang dada karena itu mereka mengenakan celana pendek karet alias celana umpan.
Lalu saya berandai-andai, bagaimana jika saya berada dalam posisi sebagai Gubernur Laiskodat? Mungkin saya akan menunduk atau berpaling sambil memohon Mama-Mama itu kembali mengenakan bajunya. Kemudian saya pamit dan meninggalkan tempat itu.
Lalu saya akan mencari tahu duduk persoalan yang sebenarnya dari kedua belah pihak, mengumpulkan para dinas teknis dan kalangan LSM dan akademisi untuk mengkaji dan menganalisis masalah itu demi mendapatkan solusi terbaik. Yah … karena dalam kampanye saya, sudah pasti saya menjajikan untuk memperjuangkan nasib ‘wong cilik’.
Namun khayalan saya itu buyar ketika didatangi Mich, si bungsu yang masih duduk di bangku Paud. “Ba .. uang seribu do beli jajan…,” ujarnya. “Ahhh … rupanya si bungsu juga gagal paham dengan pesan saya untuk tidak jajan karena akan mengurangi nafsu makannya,” gumanku sambil menggelengkan kepala.
4. Pesan ‘Cinta’
Sebenarnya ada pesan penuh ‘Cinta’ yang sebenarnya ingin mereka sampaikan secara non-verbal dari aksi telanjang dada itu. Mereka rela mempermalukan diri mereka untuk dapat menyampaikan pesan non-verbal itu karena pesan verbal atau lisan dan tulisan dari aksi demo mereka yang berulang-ulang sejak beberapa tahun lalu tak dipahami secara baik oleh Pemprov NTT.
Mereka secara sadar ingin memperlihatkan buah dadanya sebagai aksi protes yang teramat sangat kepada Gubernur NTT. Yang saya pahami, sebenarnya ada pesan ‘Cinta’ yang tersembunyi dibalik aksi telanjang dada itu.
‘Tanah ini merupakan air susu yang menghidupi kami sejak turun-temurun hingga anak-cucu kami karena itu kami akan terus memperjuangkannya walaupun harus merendahkan harkat dan martabat kami’, begitu kira-kira pesan ‘Cinta’ yang dapat saya tangkap dari aksi telanjang dada itu.
Namun sangat disayangkan, pesan ‘Cinta’ Mama Bertelanjang Dada di Besipae itu juga gagal dipahami dan ditangkap oleh Gubernur Laiskodat dan para pejabat di lingkup Pemprov NTT. Mungkin ada yang mampu menangkap pesan ‘Cinta’ itu tapi tak mampu mengungkapkannya secara gamblang. Lagi pula mungkin mereka takut mengambil risiko ditendang dari jabatannya. Sehingga mereka lebih memilih menjadi oportunis dan tetap menjaga zona nyamannya.
Para Mama di Besipae rela mengambil risiko dengan merendahkan harkat dan martabatnya untuk menyampaikan pesan ‘Cinta’ dengan merendahkan harkat dan martabatnya sambil berharap aksi mereka bisa membuka ‘mata hati’ sang gubernur.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi ‘pembawa’ pesan Cinta. dari Mama-Mama Bertelanjang Dada di Besipae kepada Gubernur dan Wakil Gubernur NTT, DPRD NTT, para aktivis kemanusiaan, dan masyarakat, khususnya, para pembaca.
5. Gagal Paham
Saya tertawa geli ketika membaca berita bahwa aksi telanjang dada itu dianggap sebagai porno aksi, bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap seorang gubernur sehingga akan dilaporkan ke polisi. Sebegitu dangkalkah pemahaman dan daya tangkap seorang Kepala Biro Hukum Setda NTT?
Hanya orang yang ‘gagal paham’ yang mengartikan aksi mama-mama di Besipae sebagai porno aksi. Yah … ‘gagal paham’ dari seorang pejabat di NTT. Saya kira anak SD pun akan paham bahwa itu merupakan demo alias penolakan terhadap gubernur.
Kalau ada beberapa pejabat di lingkup Pemprov NTT yang sering ‘gagal pahan’, bagaimana nasib daerah ini di masa yang akan datang? Pertanyaannya seperti apa saran atau masukan yang mampu mereka berikan untuk gubernur? Atau mereka sekedar ‘Asbun’ dengan memberikan masukan yang keliru hanya sekedar ‘cari muka’ dan ‘Asal Bapak Senang’?
Kalau motivasinya demikian, maka bagi saya itu sikap seorang pejabat yang sangat picik dan kerdil. Mengapa di jaman ‘now’ masih ada pejabat yang tega manfaatkan perjuangan hidup rakyat kecil untuk ABS demi jabatan? Hanya para ‘pembesar’ di Pemprov NTT yang mampu menjawabnya secara jujur.
Yang pasti Mama-Mama di Besipae merasa sangat sedih, ketika perjuangan mereka untuk menyampaikan pesan ‘Cinta’-nya tak mampu dipahami oleh Gubernur Laiskodat dan rombongannya saat itu. Gagal paham….seperti itulah istilah keren jaman now.
Sebenarnya, sejak malam pertama video aksi telanjang dada itu beredar di Medsos, saya ingin menuliskan beritanya. Namun saya berusaha menahan diri. Karena saat melihat video itu, darah aktivis saya terasa ‘mendidih’. Namun saya menarik napas panjang, lalu melepaskan secara perlahan. Akhirnya saya berhasil meredam emosi saya untuk tidak menulis.
Mengapa? Keadaan emosional seorang penulis, akan terlihat dari tulisan yang dihasilkan saat itu. “Biarlah teman-teman yang lain yang menulis kejadian yang memalukan itu,” ujarku bergumam.
Namun hati nurani saya sebagai seorang aktivis reformasi 1998, terus bergejolak untuk ikut memperjuangkan nasib warga Besipae. Saya merasa menjadi bagian dari perjuangan dari mamaj-mama di Besipae.
Saya teringat bagaimana memperjuangkan reformasi melawan pemerintah orde baru saat. Saat itu, tanggal 12 Mei 2008.saya dan beberapa teman memimpin demo ribuan mahasiswa Undana di Jalan El Tari, tepat di depan pintu gerbang depan Gedung DPRD NTT.
Saat itu kami melakukan demo untuk menuntut mundurnya Presiden Soeharto. Kami demo dengan todongan senjata laras panjang milik aparat Brimob yang berbaris disepanjang pagar gedung itu. Muka mereka ditutup kedok hitam, hanya kelihatan kelopak dan biji matanya.
Negosiasi saya dengan Kapolres Kupang saat itu, Bpk. Yeremias Soai tak menghasilkan kesepakatan karena kami tetap ingin bertemu dengan wakil rakyat untuk menyampaikan ‘pesan’ alias tuntutan rakyat yang kami bawa kepada wakil rakyat di DPRD NTT.
Karena tak ada kesepakatan, kemudian ami dikepung oleh pasukan anti huru hara Brimob Polda NTT dengan tameng dan bersenjata rotan. Kami diberi batas waktu untuk membubarkan diri hingga Pukul 13.00 Wita. Kami merespon peringatan itu dengan aksi duduk di jalan dan boulevard Jalan El Tari. Namun tiba-tiba kami dibubarkan dengan paksa. Pukulan rotan, tendangan dan gas air mata menghujani kami.
Sebanyak 12 orang diantara kami (termasuk saya, red), ditangkap, dianiaya dan dijebloskan ke balik jeruji Polres Kupang di Fontein. Saya dan seorang adik semester saya, Agus dikejar dan ditangkap di belakang Gedung Dinas PUPR Oebobo. Kami dikepung 8 intel yang mengendarai 4 unit motor trail. Jangan bergerak!” ujar seorang intel yang menodong punggung saya dengan pistol.
Saya dan Agus diikat dengan 1 borgol. Kami berdua dianiaya tepat di pertigaan jalan di sudut pagar belakang bagian barat. Bibir saya pecah 2 cm dan tulang tenggorokan saya bergeser karena ditendang sepatu ‘boneng’. Pergelangan tangan dan kaki saya lepas dari persambungannya. Tulang belakang saya retak di beberapa tempat yang sakitnya masih terasa hingga saat ini.
Kami dibawa ke Polres Kupang di Fointein (saat itu, red) dan diperlakukan bak teroris. Di foto dengan dari berbagai sisi dengan memegang kertas putih tertulis nama kami dengan spidol hitam. Saat itu, saya sedih mellhat kondisi seorang mahasiswi adik semester, Ansy yang tulang hidungnya tampak patah oleh hantaman rotan polisi anti huru-hara.
Tapi itulah resiko dari perjuangan tulus penuh cinta untuk bangsa dan negara ini. Akhirnya kami dilepas sekitar Pukul 19.00 Wita, setelah Gubernur Herman Musakabe menugaskan dosen kami di FISIP Undana, Prof. Dr. Alo Liliweri bertemu Kapolres Yeremias Soai.
Apa yang kami alami saat itu hampir sama dengan yang terjadi di Besipae. Ada ‘gagal paham’ dan kesewenang-wenangan yang melatarbelkangi kedua kejadian itu. Ada ‘pesan penuh cinta’ yang ingin kami sampaikan kepada DPRD NTT saat itu (tapi kami dihadang, red). Pesan tulus nan suci untuk membebaskan rakyat Indonesia dari pemimpin diktator yang bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Mengenang kejadian itu, saya seakan merasakan apa yang sedang dialami oleh Mama-Mama Telanjang Dada di Besipae. Mereka tak peduli dengan risiko dari aksi mereka untuk menyampaikan pesan ‘Cinta’ yang sungguh begitu kuat, ‘Tanah ini adalah air susu yang menghidupi kami secara turun-temurun hingga anak-cucu kami.’ Mereka rela mempertontonkan sesuatu yang paling berharga bagi mereka dan nekad melanggar adat-istiadat dan budaya orang Timor. Mereka rela jadi bahan tontonan orang demi memperjuangkan lahan yang menjadi ‘piring nasi’ bagi mereka..
Saya kira …. saya dan para pembaca sepakat, bahwa Mama-Mama yang bertelanjang dada itu sedang berjuang dengan gigih tanpa rasa takut dan malu untuk mendapatkan kembali haknya. Mama-Mama Terlanjang Dada itu ingin menyampaikan bahwa mereka sedang memperjuangan ‘piring nasi’ bagi anak-cucunya.
Saya yakin, tak ada sedikitpun keinginan mereka untuk mempertontonkan porno aksi atau mempermalukan Gubernur Laiskodat saat itu. Mereka hanya berupaya mempertahankan hak mereka.
Seperti saya ceritakan sebelumnya, sebenarnya saya tak ingin menorehkan tulisan ini sejak awal kejadian. Namun 3 hari lalu, saya tiba-tiba kaget dan terbangun dari tidur sekitar Pukul 03.00 dini hari. Saat itu, listrik sedang padam. Sekonyong-konyong aksi mama-mama di Besipae menghantui pikiran saya. Saya berusaha menghilangkannya dan berupaya untuk bisa kembali tidur namun itu tak terjadi.
Lalu … saya mengambil HP disebelah bantal kepala. Sambil berbaring, saya mencoba menuangkan pikiran dan ide-ide yang terlintas kencang di benak saya saat itu. Tak terasa air mata saya meleleh saat membuat tulisan yang ini. Saya teringat akan ibu saya yang telah ‘berpulang’ ke pangkuan-Nya 10 tahun silam. Betapa gigihnya, Ibu memperjuang kehidupan untuk kami anak-anaknya.
Saya sempat tak melanjutkan tulisan ini karena air mata saya tidak berhenti meleleh sekitar 10 menit. Kejadian ini baru pertama kali saya alami setelah lebih 20-an tahun menulis. Saya berpikir, bagaimana kalau ibu saya berada dalam posisi mama-mama di Besipae? Bagaimana rasanya kalau saya melihat mama saya harus merendahkan harkat dan martabatnya untuk memperjuangkan ‘piring nasi’ bagi saya?
Mudah-mudahan kejadian yang memalukan dan baru pertama kali terjadi di Indonesia, bahkan mungkin di dunia itu tak akan terulang kembali. Bagi saya, kejadian di Besipae menjadi ‘kecelakaan’ sejarah kepimpinan di NTT.
Tentunya kita berharap bahwa kejadian seperti itu dapat menjadi pengalaman dan pelajaran berharga bagi para pemimpin kita untuk lebih arif dan bijak dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah. Juga bagi kita semua untuk lebih mengahargai Mama/Ibu yang menghidupi kita dengan air susunya.
Bukankah ‘Surga ada ditelapak kaki ibu? Setinggi-tingginya jabatan yang kita raih, surga kita tetap ada di bawah telapak kaki ibu kita. Maka membungkuk dan berlututlah di depannya. Tanggalkan ego-mu untuk bisa berada di bawah telapak kakinya. Karena di situlah letak pintu surga untuk-mu.
Tanggalkan jabatanmu, karena itu tak ada artinya dihadapan seorang ibu yang sedang memperjuangkan kehidupannya dan ‘piring nasi’ anak-cucunya. Sejak nenek moyangnya, mereka telah mendiami kawasan Besipae? Hidup dari tanah Besipae? Besipae bak air susu yang menghidupi nenek moyangnya hingga anak-cucunya saat ini?
Apakah kenyataan itu masih belum cukup? Sehingga dengan berbekal sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) lahan Besipae (yang berakhir pada tahun 2012), Pemprov NTT ‘mengintimidasi’ dan dengan sewenang-wenang memproses sertifikat ‘abal-abal’ tanpa sepengetahuan mereka sebagai ahli waris pada tahun 2013. Hmmm … Itu namanya mengambil kesempatan dalam ‘kesempitan’ alias mengail di air keruh.
Lalu Pemprov NTT berusaha mengusir mereka dari lahan yang telah menghidupi mereka secara turun-temurun? Tunggu dulu bosss…. Mereka juga manusia yang sadar akan hak-haknya. Awaaas …. Mama-Mama Telanjang Dada itu bisa lebih nekad dan berbahaya dari seokor singa betina yang sedang menjaga anaknya.
Karena itu, jika Pemprov NTT masih bisa berpikir bijak, tanggalkanlah pendekatan ala feodalisme? Mungkin dengan menanggalkan pendekatan bergaya feodalisme, Pemprov akan terlihat sedikit lebih elegan.
Pertanyaannya, mengapa para pejabat di lingkup Pemprov NTT tak bisa melihat masalah lahan Besipae secara objektif, jujur, atau tanpa tendensi kepentingan tertentu? Setidak-tidaknya, dengan menyelesaikan masalah lahan Besipae secara objektif dan jujur, Pemprov akan mematahkan isu yang beredar bahwa ada kepentingan ‘Bos Besar’ dibalik pengusiran masyarakat dari lahan Besipae.
Buah dada adalah simbol dari air susu yang menghidupi saya, anda dan kita semua tanpa kecuali. Jangan sampai kita melecehkan buah dada yang menjadi sumber kehidupan bagi kita semua.
Saya masih ingat dongeng saat kecil dulu. Ada Malin Kundang, si anak durhaka yang tak mau mengenal ibu kandungnya setelah menjadi saudagar kaya raya. Malin Kundang dikutuk karena tak mau mengenal ibunya, walaupun sang ibu telah telah bersumpah dengan memeras air susu dari buah dadanya.
Ada juga dongeng lokal dari Pulau Rote, ‘Batu Badaon’ yang mengisahkan seorang ibu yang bunuh diri dengan menjepitkan dirinya ke dalam celah batu karena stres dan frustrasi akibat selalu dipersalahkan oleh suaminya dan anak-anaknya. Padahal ia telah memberikan semua kemampuan yang dimiliki untuk membahagiakan keluarganya.
Tentunya kita tak ingin kisah itu terulang lagi di jaman ini. Kita harus belajar dari kedua kisah itu. Karena ada pesan yang begitu kuat dari kedua dongeng tersebut, ‘Hargailah Ibu-mu yang menghidupi-mu dengan air susunya!’.
Akhirnya …saya mohon maaf kalau ada pihak yang merasa tersinggung ataupun terhina karena tulisan ini. Tak ada maksud saya untuk menyindir apalagi mempermalukan ataupun menghina seseorang dengan tulisan ini.
Saya hanya ingin menyalurkan aspirasi masyarakat adat di Besipae, TTS. Saya hanya ingin memberikan secuil pemikiran dan membagikan sebutir inspirasi kepada pembaca, khususnya bagi mereka yang merasa/mengaku/menjadi pemimpin daerah ini. Mudah-mudahan ini akan menjadi alat kontrol demi terciptanya good governance di NTT. Semoga+++
Penulis adalah Anggota Komunitas Wartawan Peduli Pembangunan (Kowappem NTT)