Hukrim  

Memberantas Korupsi, Racun Terbesar Indonesia,…

Avatar photo
berantas
Foto: Acara diskusi dan peluncuran "Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia", di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (24/3/2017).//foto kompas.com

Jakarta, Delegasi.com – Awal 2016, pubik dihebohkan dengan kasus “Kopi Mirna”. Kasus itu kemudian menyuguhkan drama pembunuhan seorang perempuan di sebuah kafe di pusat perbelanjaan elite di kawasan Jakarta Pusat. Mirna tewas usai menenggak es kopi Vietnam.

Seperti diberitakan kompas.com, akhir tahun yang sama, teman Mirna, Jessica Kumala Wongso, dinyatakan bersalah karena membunuh Mirna menggunakan sianida yang dimasukkan ke dalam es kopi Vietnam itu. Drama itu pun berakhir dengan dijebloskannya Jessica ke Rumah Tahanan Pondok Bambu.

Pengadilan memutuskan hukuman 20 tahun penjara kepada perempuan lulusan Billyblue College Sidney itu.

Peristiwa Kopi Mirna saat itu begitu ditunggu-tunggu. Publik amat penasaran dengan pekembangan kasus racun sianida itu. Padahal, “racun” yang sesungguhnya lebih mengancam bangsa, adalah korupsi.

Penulis buku “Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia”, Peter Carey menuturkan, ada dua racun yang saat ini sedang dihadapi indonesia. Dua racun itu yakni agama di dalam ranah politik dan korupsi.

“Korupsi tidak enteng. Ada banyak kasus dari negara yang ambruk sebab korupsi dan sebab tidak bisa mengelola keuangan dengan seksama,” kata Peter dalam acara peluncuran dan diskusi bukunya di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (24/3/2017).

Racun korupsi bahkan sudah mengakar sejak lama, setidaknya sejak zaman Diponegoro pada 1785 hingga 1855.

Korupsi menjadi isu yang tak lekang oleh waktu. Masih marak hingga kini, bahkan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk.

Sejak KPK berdiri, kata Peter, sedikitnya 3 persen dari korupsi di ranah publik bisa diungkap oleh KPK. Angka tersebut setara dengan sekitar Rp 207 triliun.

Nilai yang cukup untuk membangun proyek infrastruktur besar-besaran di tanah air.

“Itu cukup untuk membuat satu jalan tol dari Jakarta sampai Surabaya dan hampir ke sini lagi,” tuturnya.

Itu baru 3 persennya saja, yang bisa diungkap KPK. Bagaimana soal 97 persen sisanya yang tak terlacak? Padahal, menurut McKinsey Global Institute, Indonesia berpotensi menjadi negara terkaya keempat saat menginjak usia kemerdekaan yang ke-100. Hanya berada di bawah China, India dan Amerika Serikat.

“Kalau 97 persen yang tidak dilacak, dilacak. Itu bisa membayar rumah sakit yang baik bagi masyarakat, pendidikan yang memadai,” ucap Peter.

Mantan Komisioner KPK, Chandra Hamzah mengungkapkan bahwa peraturan pertama dalam sejarah Republik Indonesia yang mengatur tentang tindak pidana korupsi adalah peraturan penguasa militer tahun 1957.

“Mungkin belum banyak dalam literatur,” kata Chandra pada kesempatan yang sama.

Peraturan tersebut dikeluarkan karena adanya nasionalisasi terhadap aset Belanda pada tahun 50an. Aset tersebut kemudian jadi rebutan kelompok sipil dan militer. Keadaan yang menjadi tak terkontrol membuat A.H. Nasution membuat peraturan tersebut.

“Aset itu nilainya demikian luar biasa. Bayangkan, perkebunan karet, teh, kelapa. Kemudian keluarlah ini barang (peraturan penguasa militer 1957). Asetnya miliaran rupiah. Saya enggak bisa hitung, pasti luar biasa,” kata dia.

Sejarah panjang korupsi, lanjut Chandra, setidaknya bisa membuat masyarakat belajar bahwa racun terbesar tanah air itu harus diperangi dan dipelajari pola-pola. Hal itu dilakukan agar kesalahan sama tak terulang.

“Karena guru yang baik itu belajar dari pengalaman dan yang paling bagus lagi dari pengalaman orang lain. Kita juga sudah mengetahui apa yang dilakukan orang zaman terdahulu,” ucapnya.//delegasi(hermen/kompas.com)

Komentar ANDA?