“Benar, bahwa semua kandidat yang adalah orang-orang hebat dari Manggarai Timur ini sudah jujur menyampaikan laporan mengenai harta bergerak dan tidak bergerak dirinya dan istri serta anak-anak. Namun, akan sangat diperlukan kejelian KPK untuk cros ceck dan menyesuaikan laporan ini dengan fakta dilapangan,” Petrus Natom
Delegasi.com -Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) Kandidat calon Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Timur yang dipublikasikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menjadi perbincangan publik.
Laporan ini, laik untuk diperiksa dan dibahas lebih jauh. Urusannya bukan pada persoalan banyak dan sedikit, tapi kepada kejujuran dan kesiapan yang mapan kandidat kepala daerah.
Benar, bahwa semua kandidat yang adalah orang-orang hebat dari Manggarai Timur ini sudah jujur menyampaikan laporan mengenai harta bergerak dan tidak bergerak dirinya dan istri serta anak-anak. Namun, akan sangat diperlukan kejelian KPK untuk cros ceck dan menyesuaikan laporan ini dengan fakta dilapangan.
Apresiasi bagi transparansi KPK untuk memberikan hasil laporan ini secara terbuka kepada masyarakat untuk menilai dan menimbang. Betul, bahwa dalam ruang tertentu, laporan jumlah harta kekekayaan ini na’if kalau dijadikan pertimbangan utama untuk memilih kandidat yang kemudian menjadi pemimpin di Manggarai Timur.
Toh, kaya atau miskin itu bukan tolak ukur utama. Yang utama adalah soal visi-misi, track record dan integritas pemimpin.
Hal itu yang dibutuhkan untuk segera mengeluarkan Manggarai Timur dari keterisolasian akut selama ini.
Namun, perlu diingat, pesta demokrasi, juga membutuhkan biaya (cost). Biaya politik memang bukan urusan utama.
Namun, mejadi satu-satunya pilar agar proses politik ini menjadi lancar. Toh, semua proses membutuhkan biaya.
Uang misalnya, alat peraga kampanye (baliho, stiker, spanduk, pamvlet), biaya sosialisasi, operasional. Saksi, partai politik dll. Oleh biaya diatas, wajib bagi masyarakat untuk memeriksa siapapun kandidat yang ingin maju dengan pertimbangan pengabdian dan penyandaran ke pihak ketiga (kontraktor, pengusaha dll).
Soal pengabdian
Mengabdi itu melayani. Pengabdian itu mengarah pada keihlasan untuk melayani kepentingan orang banyak. Ia tidak memikirkan diri sendiri atau keluarga. Pun demikian dengan mengharapkan imbalan. Mengabdi secara sungguh, tak pernah mengharapkan imbalan. Yang dipikirkan adalah urusnan orang banyak. Bagi pemimpin, watak mengabdi sesungguhnya adalah poin penting.
8Jika ingin jadi pemimpin, ia harus menggeser kepentingan diri dan kelompok. Mengutamakan orang banyak. Masyarakat.
Sesungguhnya watak mengabdi ini yang masih miskin bagi pemimpin kita. Banyak pemimpin selama ini justru mengutamakan urusan diri, keluarga dan kelompoknya. Kepentingan masyarakat jadi urusan wahid.
Membangun rumah mewah, membeli tanah dan apartemen. Istri keluar negeri, anak berfoya-foya diperantauan. Itu cirri khas pemimpin kita.
Pemimpin adalah ruang untuk memperkaya diri dan mempercantik istri.
Urusan mengabdi sampai pada kesiapan dan kematangan diri pada saat ingin terlibat dalam bursa pencalonan.
Calon pemimpin, harus punya kesiapan matang, fisik dan financial. Kalau belum maka berbusa-busa ia menyebut diri untuk pelayanan. Karena pertama dan utama ia harus menutup semua pinjaman dan tumpangan tangan pihak ketiga yang berbaris dibelakangnya untuk menagih modal yang ikut diberikan untuk membiaya dirinya. Tutup modal.
Jika persiapan Cuma bermodal sekarung beras, itu penyakit social. Peyakit inilah yang akan berakibat fatal pada upaya pelayanan dan pengabdian. Bagaimana mungkin hendak mengabdi pada kepentingan masyarakat ? jika ada tangan-tangan kelompok pemodal yang sudah setia menunggu dibelakangnya. Meminta jatah.
Kepuasan bagi kandidat yang kurang siap secara finasial sesungguhnya bukan pada masyarakat yang adalah kekuasaan tetingi dalam hajatan demokrasi, melainkan kroni-kroni pemodal. Pembangunan urusan belakangan. Pengabdian seperti ini yang mesti diperiksa oleh masyarakat jika ingin daerahnya maju dan bermartabat.
Berikut adalah soal pembangunan. Contoh, Jika satu pembangunan infrastruktur seyogyanya dilakukan oleh satu piha, secara menyeluruh, harus dipenggal-penggal demi memuaskan pihak pemodal yang lain. Jika tidak maka akan terjadi pertentangan bahkan konflik. Toh, akhirnya kesengsaraan dan kemelaratan akan terus menghantui masyarakat.
Tak akan berubah secara cepat. Perlahan dan lambat. Akan berakibat pada melengketnya status miskin dan tertinggal.
Pemimpin harus fokus.
Fokus itu memusatkan perhatian pada satu titik. Titik yang menjadi fokus utama harus dikaji sebagai urusan utama dan pertama. Kajian ini harus berdasarkan penelitian ilmiah. Juga soal skala prioritas. Disana harus melibatkan lembaga survey yang independent dan teruji kredibilitasnya. Survey Indo Barometer Deny J. A, (September 2017) menempatkan pembangunan infratsruktur jalan adalah masalah serius Manggarai Timur. Ada sekitar ±80 % masyarakat Manggarai Timur yang mengeluh dan menginginkan infrastruktur jalan segera dibenahi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Jaringan jalan kabupaten dan provinsi di Manggarai Timur total 1.449,8 Km, masing-masing yakni jalan kabupaten 1281,30 Km dan jalan provinsi 168,50 Km. Dari total jaringan jalan tersebut jalan berkondisi rusak yakni 660,76 km dengan rinciannya jalan provinsi yang rusak 79,66 Km dan jalan kabupaten yang rusak 581,1 Km.
Jika jalan yang berkategori rusak parah sebanyak diatas, percuma calon pemimpin di Manggarai Timur berbusa-busa bicara soal kesejahteraan. Nihil. Pertimbangannya, bagaimana mungkin bicara soal pemberdayaan ekonomi jka komoditas local masyarakat sulit untuk berubah menjadi uang yang banyak karena sarana transportasi masih buruk ? juga soal kesehatan dan pendidikan. Lalu, bagaimana mungkin bercita-cita membangun pariwitasa jika sarana jalan masih belum mumpuni. Sekali lagi, fokusnya diinfrastruktur jalan, agar hal lain dapat diperdayakan dengan sendirinya.
Pengabdian dan pelayanan sungguh-sungguh mewajibkan kita memeriksa secara jeli calon pemimpin yang nanti dipastikan memimpin Maggarai Timur.
Selain jika ingin pembangunan merata dan progress dilakukan, juga soal mengeluarkan stigma buruk akan praktik pembangunan selama ini di Manggarai Timur.
Sebagai masyarakat, kita tidak ingin lima tahun kedepan pembangunan masih sama seperti sekarang ini. Kita butuh perubahan, maka perubahan itu hanya bisa dilakukan oleh pemimpin baru, bukan pemimpin lama yang justru membuat nama Mangarai Timur jadi perbincangan serius di media social karena ketimpangan pembangunan. Mari memeriksa pemimpin yang jujur.(*)