Memulihkan Trauma Pelecehan Seksual Lewat ‘Speak Up’

  • Bagikan
Ilustrasi. Saat berani speak up, seorang korban biasanya telah melalui berbagai proses pemulihan. (Milada Vigerova)

JAKARTA,DELEGASI.COM–Sejak kemarin, jagad maya diramaikan oleh pengakuan seorang pengguna Twitter atas pelecehan seksual yang dialaminya. Pelecehan itu diduga dilakukan oleh pembawa acara Gofar Hilman.

Respons netizen pun beragam. Ada yang memberikan dukungan, tapi tak sedikit pula yang justru mencibir.

Apa yang dilakukan oleh pengguna Twitter tersebut atas pelecehan seksual yang dialami termasuk dalam kategori ‘speak up‘. Dalam ranah pelecehan seksual, ‘speak up‘ berarti berani berbicara lantang mengenai peristiwa kelam yang pernah dialaminya.

Secara psikologis, speak up juga bisa jadi bentuk proses pemulihan trauma korban.

Baca juga: 

Longsoran Trans Koli-Mangaaleng Dampak Seroja Adonara Mulai Ditangani

Selain Pinjaman Rp1,5 T, Fraksi PDI Perjuangan NTT Juga Soroti Soal LHP BPK

 

Psikolog klinis, Veronica Adesla mengatakan bahwa butuh keberanian besar bagi penyintas pelecehan atau kekerasan seksual untuk mau speak up.

“Saat penyintas berani bicara, umumnya mereka sudah mengalami proses pemulihan. Walau belum 100 persen, tapi sudah cukup besar, sehingga berani cerita,” kata Veronica seperti dilansir dari CNNIndonesia.com

“Apa dengan cerita [speak up] ini juga bagian dari proses pemulihan? Iya, ini termasuk proses pemulihan,” tambah Veronica.

Menurutnya, penyintas pelecehan seksual yang bisa speak up berarti sudah berada di sejumlah fase. Pertama, korban sudah menerima peristiwa pelecehan yang dialaminya. Kedua, korban mau berbagi dengan orang lain, serta memiliki harapan atau niat baik untuk mencegah kejadian serupa terulang.

Poin kedua, lanjut Veronica, tak lagi untuk penyintas sendiri secara pribadi, tapi juga untuk masyarakat luas. “Dalam arti apa yang bisa jadi kontribusi [saya] pada masyarakat luar. Enggak lagi terkungkung di trauma tersebut,” imbuhnya.

Tidak ‘Speak Up’ Ikut-ikutan

Kendati demikian, Veronica melanjutkan, bukan berarti speak up harus dilakukan berbarengan di antara para korban pelecehan seksual. Hal ini belakangan kerap terjadi, di mana pengakuan yang dilakukan salah satu korban, kemudian diikuti oleh korban lainnya yang akhirnya terdorong untuk bicara.

Justru, lanjut Veronica, korban harus fokus terlebih dahulu untuk memulihkan trauma atas peristiwa yang menimpanya. Artinya, speak up tidak bisa dilakukan atas alasan ‘ikut-ikutan’, tapi harus dilakukan berdasarkan proses yang dilalui.

Speak up baik, tapi enggak harus. Proses dulu. Penyintas pasti memiliki trauma yang harus diselesaikan dengan bantuan psikolog, konselor,” kata Veronica.

Setelah beberapa tahap dilalui, pastikan kesiapan diri untuk menerima segala konsekuensi dari langkah yang dipilih. Membuka kisah, apalagi di media sosial, berarti harus siap dengan berbagai respons netizen. Jika tidak siap dan memaksakan diri untuk ‘speak up’, Veronica khawatir akan memicu trauma kedua.

“Kalau enggak siap, ada bom trauma kedua. Kemungkinan ada pihak yang respons negatif, mempertanyakan, bilang ‘Cuma begitu doang’. Kalau enggak siap, itu akan memperburuk kondisi, penyintas makin jatuh [down]. Sangat penting untuk diskusi dengan psikolog atau konselor [untuk melihat kesiapan penyintas],” imbuhnya.

//www.delegasi.com (CNN)

Komentar ANDA?

  • Bagikan