Sosbud  

Mengenal Suku Boti di TTS- Nusa Tenggara Timur

Avatar photo
Boti merupakan sebuah desa tradisional yang berada di Kecamatan KiE Kabupaten Timor Tengah Selatan. Desa Boti ini cukup terkenal, karena di sana bermukim sebuah suku asli (Suku Boti) yang hingga kini masih mempertahankan tradisi nenek moyang mereka.//foto istimewah

Kupang, Delegasi.com – Nama Boti tentunya tidak asing lagi bagi wisatawan Nusantara maupun Mancanegara yang sudah pernah menginjakan kakinya di bumi berpenghasilan kayu Cendana ini. Di dunia kepariwisataan pun daya tarik wisata budaya Boti terus diburu oleh para pelancong. Karena keunikannya membuat nama Boti terus menebar aroma kenikmatan bagi para pengunjungnya.

Boti merupakan sebuah desa tradisional yang berada di Kecamatan KiE Kabupaten Timor Tengah Selatan. Desa Boti ini cukup terkenal, karena di sana bermukim sebuah suku asli (Suku Boti) yang hingga kini masih mempertahankan tradisi nenek moyang mereka.

Jumlah kunjungan para pelancong ke Desa Boti itu dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan. Para pelancong itu hanya ingin menelusuri petualangan warga suku Boti yang hanya sekitar 415 jiwa itu.

Warga Suku Boti masih menganut aliran kepercayaan asli yang diturunkan leluhur mereka. Di sekeliling mereka hidup masyarakat lain yang sudah menganut Agama Kristen (Protestan dan Katolik). Kendati begitu, warga Suku Boti masih setia dengan aliran yang dianut oleh para leluhur mereka.

Meski berbeda aliran kepercayaan, namun dalam kehidupan seharihari warga di Desa Bob itu menjunjung tinggi sikap toleransi, antara warga Suku Boti dengan masyarakat lain yang sudah menganut agama.

Dalam kehidupan kesehariannya, suku Boti dipimpin oleh seorang Tokoh Supranatural, “Nune Benu”. Suku ini memiliki kepercayaan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi derajatnya di antara makhluk ciptaan yang lainnya. Dalam pandangan mereka, di dalam hidup ini, manusia memiliki dua penguasa jagat yang harus ditaatinya. Penguasa alam dunia yang disebut Uis Pah, dan penguasa alam baka disebut Uis Neno.

Uis Pah dihormati dan disembah karena Dia-lah yang menjaga, mengawasi dan melindungi hidup manusia beserta seluruh isinya. Sedangkan Uis Neno disembah karena peran-Nya yang menentukan apakah manusia dapat masuk Surga atau Neraka.

Oleh karena itu, sesuai ajarannya, warga Suku Boti percaya bahwa apa yang dibuat selama manusia hidup di dunia akan ikut menentukan jalan hidupnya di akhirat nanti. Sikap hidup baik dan benar semasa di dunia akan menuntun manusia kepada kehidupan kekal abadi.

Dalam praktek hidup sehari-hari, warga suku Boti selalu dituntun oleh kepala sukunya agar selalu berbuat balk terhadap sesama, terhadap lingkungannya dengan menjaga, merawat dan melestarikan hutan yang semuanya itu merupakan suatu persembahan yang mulia kepada Uis Pah dan Uis Neno. Mereka sangat yakin bahwa dengan begitu

akan nlemperoleh pahala dari sang Khaliknya berupa berkat, perlindungan dan keselamatan, atau malah sebaliknya mendapat murka jika mereka berbuat jahat. Warga Suku Boti senantiasa hidup bergotong royong, saling membantu dalam meringankan beban sesamanya. Soal adat istiadat, warga suku Boti sangat patuh dan setia mempertahankan keashan tradisi nenek moyangnya sekalipun ditantang oleh perkembangan zaman yang terus

berubah. Suku Boti tampak bertahan menjaga kemurnian adatnya. Alhasil, dalam alam budaya dan adat istiadatnya, mereka merasa hidupnya tenang dan sejahtera. Hidup dalam persekutuan adat yang rapat dan ketat, diyakini dapat memiliki kekuatan batin yang menyegarkan jiwa rohaninya.

  1. Elemen Budaya dan Masyarakat Animisme Boti

Untuk memudahkan pemahaman kita akan keberadaan Suku Boti ini, maka berikut, akan disajikan produk budaya non-fisik dan produk budaya fisik Suku Boti.

  1. Produk Budaya Non Fisik

Produk budaya non fisik jangan dianggap sebagai hal sepele. Sejarah masa lalu maupun tradisi-tradisi masa`lalu yang masih awet hingga saat ini merupakan produk budaya yang tidak begitu saja dilupakan. Latar belakang historis perlu dituturkan dari generasi ke generasi. Demikian juga tradisi-tradisi masa lalu perlu diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya agar tidak kehilangan sejarah.

  1. Sejarah Suku Boti

Memang disadari benar bahwa belum ada suatu tulisan tentang sejarah suku Boti. Namun dalam percakapan dengan beberapa nara sumber antara lain Nama Benu, putera mahkota dari mendiang bapak Nune Benu, diceriterakan bahwa masyarakat suku Boti, khususnya Marga Benu berasal dari daerah mata hari terbit (Neon Saet). Kemudian mereka

berjalan ke arah barat dan sampai di Lunu, salah satu desa di sebelah selatan dari desa Boti sekarang. Mereka tinggal sementara di sana dan kemudian pindah lagi ke Seki yang selanjutnya disebut Boti.

  1. Tradisi

Masyarakat animisme Boti sesungguhnya memiliki tradisi yang diturun-temurunkan oleh leluhur mereka seperti berbagai kebiasaan, adat istiadat yang tumbuh dan berkembang dalam tatanan kehidupar masyarakat dari dulu hingga sekarang. Mereka mengenal suatu siklus kehidupan yang sederhana. Mereka sungguh memaknainya seperti manusia itu pada waktunya lahir, bertumbuh menjadi dewasa menikah dan kemudian meninggal. Ketiga fase hidup ini dapat disebut juga sebagai suatu kearifan lokal.

Terdapat suatu tradisi unik pada fase kelahiran, dimana mereka tiba pada suatu waktu untuk segera memperkenalkan sang bayi pada dunia luar dengan suatu upacara adat yang disebut : Tapoitan Li ana. Pengertian harafiah dari Tapoitan Li ana artinya mengeluarkan anak, yang bermakna bahwa sang bayi yang telah lahir pada waktunya harus dikeluarkan untuk mengenal dunia luar. Pasalnya, setelah dilahirkan sang bayi selama empat hari empat malam berada dalam Ume Kbubu, sehingga sudah saatnya diperkenalkan dengan dunia luar dimana is akan hidup dan berjuang dalam mengisi hidup dan kehidupan itu, Pada saat sang bayi hendak dikeluarkan, diawali dengan pertanyaan dari luar rumah: “Hi em ma mekit sa?” Artinya; Kamu datang membawa apa? Suatu pertanyaan yang syarat makna.

Dari dalam rumah dapat menjawab 2 (dua) alternatif, yaitu :

“Hai aim me kit ike ma suti atau hai em me kit suni maauni” “Hai aim me kit suni ma auni”. Suni dan Auni artinya pedang dan tombak, merupakan peralatan yang selalu dipakai oleh kaum lelaki dalam mengisi hidup dan kehidupan kesehariannya seperti mengolah kebun, ladang sebagai sumber mata pencaharian orang Boti sebagai bagian dari orang Timor. Selain itu Suni dan Auni juga melambangkan keperkasaan laki-laki dalam medan pertempuran atau perang. Dengan demikian jelas bahwa sang bayi yang mau dikeluarkan itu adalah seorang anak laki-laki.

“Hai aim me kit ike ma suti” Ike dan Suti adalah seperangkat alat yang biasanya dipakai oleh kaum perempuan untuk mengolah kapas menjadi benang dan selanjutnya dipakai untuk menenun kain adat orang Timor berupa Beti dan Tais. Jadi Ike dan Suti melambangkan perempuan. Sehingga jelas bahwa sang bayi yang datang adalah seorang anak wanita.

Ada kebiasaan orang Timor pada umumnya dan orang Boti khususnya dalam menempatkan ari-ari atau plasenta menurut jenis kelamin. Apabila sang bayi adalah seorang laki-laki, plasentanya akan diletakkan di atas pohon enau, lontar atau pohon beringin dan kusambi. Asumsinya adalah tatkala is besar dapat menjadi seorang laki-laki yang kuat, tegar dan mampu bekerja sebagai seorang lakilaki mencari nafkah dengan menyadap nira.

Sementara ari-ari anak perempuan akan diletakkan di atas pohon kapas, dengan harapan bahwa setelah dewasa si anak perempuan dapat menjadi wanita yang lemah lembut, rajin mengerjakan pekerjaan perempuan yaitu memintal kapas dan menenun kain. Dengan demikian, peran sosial sebagai laki-laki dan perempuan yang dilambangkan dengan Suni dan Auni serta Ike dan Sutidiumumkan secara terbuka melalui upacara adat Tapoitan Li’ana agar masyarakat dan keluarga dapat membina, mendidik dan membesarkan anaknya sesuai dengan peran sosial yang telah digariskan dalam komunitas adat masyarakat suku Boti.

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa masyarakat Boti sangat konsern dalam memelihara dan mempertahankan tradisi nenek moyang berupa nilai-nilai dan norms-norms adat suku bangsa Dawan atau Atoni Meto hingga saat ini. Salah satu tradisi yang masih dipegang teguh adalah Sistim Penanggalan atau Kalender Harian masyarakat Boti, yang dalam sepekan terdiri dari 9 (sembilan) hari. Dimana hari-hari tersebut mempunyai makna tersendiri. Inilah suatu pengetahuan tradisional yang juga merupakan kearifan lokal masyarakat suku Boti.

  1. Neon Ai (Hari Api)

Hari yang dimaknai sebagai hari yang baik, terang dan cerah. Namun perlu berhati-hati dengan penggunaan api, sebab jika tidak dapat mendatangkan malapetaka berupa kebakaran.

  1. Neon Oe (Hari Air)

Aktivitas lebih berorientasi pada air. Dalam artian harus menggunakan air secara bertanggung jawab dan pada hari ini peran dewa air (Uis Oe) sangat besar sehingga perlu juga diwaspadai.

  1. Neon Besi (Hari Besi)

Hari yang dikeramatkan bagi barang-barang yang berbau besi. Jadi harus hati-hati dalam menggunakan b&ida-benda tajam seperti pisau, parang, tombak dan pedang.

  1. Neon Uis Pah ma Uis Neno (Hari Dewa Bumi dan Dewa Langit).

Hari ini merupakan hari yang diperuntukan bagi semua makhluk hidup untuk memuliakan Pencipta dan Pemelihara hidup serta pemangku dan pemberi kesuburan. (Amoet Apakaet,

Afafat ma Amnaifat; Manikin ma Oe’,tene he Namlia ma Nasbeb).

  1. Neon Suli (Hari Perselisihan)

Hari yang dimanfaatkan untuk menyelesaikan setiap perselisihan yang terjadi dalam komunitas. Berhati-hati pula dalam berinteraksi sosial dengan sesama karena peluang besar untuk terjadi perselisihan.

  1. Neon Masikat (Hari Berebutan)

Hari ini merupakan kesempatan bagi warga untuk memanfaatkannya secara efisien dan efektif dalam berkomunikasi dan beraktivitas balk dengan sesama maupun lingkungan alam. Hari ini juga merupakan kesempatan untuk meraih sukses dalam hidup.

  1. Neno Naek (Hari Besar)

Hari besar, yang penuh nuansa kasih persaudaraan, sehingga perlu dijauhi kecenderungan terjadinya sengketa baik dalam keluarga maupun dengan sesama tetangga atau dalam komunitas yang lebih luas lagi.

  1. Neon Li’ana (Hari Anak-anak)

Hari yang disediakan bagi anak-anak untuk dapat mengekspresikan kebahagiaan lewat bermain dan aktivitas lainnya yang bernuansa gembira. Orang tua tidak boleh membatasi atau melarang anak-anak dalam beraktivitas.

  1. Neon Tokos (Hari Istirahat)

Hari yang tenang dan teduh, sebab di balik keheningan orang Boti dapat mereflesikkan hidupnya, sejauhmana hubungan dengan sesama, alam dan teristimewa sang pencipta dan pemelihara hidup. Juga dijadikan moment untuk mensyukuri setiap berkat yang diperoleh selama sepekan. Penanggalan harian dalam sepekan diurut secara kontekstual dan fungsional. Sehingga dalam simpul kehidupan suku Boti dapat mengatur secara efektif dan efisien sesuai peran sosial masing-masing.

 

  1. Sistem Kepercayaan dan Religi

Bicara soal sistem kepercayaan atau religi, Koentjaraningrat (1998 : 203) mengemukakan bahwa berbagai kebudayaan menganut kepercayaan bahwa dunia gaib dihuni oleh berbagai makhluk dan kekuatan yang tidak dapat dikuasai oleh manusia dengan cara-cara biasa. Karena itu dunia gaib pada dasarnya ditakuti oleh manusia.

Masyarakat animisme Boti pun sesungguhnya menganut suatu aliran kepercayaan yang pada hakekatnya juga mengenal bahkan meyakini bahwa hidup ini diatur paling tidak oleh 3 (tiga) kekuatan seperti, Uis Neno, Uis Pah dan Roh arwah leluhur (Nitu). Masyarakat animisme Boti sangat teguh dan konsisten mempertahankan aliran kepercayaan yang diwariskan oleh leluhurnya. Kepercayaan mereka diwujudnyatakan lewat berbagai upacara adat yang masih tumbuh, terjaga dan terpelihara secara apik di wilayah Boti.

Ritus-ritus tersebut antara lain : Upacara Adat Syukuran Panen ( Poit Pah), Upacara syukuran panen yang lasim disebut Poit Pah dilaksanakan oleh masyarakat adat Boti di bawah pimpinan Kepala Sukunya.

Kronologinya, masyarakat Boti berkumpul di sekitar rumah pimpinan spiritual “Nune Benu (alm)” guna mendapatkan wejangan dan petunjuk seperlunya. Termasuk membahas segala sesuatu yang diperlukan dalam upacara nanti, berupa hasil-hasil bumi seperti Jagung dengan batang-batangnya, padi, pisang, tebu, kelapa, Hewan (Binatang korban seperti, Sapi, kerbau, babi, kambing dan lain-lain). Setelah barang-barang bawaan siap, kelompok masyarakat yang hanya terdiri dari kaum pria mulai berarak menuju ke tempat persembahyangan yang disebut “Nasi Fain Metan” yang jaraknya kira-kira 3 Km.

Satu hal yang unik bahwa segala sesuatu dilaksanakan oleh kaum pria, mulai dari persiapan upacara sampai pada pelaksanaannya. Termasuk mempersiapkan hidangan, masak-memasak dan menyajikannya dengan menggunakan peralatan makan minum serba tradisional dari tempurung kelapa, gerabah, dll. Semua dilakukan oleh kaum pria, sedang wanita dilarang memasuki hutan lindung tempat persembahyangan mereka.

Dalam kawasan hutan lindung Nasi Faen Metan tersedia 2 (dua) mesbah untuk tempat persembahan yaitu altar pertama sebagai tempat persembahan untuk Penguasa Bumi (Uis Pah) dan Arwah leluhur, letaknya di bawah. Sementara altar persembahan untuk Penguasa Langit (Uis Neno), terletak di bagian atas sehingga untuk sampai ke altar kedua harus menapaki anak-anak tangga yang tersusun dari batu-batu alam.

Masyarakat animisme Boti sangat patuh terhadap larangan (Banu), dalam artian sebelum dilakukan upacara syukuran panen tersebut, mereka tidak akan menikmati hasil-hasil bumi, hutan, ternak atau binatang. Apabila ada yang dengan sengaja melanggar larangan tersebut akan dikenai sanksi adat bahkan lebih dari itu akan kena

musibah atau berbagai cobaan hidup. Dengan demikian ritus Poit Pah bertujuan :

  1. Bersyukur atas kesuburan tanah yang diberikan Uis Pah sehingga bumi memberikan panenan yang balk bahkan berlimpah.
  2. Bersyukur atas perlindungan dan keselamatan yang diberikan Uis Neno, sehingga segenap warga mendapat kesejahteraan hidup lewat panenan yang baik.
  3. Memanjatkan doa permohonan kepada Uis Pah, Nitu dan Uis Neno agar tetap menjaga, melindungi dan memberikan kesuburan agar di tahun-tahun mendatang panenan tetap berhasil.
  1. Cara Hidup / Falsafah Hidup

Kehidupan suatu masyarakat secara garis besar mematuhi seperangkat tata tertib yang disebut adat-istiadat. Kenyataannya adat istiadat marupakan cita-cita, norma-norma, pendirian dan sebagainya yang mengatur tingkah laku manusia. Dalam pengendalian sosial (Social Control) tercakup pengetahuan teknis dan empiris yang memungkinkan orang menanggapi lingkungan dalam arti luas secara efektif. Di samping pengetahuan empiris, tidak kalah pentingnya unsur non- empiris yang seringkali dilandasi emosi yang kuat, yang mengatur tingkah laku keagamaan serta dikaitkan dengan dunia gaib. Pengetahuan empiris dan non-empiris itu tertuang dalam etika, hukum, moral dan mitologi yang memperkuat dorongan atau larangan orang untuk berbuat sesuatu. Boleh dikatakan bahwa pengendalian sosial merupakan faktor penertiban dalam suatu komunitas, (Budhi Santoso 1984:28).

Atas dasar pemahaman tersebut di atas, salah satu cara pengendalian sosial yang bermakna sebagai kearifan lokal pada masyarakat Boti adalah sanksi yang dijatuhkan terhadap seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap norma adat, misalnya kasus tindak pidana pencurian.

Jika seorang melakukan pencurian ternak, hasil kebun atau harta benda lain, maka sanksinya bukan dengan hukuman fisik apalagi diproses secara hukum. Dalam hal pemberian sanksi kepada pelaku pencurian, tua-tua adat Suku Boti sangat menjunjung tinggi aturan adat dan ajaran kepercayaan mereka bahwa kejahatan jangan dibalas dengan kejahatan.

Atas dasar itulah, maka dalam penyelesaian kasus tindak pidana pencurian, justru pelakunya sangat `diuntungkan’. Pelaku malah diberikan harta berlipat ganda oleh tua-tua adat sesuai dengan jenis barang atau harta yang diambil pelaku.

Menurut pemahaman masyarakat Suku Boti, berdasarkan aturan adat dan ajaran kepercayaan bahwa kejahatan jangan dibalas dengan kejahatan atau seseorang/sesama manusia membuat pelanggaran karena secara terpaksa dan bukan dari niat pelakunya, tidak diberikan sanksi kurungan atau denda secara adat sebagaimana lazimnya dalam adat istiadat lainnya.

Filosofinya adalah jangan memperlakukan sesama yang sudah dalam kesulitan bertambah sulit. Tapi berilah ‘Roh Kepercayaan’ dan `Semangat Baru’ agar pelaku kejahatan dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan tidak mengulangi.lagi perbuatan yang salah. Sebagai contoh, seseorang melakukan pencurian satu ekor ayam, oleh tua-tua adat atau masyarakat Suku Boti, akan mennberikan beberapa ekor ayam kepada pelakunya.

Dalam suatu percakapan dengan Nama Benu (Putra Mahkota dari Kepala Suku Boti) dikisahkan bahwa pernah terjadi pencurian seekor ayam yang dilakukan oleh oknum masyarakat dari luar Suku Boti. Menyikapi kasus ini, orang-orang Boti tidak serta merta main hakim sendiri. Tetapi mereka malah sepakat mengumpulkan masing-masing satu

ekor ayam (70 ekor) dan diberikan kepada si pencuri sehingga pencuri tadi tidak merasa kekurangan dan tidak akan mencuri lagi.

Atau bagi yang melakukan pencurian pisang, maka warga suku Boti secara bergotong royong menanam anakan pisang di kebun pelaku sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi yang melakukan pencurian.

Atas dasar pengalaman tersebut, hingga saat ini orang-orang yang berasal dari luar Suku Boti menjadi jera dan tidak lagi melakukan tindak pidana pencurian terhadap masyarakat Suku Boti yang masih tetap menganut kepercayaan asli suku serta patuh dan mentaati segala nilai dan norms adat yang diwariskan oleh pendahulu mereka yang dijadikan sebagai pedoman dalam perilaku kehidupan mereka setiap waktu.

Ada satu pernyataan yang agak menggelitik bila didengar oleh penganut agama-agama yang ada. Pernyataan yang dilontarkan oleh almarhum Bapak M’nune Benu bahwa yang merusak peradaban dunia ini adalah orang-orang beragama. Adalah suatu pernyataan yang menantang, agar setiap orang beragama merefleksi akan sejauhmana tingkat penghayatan dan pengamalan iman dalam agama yang dianutnya, bahwa yang membuat bumi ini tidak aman dan jauh dari damai adalah ulah dari orang-orang beragama (Refleksikan).

  1. Produk Budaya Fisik

Daya tarik wisata yang dapat dinikmati wisatawan ketika berkunjung ke perkampungan tradisional Suku Boti adalah arsitektur rumah, pakaian tradisional dan seni musik. Asset wisata ini dikategorikan produk budaya fisik yang menyuguhkan sejumlah keunikan yang tiada tandingannya.

  1. Arsitektur

Bangunan rumah warga Suku Boti masih berarsitektur Timor asli. Desain rumah-rumah mereka masih seperti tempo dahulu. Desain rumah-rumah modern pun tidak bakal dilihat di perkampungan suku Boti ini.

Rumah kediaman mereka, masih penuh nuansa arsitektur Timor, baik bentuk maupun bahannya. Rumah adat orang Timor disebut Ume Kbubu dan Lopo. Ume Kbubu artinya rumah bulat karena berbentuk bulatan dan atapnya sampai ke tanah. Fungsi tempat ini sebagai tempat beristirahat (tidur).

Lopo juga merupakan bangunan khas orang Timor yang sering digunakan untuk duduk santai, meeting karena sangat terbuka sehingga cukup mendapat udara atau angin dan sebagai tempat penyimpanan hasil panen (jagung dan padi).

Bahan-bahan bangunan Ume Kbubu dan Lopo, pada umumnya terbuat dari kayu, rumput atau ilalang, tali hutan, daun lontar dan semuanya merupakan bahan lokal.

  1. Makanan Lokal

Mata pencaharian masyarakat Suku Boti masih bercocok tanam atau bertani. Pekerjaan sampingannya adalah beternak dalam skala kecil. Makanan pokok mereka adalah jagung, ubi, kacang-kacangan, kelapa dan beras.

Makanan lokal yang biasa dihidangkan bagi tamu atau wisatawan berupa ubi kayu rebus atau bakar (laok hau), ubi jalar rebus (Iaok loll), jagung rebus (pen pasu), nasi (ma’ka), kacang tanah (Fua Kase) dan daging babi (sisi fafi), daging sapi (sisi bi’a), daging ayam (sisi Manu), yang selalu dibakar atau direbus saja. Makanan lokal ini biasanya disajikan dengan menggunakan sarana (piring, sendok, gelas) serba tradisional yang terbuat dari tempurung kelapa, kayu atau tanduk kerbau yang merupakan hasil kerajinan tangan mereka.

  1. Pakaian Lokal

Dalam setiap kesempatan perternion, Nune Benu, sang pemimpin spiritual senantiasa mengajarkan kepada para pengikutnya untuk menggunakan segala sesuatu serba tradisional, dalam artian produk mereka sendiri. “leko ka leko hiti kun leko neis” balk tidak balk, produk kita sendiri lebih balk.

Dalam hal berpakaian, orang Boti selalu menggunakan pakaian adat yang merupakan hasil tenunannya sendiri yang dibuat dari kapas, hasil tanaman mereka. Pakaian adat untuk laki-laki disebut Beti, Ma’u. Sementara untuk perempuan disebut Tais. Untuk menghasilkan sebuah beti ataupun tais, ukuran orang dewasa membutuhkan waktu 2

s/d 4 minggu (prosesnya, mulai dari mengolah kapas menjadi benang (na’sun abas), pewarnaan benang (na’aekat abas), mengikat benang menjadi motif (fu’tus), menenun (te;nus) dan menjahit (so’tenus). Pakaian lokal tersebut berbeda-beda dalam pemanfaatannya, yang disesuaikan dengan waktu, kapan dipakai. Pakaian sehari-hari jelas

berbeda dengan pakaian pesta yang biasanya lebih dilengkapi dengan berbagai aksesoris, seperti aol noni, (tempat/sarung sirih pinang yang terbuat dari muti); suni (pedang/kelewang bagi laki-laki), pilut (destar kepala bagi laki-laki), kil’ noni (sisir kepala yang terbuat dari perak, bagi perempuan) dll.

  1. Seni Musik

Seni musik tradisional yang masih tumbuh, berkembang dan dipelihara oleh masyarakat Timor umumnya dan suku Boti khususnya adalah tarian daerah (Bilut, Sbo’ot, Ma’ekat) diiringi dengan alat musik tradisional (Leku, Biyol, Se’ne, Feku, Tufuf) dan lantunan lagu-lagu daerah Timor.

Biasanya disuguhkan pada acara-acara pesta ataupun menyambut tamu atau wisatawan. Tamu kemudian diajak untuk melantai bersama yang ditandai dengan pengalungan atau penglilitan selendang adat pada leher sang tamu atau wisatawan.

  1. Kerajinan

Pada setiap hari kesembilan dimana masyarakat Suku Boti berkumpul untuk bersembahyang dan mendengarkan nasihat dari kepala sukunya, pada hari itu pula mereka diwajibkan membawa berbagai peralatan untuk membuat kerajinan tangan seperti : piring (pi’ka), senduk (so’ko), gelas (tu’ke) yang dibuat dari tempurung kelapa atau sejenis kayu atau tanduk kerbau. Pekerjaan ini pada umumnya dilakukan oleh laki-laki, sementara perempuan memintal benang, menenun, menganyam. Hasil-hasil kerajinan tangan berupa kain adat (tais, beti, alu, okomama, tuke) dll. Dikumpulkan, diberi label nama dan dipajang untuk dijual pada suatu tempat yang mereka bangun sendiri serba tradisional, mereka namakan koperasi kerajinan Boti.

Suatu hal yang unik, bahwa semua itu dilakukan tanpa campur tangan dari siapapun, baik itu dari instansi pemerintah (Dinas Pariwisata, Dinas Perindustrian, Dinas Koperasi) maupun swasta. Jadi mereka melakukan dengan apa adanya, tanpa sentuhan teknologi.

Pengelolaan Wisata Budaya di Boti

Sejumlah pakar wisata budaya mengemukakan keberhasilan pengelolaan pariwisata budaya sangat ditentukan oleh beberapa hal. Diantaranya Pengembangan Obyek Wisata,

Pengembangan Paket Wisata Budaya, Pengembangan Pelayanan Wisata Budaya dan Pengembangan promosi Pariwisata Budaya.

Pengembangan obyek berarti meningkatkan kualitas agar obyek tersebut dapat menjadi pantas dan layak untuk dinikmati wisatawan. Obyek wisata budaya di Boti dalam wujud fisik sebagaimana diuraikan di atas, dibuat secara manual apa adanya dan mandiri, namun mereka juga memperhatikan kebersihan, keterpeliharaan dan keawetan dan ada nilai sejarah penting yang relevan dengan kehidupan orang-orang Boti.

Obyekwisata budaya non fisik, kehidupan keseharian masyarakat animisme Boti dengan berbagai kesahajaan yang penuh nuansa kebudayaan dalam ritualritual kepercayaannya; upacara adat pemberian nama (Fe Kanaf), upacara Adat Perkawinan (Mafet’ ma Mone), Upacara Adat Syukuran Panen (Tah Bah) dan Upacara Adat Kematian (Sub Nitu) yang cukup syarat maknanya.

Kesenian tradisional berupa tarian adat dengan diiringi musik tradisional dan lantunan lagu-lagu daerah yang selalu dimainkan oleh orang-orang Boti pada saat menjamu tamu, juga merupakan suatu atraksi yang unik dan menarik bagi wisatawan.

Pengembangan Paket Wisata Budaya, memang diperlukan karena wisatawan umumnya tidak punya banyak waktu untuk dapat melihat banyak hal. Paket wisata budaya Boti biasa dikemas dan dijual oleh Travel Agen yang ada di Kupang, dan Tour Guide yang ada di SoE.

Pada umumnya lama tinggal di Boti 1 s/d 2 hari bagi wisatawan group, sementara wisatawan individu rata-rata di atas 3 hari. Obyek wisata budaya yang satu ini lebih banyak diminati wisatawan mancanegara, dari Australia, Belanda, Jerman, Rusia, Belgia dan Jepang ketimbang wisatawan domestik yang mungkin lebih banyak menginginkan suatu situasi yang sudah modern.

Bilamana obyek wisata budaya dan paketnya telah disusun dan dikembangkan, bidang lain yang kemudian sangat perlu mendapatkan perhatian adalah:

Bidang Pelayanan.

Bidang ini menjadi penting karena langsung bersentuhan dengan wisatawan dari waktu ke waktu. Masyarakat Boti dengan segala kesahajaannya sangat ramah menerima tamu yang terekspresi lewat wajah dan perilaku yang polos, kesenangan dan keikhlasan menerima tamu.

Setiap tamu group yang datang biasanya diterima di depan pintu gerbang dengan Natoni (sapaan adat dalam bahasa Dawan), kemudian dikalungi selendang dan dipersilahkan masuk. Setelah disuguhkan sirih-pinang khas Timor, barulah diberi minuman ringan, seperti air kelapa muda atau teh dengan pisang atau ubi rebus.

Di Boti tersedia pula home stay satu unit dengan kapasitas lima kamar tidur dan masing-masing kamar diisi dua tempat tidur; dua unit WC sehat, yang semuanya dibangun oleh masyarakat lokal dengan gaga tradisional, atas bantuan Dinas Pariwisata Kabupaten TTS.

Sarana komunikasi seperti telepon, fax, intemet tidak tersedia di Boti dan itu tidak mungkin ada, karena segala sesuatu yang mau dikembangkan di sana harus dirembuk bersama tokoh Supranatural Nune Benu sebagai yang berkuasa. Di sini kita melihat keterbatasan Dinas Pariwisata dalam hal pengelolaan obyek wisata di Boti.

Promosi dan Paket wisata Budaya merupakan hal yang cukup signifikan karena promosi sangat menentukan citra tentang obyek dan paket yang ada, yang kemudian akan sangat menentukan dalam proses pengambilan keputusan wisatawan. Promosi dan pemasaran obyek wisata budaya Boti lebih banyak dilakukan oleh wisatawan-wisatawan yang pernah datang dan sangat terkesan kemudian menyampaikannya kepada keluarganya, teman, koleganya secara langsung sehingga mereka pun tertarik dan datang ke Boti.

Selain itu, peran Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam mempromosikan dan memasarkan obyek tersebut cukup baik dengan berbagai

media seperti media cetak (brosur, leaflet), media elektronik (TVRI, SCTV dalam acara Cakrawala Budaya), Internet kerja sama dengan Lembaga Pemerhati Budaya dan Pariwisata L. Titah di Jakarta.

Dari uraian tersebut, jelas terlihat bahwa dalam hal pengelolaan obyek wisata budaya Boti, lebih banyak dilakukan oleh orang-orang Boti sendiri di bawah komando Nune Benu sebagai pemimpin mereka.

Keterlibatan Dinas Pariwisata dan instansi-instansi pemerintah maupun swasta sebatas memberi masukan dan fungsi pembinaan, itupun dijalankan dengan sangat hati-hati karena segala sesuatu yang mau dan akan dikerjakan dalam pengembangan obyek ini harus mendapat restu atau atas petunjuk Nune Benu yang konon diterima dari dewanya, kecuali dalam hal promosi dan pemasaran.//delegasi (disbudpar.ttskab.go.id)

 

Komentar ANDA?