OPINI  

Misi SVD dan Flu Spanyol 1918 di Flores

Avatar photo

“Kisah paling menyedihkan datang dari tanah nagi, Larantuka. Pada tanggal 14 Desember, ada 140 siswa di sekolah misi jatuh sakit. Sekejab, sekolah berubah seperti rumah sakit. Korban meninggal terus bertambah; 20 siswa, 3 guru, dan lainnya tidak sempat terhitung. Keadaan bertambah buruk ketika sehari setelahnya Pater Wilhem Baak mengajak umat untuk Triduum bersama (doa selama 3 hari). Gereja menjadi sangat penuh setiap hari. Ia sendiri kemudian terjangkit virus dan mesti di-isolasi”                       

Laurensius A. Woda,Misionaris SVD

 

Flores, 1918. Kala itu misi Serikat Sabda Allah (SVD) baru berusia 5 tahun, terhitung sejak misionaris pertama P. Petrus Noyen SVD tiba di pelabuhan Atapupu, Timor. Keadaan menjadi sangat sulit, selain wilayah topografis yang sulit, juga terutama dari segi personalia, jumlah misionaris yg sangat sedikit. Sementara itu, misionaris Jesuit perlahan-lahan meninggalkan misi Kepulauan Sunda Kecil.

Pater Nikolaus Blum, pimpinan SVD sejagat saat itu mesti menarik beberapa misionaris dari negara lain untuk kebutuhan misi Hindia Belanda (Indonesia). Pater Franz de Lange (misi Amerika Serikat), Pater Arnold Vestraelen (misi Togo), Pater Wilhem Baak dan beberapa bruder dari Belanda mulai dikirim ke tanah misi baru tersebut.

Situasi menjadi semakin sulit ketika pandemi flu Spanyol (the Spanish flu) mulai menyebar dengat cepat ke seantero jagat. Tercatat 40 % populasi manusia di bumi terjangkit virus mematikan tersebut, dan dalam 18 bulan membunuh 20 juta anak manusia. Saat itu, usia serikat masih 42 tahun. Berita kematian konfrater di tanah misi terdengar seperti gaung duka yang amat memilukan. Padahal, di dekade sebelumnya (1908) kisah kematian Pater Yoseph Freinademetz dan beberapa misionaris lainnya di Shantung Selatan (Cina) akibat epidemi penyakit typhus belum menghilang sepenuhnya dari ingatan.

Bagaimana dengan situasi di Flores? Tidak banyak sumber yang bisa ditemukan tentang situasi pandemik flu Spanyol di Flores dan juga di Indonesia pada umumnya. Tetapi, Pater Dr. Andrzej Miotk, sejarawan SVD mesti membongkar kembali arsip lama di Generalat SVD di Roma dan mengumpulkan beberapa catatan dari para misionaris tentang situasi pandemi flu Spanyol di Flores saat itu.

Miotk (2021) mencatat bahwa di bulan September dan Oktober 1918 sudah terdengar kabar bahwa virus tersebut sudah mulai menyebar di pulau jawa dan sekitarnya. Di Flores, virus pertama kali masuk melalui pelabuhan Ende di pertengahan bulan November dan menyebar ke seantero pulau. Ketiadaan perlengkapan medis membuat virus menyebar begitu pesat, dan ribuan orang terjangkit virus tersebut.

Kisah paling menyedihkan datang dari tanah nagi, Larantuka. Pada tanggal 14 Desember, ada 140 siswa di sekolah misi jatuh sakit. Sekejab, sekolah berubah seperti rumah sakit. Korban meninggal terus bertambah; 20 siswa, 3 guru, dan lainnya tidak sempat terhitung. Keadaan bertambah buruk ketika sehari setelahnya Pater Wilhem Baak mengajak umat untuk Triduum bersama (doa selama 3 hari). Gereja menjadi sangat penuh setiap hari. Ia sendiri kemudian terjangkit virus dan mesti di-isolasi.

Pater Simon Karsten yang mengambil alih tugas mendampingi para siswa juga mulai sakit. Ia mengalami kesulitan bernapas dan demam tinggi. Sadar akan kondisinya, Pater Karsten hanya bisa berkata bahwa dia akan meneruskan misi selanjutnya dari surga. Dia meninggal dunia pada tanggal 21 Desember. Misionaris SVD lainnya, Bruder Vincentius Meekes juga meninggal pada hari yang sama.

Sementara itu, di hari yang sama kondisi Pater Baak juga makin buruk. Dia merasakan konstraksi yang luar-biasa di dadanya. Trakea-nya terasa seperti tersumbat. Dia meminta Pater Velden (misionaris Jesuit yang masih bekerja di Flores) yang saat itu juga terjangkit virus, untuk memberikan sakramen terakhir baginya. Tengah malam di tanggal 22 Desember, Pater Wilhem Baak menghembuskan napas terkhirnya. Di hari yang sama, Pater Velden juga meninggal dunia.

Pater Superior General Nikolaus Blum menulis surat peneguhan kepada Pater Petrus Noyen, prefek apostolik Kepulaun Sunda Kecil, “Please, receive our heartfelt condolences. Your suffering is our suffering; your concern is our concern. I immediately worshiped the Triune God and thanked Him for this heavy blow. We have to leave everything to Him as he knows best what is good for us.” Situasi menjadi sangat mencekam. Dengan perlatan medis yang serba terbatas, hal paling menguatkan yang bisa dilakukan adalah berdoa. Sungguh, misi Flores telah kehilangan beberapa misionaris muda dalam waktu sekejap saja.

Lebih dari 100 tahun setelahnya, pandemi lain bernama covid-19 pun muncul. Situasi masyarakat tentu sangat berbeda dengan pandemi di abad silam. Paradigma misi dalam Gereja Katolik pun telah berubah. Lebih dari itu pertanyaan yang mesti direfleksikan, apakah gereja (agama) telah menjadi komunitas/wadah yang menyembuhkan di tengah pandemi covid-19 ini? Terkesan malah sebaliknya. Agama dinilai berkontribusi pada penyebaran wabah penyakit ini.

Di India kasus meningkat drastis setelah upacara pemandian suci di sungai Gangga. Di Filipina, umat Katolik merayakan 500 tahun gereja Katolik di tahun 2021 ini. Perayaan tahunan misa novena Sinulug di kota Cebu yang biasanya menghimpun ratusan ribu orang terpaksa dihentikan di hari keempat. Panitia tidak bisa membendung orang yang terus berdatangan, sementara angka kasus makin meningkat. Sementara itu di Indonesia, angkat kasus dan angka kematian akibat covid-19 meningkat drastis pasca-upacara Lebaran 2021. Apakah kita pernah belajar diri pandemi flu Spanyol dari abad lalu? Atau memang tidak ada sesuatu yang bisa kita pelajari? Lalu, dalam konteks misi, apa yang perlu dilakukan di tengah situasi pandemi seperti ini?

Prof. Steve Bevans SVD, misiolog kenamaan asal Amerika Serikat memberi komentar perihal isi surat Pater Blum kepada Pater Noyen tentang situasi pandemi Flu Spanyol di Flores. Baginya, melihat wabah pandemi sebagai sesuatu cobaan yang mesti kita terima dengan penuh syukur kepada Tuhan adalah sesuatu yang tidak tepat. Ia bisa memahami isi surat Pater Blum ditulis dalam konteks 100 tahun silam, tetapi untuk saat ini, pernyataan seperti ini tidak bisa diterima.

Bevans (2021: 26) menulis, “Sebagai misionaris saat ini kita mesti menemukan cara pewartaan kabar gembira kasih Allah dalam Kristus yang relevan secara konteks, akurat secara ilmiah, dan benar secara teologis.” Ia menganjurkan model dialog profetis dalam empat aspek ini (25-31); 1) mewartakan injil dengan jelas, relevan, dan akurat. Kita tidak bisa mengatakann bahwa pandemi ini adalah bentuk percobaan iman atau bahkan hukuman dari Tuhan. 2) Menceritakan kebenaran. Kita tidak bisa bermain api tentang kebenaran. Kita mesti berani mengkritisi para pelanggar prokes (pemimpin atau masyarakat) tetapi juga tidak terjebak dalam aksi-aksi murahan tdk percaya pada covid. 3) Memberikan kata-kata peneguhan dan pengharapan kepada sesama menderita akibat sitasi pandemi ini, dan 4) mengkonfrontasi ketidak-adilan, terus berpihak kepada kelompok kecil yang ditindas atau dirugikan selama masa pandemi ini.

Akhirnya, Abigail Van Buren pernah berujar, “The church is a hospital for sinners, not a museum for saints.” Dalam konteks pandemi ini, semoga Gereja (misi SVD khususnya) bisa menjadi wadah penyembuhan (atau komunitas yang menyembuhkan) dan selalu berpihak pada orang yang menderita dan tertindas di masa-masa sulit seperti saat ini.

Laurensius A. Woda, misionaris SVD, tinggal di Cebu City, Filipina. Artikel ini adalah ‘corat-coret’ di hari ultah SVD ke 146 (8/9/2021)

 

Komentar ANDA?