Ny.Vivi Lay, “Si Tangan Dingin” Peraih Penghargaan Kerajinan Tenun Ikat Internasional

  • Bagikan

BELU, DELEGASI.COM – Jauh sebelum menjadi Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Belu, Ny. Vivi Ng. Sebenarnya sangat menyukai corak dan kekhasan tenun ikat tradisional Kabupaten Belu. Ia bercita-cita agar tenun ikat tradisional harus dikembangkan karena berkaitan dengan ciri khas budaya suatu daerah.

Cita-cita itu kian terbuka ketika dirinya dilantik sebagai Ketua Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Ketua Dekranasda Belu bersama dengan pelantikan suaminya Willy Lay menjadi Bupati Belu pada 2016 silam. Dengan berjaga mengembangkan Ny.Vivi mulai mengembangkan tenun ikat tradisional Belu hingga dikenal luas di seluruh dunia.

Berkat tangan dinginya, kini kain tenun ikat Belu belum dikenal di NTT, namun sudah dikenal hingga ke nasional dan luar negeri. Di luar negeri, banyak desainer memperkenalkan kain tenun Belu yaitu di Amsterdam, Paris, Hawaii dan sejumlah negara lain. Tentu ini sebuah kebanggaan, namun lebih dari itu menjadi salah satu sumber pendapatan bagi kelompok penenun itu sendiri.

Hasil dari semua perjuangan dan tangan dinginya Dekranasda Belu meraih Penghargaan World Crafts Council (WCC) Ecxellent for Handicraft 2019 atau Ajang Penganugerahan Tingkat Internasional yang mengapresiasi karya kerajinan yang dihasilkan para perajin. WCC merupakan salah satu lembaga dunia dibawah UNESCO.

Penghargaan lain yang diterima Dekranasda Belu dari Dekranas yakni Pendukung Pembina Teladan se Indonesia.
Ny. Vivi Ng. Lay yang ditemui media ini, di Atambua, Jumat (25/9/2020) bercerita banyak tentang upayanya mengangkat dan mendorong pengembangan tenun ikat Belu
Dikatakan, kain tenun ikat Belu dengan corak dan kekhasanya sebenarnya dari dulu telah ada dan sudah menjadi pekerjaan pokok para ibu di rumah.

Bahkan tenun ikat tidak bisa belajar dari kehidupan bermasyarakat di kabupaten Belu dan NTT pada umumnya.
Pasalnya, selain untuk dijadikan pakaian juga untuk selimut dan digunakan untuk kepentingan adat.

“Hanya saja, tenun ikat mulai pudar dan produksinya kian terbatas. Pembuatan tenun ikat hanya sebatas untuk keperluan rumah tangga maupun adat. Bahkan ada beberapa corak tertentu hilang sama sekali, katanya.
Vivi Lay menuturkan, jika tidak dikembalikan untuk mengembalikan motif asli, nicaya suatu saat hanya tinggal kenangan, “ungkapnya

Untuk mengembalikan beberapa motif yang hilang itu, Vivi Lay mencoba menemui para penenun yang usianya sudah tua. Karena pengaturan, para penenun tua itu masih ingat beberapa motif kain adat yang saat ini sudah tidar tonton lagi ditengah masyarakat. Caranya saya foto dalam buku yang saya dapat dari perpustakaan Heiden Belanda. Mereka melihat foto itu dan mereka ingat bahwa mereka mengakui bahwa mereka tidak mempunyai foto atau bukti lagi soal motif.Tetapi kalau nama motif itu mereka tau, ”katanya.

Dengan begitu kata Vivi Lay dirinya membentuk kelompok penenun untuk membuat motif tenun ikat yang hilang itu.
Vivi Lay menuturkan, jika tidak diangkat kembali motif motif asli tenu kain Belu, nicaya suatu saat hanya tinggal kenangan.
Ia menemui para penenun yang sudah tua. banyak motif Belu dulu ada. Namun sekarang sudah hilang dan saya coba mengangkat kembali dan menjelaskan kepada mereka tentang motif motif dulu yang hilang itu. Caranya Vivi buku foto dalam buku yang didapatnya dari perpustakaan Heiden Belanda. Mereka melihat foto itu dan mereka ingat, mereka mengakui bahwa mereka tidak punya foto atau bukti lagi soal motif. Tetapi kalau nama motif itu mereka tau.

Saya ke kampung hanya ingin mencari penenun tua untuk mencari informasi lebih dalam dari mereka sebagai sumber cerita dan naracerita tentang motif tenun kain Belu. Karena dari menciptakan-kegenerasi banyak anak milenial yang tidak memahami dan bahkan ada yang tidak tau sama sekali soal motif tenun, katanya.

Menurut mereka pada zaman Belanda penenun diberi benang-benang yang warna warni. Mereka menyatakan bahwa zaman sebelum penjajahan, para pedagang Cina atau Arab datang ke Indonesia untuk berdagang menukar cendana dengan porselin dan benang sutra. Benang Sutra dibuat oleh penenun setempat Itu namanya Letrus. Dan itu ada di museum luar negeri.

Saat pengukuran Dekranasda, dirinya memiliki visi bagaimana tenun ikat itu bisa bangkit dan bisa sampai pada tahap akui mana-mana, baik di Kabupaten Belu sendiri, Provinsi, Nasional maupun Internasional.
Dari situlah Ny Vivi Ng. Lay mulai mencari salah satu desainer yang menjadi tren dunia saat ini dan saat ini kembali ke alam atau Eco Lifestyle.

Semua serba ramah lingkungan, ramah dengan alam. Ini satu tantangan berat, karena selama ini pewarna alam untuk tenun ikat sudah dilupakan dan banyak penenum menggunakan pewarna kimia.

Pewarna alam dilupakan dan regenerasi kian sedikit. Regenerasi dalam hal pewarna alam hampir tidak ada dan banyak menggunakan pewarna kimia seperti wantex dan lainnya. Padahal sejak dahulu kala pewarnaan berasal dari alam, ”ujarnya.

Sejak dahulu kala sebutnya, pewarnaan masih memakai lumpur, mengkudu, daun jati, dan lainnya. Tapi sudah beberapa tahun belakangan dilupakan dan masyarakat menggunakan pewarna instan.

Kini semakin banyak muncul tenun ikat cepat jadi untuk memenuhi kebutuhan seragam anak-anak sekolah, untuk acara-acara gereja juga PNS. Akibatnya, kualitas tidak diperdulikan dan harganya begitu murah. Munculnya tenun ikat cepat jadi sekira tahun 1980-an.

Tenun katanya memang berkembang tenun cepat jadi. Namun harganya murah. Ketika harganya murah maka kualitasnya tidak bisa dijamin, apalagi mengunakan benang bukan dari sutra asli.

Dinas Perindustrian sambungnya, pernah menggelar pelatihan pewarnaan memakai pewarna kimia namanya Naptol. Nah pewarna itu tidak luntur tapi kata bahan kimia bisa berbahaya.
Melihat semua, pada 19 Mei 2017 dirinya mulai masuk keluar desa selama satu tahun, mempelajari karakter masyarakat juga motifnya. Saya kan harus belajar potensi mana yang bisa saya ambil menjadi kelompok. Dari pemetaan potensi, jumlah penenun dilihat dan mulai memproduksi kain tenun. Kebetulan Pak Bupati dan Pak Wakil waktu juga mencanangkan hari Kamis adalah hari memakai kain tenun ini. Disini kami anggap saling mendukung, paparnya.

Dari situ pihaknya bersama Disperindag Belu menyamakan langkah dan pihaknya didukung, terutama membantu masyarakat, mencarikan pasar. Kalau kita hanya membimbing, tapi kalau kita tidak pemasaran urus, maka akan tetap murah harganya, timpal dia.

Pihaknya kemudian membawa para penenun dari Solo, Jombang untuk melatih pewarnaan. Sambil kerja, kita latih pewarnaan alam untuk para kelompok. Ternyata diterima dengan baik dan begitu semangat. Akhirnya, pewarna alami mulai diterima karena lebih berkualitas dan tidak luntur diterima, imbuhnya.

Untuk mendukung pewarna alam, tim pelatih dengan Dekranasda Belu mencari di hutan yang ada potensi pewarna alam. Tujuan pihaknya bukan pergi merambah hutan, namun melihat tumbuhan sebagai pewarna alam. Ternyata di Belu tumbuhan untuk pewarna alami lengkap. Kami bersama para ibu dikenalkan tumbuhan yang bisa dijadikan pewarna, mulai dari merah, biru kuning hingga kunci warna.

Setelah melihat pewarna alami terang dia, kelompok berkelompok mewarnai benang. Jadi ini proses belajar yang betul-betul. Saya sangat bersyukur kami dipertemukan dengan seorang ibu seorang kelompok wadah dimana mereka sangat memperhatikan kami dan harus kembali ke alam sesuai tren dunia, sergahnya.
Semua kelompok lanjutnya bertingkat di rumah jabatan Bupati diikuti oleh camat dan kades serta kelompok tenun. Pelatihan sendiri bisa tiga hingga empat hari. Kemudia direview hasilnya, dan ternyata bisa dan berkualitas dan semua telah mandiri melakukan pewarnaan maupun tenun itu sendiri sekira 2017.

“Puji Tuhan mereka (Kelompok) begitu semangat dan harga kain dengan pewarna alami bisa mencapai Rp 500 ribu hingga Rp 550 ribu, dilihat dari panjang pendek kain, maun warnanya terang. Sekarang kita tidak asal-asalan, tapi ada standar dan bagus,” katanya .

Pada bagian akhir, Ny. Vivi Ng. Lay kembali mengajak pemegang saham yang ada untuk bekerja sama dan pada intinya pihaknya terus membranding tenun ikat Belu sebagai kriya yang bernilai ekonomi kedepan. Pihaknya juga akan terus membuka akses seperti saat ini, agar kain tenun ikat yang dikenal dan dimiliki mayarakat Indonesia maupun internasional.

// delegasi (* / tim)

Komentar ANDA?

  • Bagikan