Pansus Angket KPK Hanya Bargaining Agar Jangan Usut e-KTP

  • Bagikan
kasus
//foto Ilustrasi(indonesiakoran.com)

Jakarta, Delegasi.com – Sejak Pansus Hak Angket KPK dibentuk, sejumlah wartawan senior yang meliput di MPR/DPR/DPD RI tertawa sinis.

Dirilis indonesiakoran.com, mereka sudah bisa menduga kemana arah pansus ini. Dan berdasarkan pengalaman pembentukan pansus hak angket oleh DPR selama ini, semuanya mati sebelum berkembang.

“Ya, ujung-ujungnya juga ketahuan. Ini hanya manuver mengancam KPK agar jangan usut kasus-kasus tertentu. Ini bargaining saja. Persoalannya, KPK merasa terancam, takut dan menghentikan penyelidikan kasus-kasus itu atau tidak,” kata seorang wartawan yang sudah 20 tahun meliput di kompleks Senayan itu.

Karena itu pula, sebagian besar wartawan tidak antusias meliput kasus tersebut. Mereka malah berharap KPK saat ini tetap fokus menuntaskan kasus korupsi yang sudah terlalu berkarat di negeri ini.

Hak angket yang digulirkan oleh DPR atas KPK dinilai pengamat lebih merupakan manuver untuk menekan KPK soal e-KTP dan dikhawatirkan akan mengganggu pengungkapan kasus tersebut.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti juga melihat hal yang sama. Menurut pengamat hukum itu,  di masa lalu ada indikasi serupa, yakni manuver DPR untuk menghentikan kasus-kasus yang menimpa mereka.

“Ini manuver DPR untuk menekan KPK. Kita lihat ini sudah menjadi modus, ketika KPK sedang mengungkap kasus besar yang melibatkan politisi, baik di DPR maupun di parpol-parpol eksekutif, biasanya ada serangan balik seperti ini,” kata dia seperti dilaporkan BBC Indonesia.

Bivitri juga mengingatkan, sebelumnya pernah terjadi kasus Cicak vs Buaya jilid pertama. Ketika itu dua pimpinan KPK, yakni Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto dituduh melakukan pemerasan dan penyuapan di saat KPK sedang menyelidiki kasus suap atas Kabareskrim, Susno Duadji.

Kemudian muncul kasus baru menimpa KPK yakni Ketua KPK, Bambang Widjojanto ditangkap pagi-pagi buta saat hendak menghantar anaknya ke sekolah. Ia dituduh melakukan rekayasa keterangan palsu saat menjadi pengacara dalam prakara sengketa Pilkada 2010.

Penangkapan terjadi setelah KPK menetapkan calon Kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi, meski polisi membantah bahwa kedua hal itu berkaitan.

Ketua KPK Abraham Samad juga pernah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat.

Penetapan tersangka atas Abraham Samad sempat menuai kecaman publik di media sosial, karena tidak sedikit yang menuduh berkaitan dengan konflik KPK-Polri yang berawal dari penetapan kandidat Kapolri Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Namun polisi kembali membantah tuduhan tersebut.

“Yang kemarin ini, Novel Baswedan disiram air keras, saya cukup yakin ada hubungannya dengan kasus-kasus yang dia tangani, entah yang mana,” kata Bivitri.

“Hal ini mengindikasikan KPK begitu berbahaya bagi banyak orang,  sehingga kalau dia sudah mulai mengungkap kasus-kasus yang sifatnya politis, biasanya ada serangan balik. Jadi saya melihat ini sebagai manuver politik DPR untuk menekan KPK,” katanya.

BAP Miryam

Usulan atas hak angket terhadap KPK bermula ketika dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, KPK menolak permintaan untuk memutar rekaman BAP tersangka pemberi keterangan palsu e-KTP, Miryam S Haryani.

Miryam mengatakan, dia mencabut BAP karena ada tekanan dari DPR dan menyebut enam anggota Komisi III DPR menekannya saat dia bersaksi di sidang kasus korupsi e-KTP.

Karena itu, kata Bivitri, penggunaan hak angket dalam upaya mencari kebenaran sebagai langkah yang tidak tepat.

“Karena yang akan terjadi justru bisa mengganggu proses penyidikan. Bayangkan saja BAP atau rekaman, ke uar duluan, maka tersangka bisa kabur, atau saksi yang bisa jadi tersangka kabur, orang yang terancam bisa mengancam saksi, membunuh, bisa terjadi kekacauan dalam proses hukum,” ujar Bivitri lagi.

Satu-satunya pembukaan BAP pernah terjadi pada kasus Bibit-Chandra yakni dalam kasus Cicak Buaya, itu pun hanya diperdengarkan di sidang Mahkamah Konstitusi (MK) dan lewat perintah pengadilan.//Delegasi (ik/hermen)

Komentar ANDA?

  • Bagikan