Jakarta, Delegasi.Com – Pembantaian yang dilakukan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Nduga yang menewaskan puluhan pekerja Trans Papua karyawan PT Istaka Karya malah digoreng kelompok separatis Papau untuk memojokkan Indonesia.
Dirilis dari Tribunnews.com dari laman kompas.com, Presiden Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), Benny Wenda menyerahkan petisi berisikan 1,8 juta tandatangan kepada Direktur Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet, di Vanuatu, pekan lalu
Pemerintah RI telah melayangkan protes keras terhadap Pemerintah Vanuatu yang telah memfasilitasi tokoh pembebasan Papua Barat Benny Wenda untuk bertemu Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (KTHAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pertemuan terjadi di sela kunjungan kehormatan delegasi Vanuatu ke kantor KTHAM pada Jumat 25 Januari 2019.
“Kami sedang mempelajari segala kemungkinan, tapi kami sudah melayangkan nota protes yang keras pada Vanuatu,” ujar Menteri Luar Negeri Retno Marsudi seusai Rapat Kerja dengan Komisi I di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/1/2019).
Dalam pertemuan tersebut, kata Retno, Benny sempat menyampaikan beberapa hal terkait situasi di Papua.
Sementara, dari pertemuan dengan Perwakilan Tetap RI di Jenewa diketahui pihak KTHAM terkejut dengan kehadiran Benny yang tidak tercatat sebagai delegasi resmi Vanuatu.
Di sisi lain, kunjungan kehormatan delegasi Vanuatu ke kantor KTHAM bertujuan membahas pelaksanaan Universal Periodic Review (UPR) HAM Vanuatu.
KTHAM bahkan menyatakan pihaknya sangat terkejut mengingat pertemuan semata-mata dimaksudkan untuk membahas UPR Vanuatu.
Retno menilai, Vanuatu tidak memiliki iktikad baik terkait penghormatan atas kedaulatan wilayah negara Indonesia dengan memfasilitasi Benny Wenda.
Ia menegaskan, rasa saling menghormati kedaulatan wilayah suatu negara harus dijunjung tinggi dalam sebuah hubungan diplomatik.
“Karena kita ingat, salah satu prinsip yang harus dihormati semua negara adalah prinsip menghormati kedaulatan negara lain,” kata Retno.
Retno menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mundur dalam mempertahankan kedaulatan wilayah negara Indonesia.
“Jadi saya ingin menegaskan bahwa kita tidak pernah akan mundur apabila ini sudah menyangkut mengenai sovereignity, kedaulatan, dan integritas wilayah Indonesia,” ujar Retno saat ditemui seusai Rapat Kerja dengan Komisi I di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/1/2019).
Melansir dw indonesia, Presiden Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), Benny Wenda menyerahkan petisi berisikan 1,8 juta tandatangan kepada Direktur Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet, pekan lalu.
Petisi tersebut berisikan tuntutan kemerdekaan dan permohonan kepada PBB untuk mengirimkan misi pencari fakta terkait dugaan pelanggaran HAM oleh Indonesia.
Jenazah para pekerja pembangunan jembatan di Nduga berhasil di evakuasi ke Timika. (John Roy Purba/Istimewa)
Menurut Benny Wenda, Ketua ULMWP, “hari ini (Jumat) adalah hari bersejarah buat saya dan rakyat Papua,” kata dia. “Saya menyerahkan apa yang saya sebut tulang belulang rakyat Papua Barat, karena terlalu banyak warga tak berdosa yang telah tewas terbunuh.”
Wenda mengklaim penduduk Papua Barat tidak menikmati kebebasan berpendapat atau berkumpul, seperti yang dimiliki penduduk Indonesia lainnya. Petisi itu pun menjadi satu-satunya jalan untuk mengundang perhatian,” kata dia. “Beratnya mencapai 40 kg. Ini seperti buku paling besar di dunia.”
Benny mengaku sempat kesulitan mengumpulkan tandatangan lantaran laman petisi di internet diblokir pemerintah Indonesia. Akhirnya dokumen petisi tersebut “diselundupkan dari satu ujung ke ujung lain Papua,” kisahnya kepada Guardian.
Wenda mengklaim penduduk Papua Barat tidak menikmati kebebasan berpendapat atau berkumpul, seperti yang dimiliki penduduk Indonesia lainnya. Petisi itu pun menjadi satu-satunya jalan untuk mengundang perhatian,” kata dia. “Beratnya mencapai 40 kg. Ini seperti buku paling besar di dunia.”
Sebanyak dua pertiga penduduk Papua yang berjumlah 2.5 juta orang diklaim ikut mendukung langkah tersebut.
Wenda mengatakan sempat berbicara dengan Bachelet untuk membahas situasi di Kabupaten Nduga yang sejauh ini telah menewaskan 11 penduduk dan memaksa sebagian lain untuk mengungsi menyusul operasi militer TNI dan Polri.
Menurut ULMWP, sebanyak 22.000 orang melarikan diri ke hutan dan gunung buat mencari perlindungan.
Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (KTHAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengklaim Pemerintah Indonesia setuju membuka akses bagi tim pemantau ke Kabupaten Nduga, Papua.
Sikap Indonesia dipastikan oleh Komisioner OHCHR, Michelle Bachelet, kepada harian Inggris The Guardian pada Rabu (30/1/2019).
Seperti yang dilaporkan, Bachelet sudah berkomunikasi dengan pemerintah Indonesia ihwal “situasi hak asasi manusia” di Papua Barat. Dia lalu meminta akses menuju kawasan konflik di Nduga.
“Secara prinsip Indonesia setuju untuk mengizinkan kantor komisi mengakses Papua dan kami sedang menunggu konfirmasi dari pemerintah Indonesia,” kata Jurubicara OHCHR, Ravina Shamdasandi, kepada The Guardian.
Dia sebelumnya sempat menuding kebijakan pemerintah Indonesia tidak mengatasi akar masalah separatisme di Papua.
Juru Bicara Kodam XVII Cendrawasih Kolonel Inf. Muhammad Aidi, menilai tudingan Wenda tidak beralasan. Menurutnya narasi yang digunakan ULMWP bertentangan dengan fakta di lapangan.
“Dia tidak bisa menunjukkan bukti dari yang dituduhkan,” kata dia kepada Reuters.
“Justru Organisasi Papua Merdeka yang membunuh warga sipil tak berdosa.”
Aidi merujuk pada peristiwa pembunuhan 16 pekerja konstruksi dan serdadu yang membantu peroyek pembangunan jalan dan jembatan di kabupaten Nduga.
PM berkilah para pekerja merupakan serdadu yang menyamar dan sebabnya tidak tergolong penduduk sipil.
Anggota Komisi I DPR Meutya Hafid mengatakan pihaknya menunggu respons Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (KTHAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait petisi referendum yang disebut-sebut telah diserahkan tokoh pembebasan Papua Barat Benny Wenda.
Meutya meragukan penyerahan petisi referendum itu dilakukan secara resmi.
Politisi Partai Golkar ini yakin PBB tidak akan menindaklanjuti petisi referendum tersebut.
“Kalau misalnya ada penerimaan (petisi referendum) dari PBB, kita yakin PBB dapat dan amat menghormati kedaulatan NKRI. Tentu kami yakin tidak akan terlalu ditindak lebih lanjut karena ada etika penghormatan negara-negara anggota di PBB,” ujar Meutya di Kompleks Parlemen, Kamis (31/1/2019).
Meutya mengatakan ini bukan pertama kalinya Benny Wenda menjalankan aksi. Beberapa bulan lalu dia juga pernah berupaya menyerahkan petisi. Belakangan PBB menyebut petisi tersebut bukan diserahkan secara resmi.
Meutya juga tidak yakin dengan klaim Benny bahwa ada 1,8 juta orang yang menandatangani petisi itu kini.
Meutya mengatakan kelompok Benny Wenda sebelumnya sudah pernah membuat klaim yang sama.
“Kemudian kita tahu itu hoaks. Kali ini juga yang paling utama adalah memeriksa apakah betul petisi telah diserahkan sebanyak 1,8 juta? Karena jangan-jangan di sana pun tidak sampai 1,8 juta,” kata dia.
Dia meminta masalah ini jangan dibesar-besarkan.
Pemerintah Indonesia diminta menunggu konfirmasi langsung dari PBB.
Namun, pemerintah tetap harus waspada mengenai hal ini.
“Saya rasa tidak perlu ada respons yang terlalu berlebihan. Kita masih menunggu pernyataan dari PBB dan kita masih menunggu kesahihan informasi mengenai petisi referendum itu dari pihak PBB,” ujar Meutya.
//delegasi(tribunnews/ger)