KUPANH, DELEGASI.COM – Tim Penasihat Hukum (PH), Stefanus Sulayman meminta Majelis Hakim membebaskan terdakwa dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan memulihkan nama baiknya karena kliennya bukan seorang debitur (bukan penerima kredit, red) dari Bank NTT dan dalam fakta persidangan berdasarkan keterangan para saksi dan bukti-bukti, SS tidak bersalah karena tidak merugikan keuangan negara.
Demikian disampaikan Tim PH Stefanus Sulayman, Dr. Melkianus Ndaomanu, SH, M.Hum, Chindra Adiano, SH, MH, CLA, Nurmawan Wahyudi, SH, MH dari Kantor Hukum Amos H.Z. Taka & Associates dalam Pledoi/Nota Pembelaannya dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Dju Johnson Mira Manggi, SH, M.Hum didampingi anggota Majelis Hakim Ali Muhtarom, SH, MH dan Ari Prabowo, SH di Pengadilan Tipikor Kupang, Kamis (24/11/20) siang.
Menurut Tim Kuasa Hukum Stefanus Sulayman, kliennya bukan merupakan debitur Bank NTT sehingga kliennya tidak dapat dituntut atau dimintai pertanggungjawabannya atas kredit macet para debitur Bank NTT. “Stefanus Sulayman bukan debitur Bank NTT karena itu ia tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya atas kredit macet debitur Bank NTT. Terbukti dalam persidangan bahwa Stefanus Sulayman merupakan seorang pedagang aset yang menjual asetnya kepada para debitur Bank NTT,” baca Nurmawan Wahyudi, SH, MH.
Saat diwawancarai wartawan usai sidang, Tim PH Stefanus Sulayman menjelaskan, inti dari pembelaannya adalah pihaknya ingin membuktikan unsur-unsur yang ada di pasal 2 undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi (tipikor), khususnya pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, yakni unsur setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
“Kami nyatakan tidak terpenuhi unsur pidana karena terdakwa ini (Stefanus Sulayman, red) bukan sebagai debitur. Dia hanya sebagai penjual asset yang punya hak untuk menerima pembayaran dari pihak pembeli asset. Karena itu, tidak terpenuhi sebagai unsur subjek setiap orang sebagaimana pasal 2 undang-undang tipikor,” ujar Dr. Melkianus Ndaomanu, SH, M.Hum.
Hal kedua menurut PH, unsur melawan hukum sebagaimana tuntutan JPU bahwa sesuai dengan pelanggaran terhadap peraturan Bank Indonesia dan melanggar manual kredit, jika dihubungkan dengan pasal 14 undang-undang Tipikor, menyatakan secara tegas kalau melanggar peraturan perundangan lain dan dinyatakan pidana; baru berlaku UU Tipikor.
“Nah kita lihat dari peraturan yang dituduh melanggar, tidak ada satu pasalpun baik di UU Perbankkan maupun di Peraturan Bank Indonesia serta manual kredit yang menyatakan bahwa itu adalah perbuatan tindak pidana. Dengan demikian tidak bisa dikenakan pasal 2 unsur melawan hukum terhadap terdakwa,” tegas Melkianus.
Lalu tentang kerugian keuangan negara, lanjut Melkianus, kerugian keuangan negara dalam konteks BUMD yang berstatus PT, itu memang didalamnya dikatakan bahwa penyertaan modal kepada Bank NTT itu dalam bentuk saham. “Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi No 62 dan No 48 tahun 2013 yang menyatakan bahwa penyertaan modal dalam bentuk saham di BUMD itu masuk dalam domain keuangan negara. Akan tetapi pengelolaan bank NTT, tidak hanya menerima saham dari PEMDA NTT tetapi ada saham perorangan (saham seri B, red). Ada 3 orang yakni ada Pak Amos Korputi dan Ovi Wilahuki, serta Christian A.Tallo,” bebernya.
“Artinya di bank NTT, selain penyertaan modal dari pemerintah, juga ada modal dari perorangan. Kalau misalnya diklaim bahwa uang negara itu semua ada di bank NTT, terus orang punya saham yang seri B itu juga jadi uang negara atau uang PEMDA? Itu satu kejanggalan,” kritik Dr. Melkianianus Ndaomanu yang merupakan salah satu PH Stefanus Sulayman.
Yang kedua, kata Melkianus, Bank NTT sebagai perseroan dalam aktivitasnya melakukan produk- produk dana berupa deposito dan jasa – jasa lain bank. Kemudian dia juga mengadakan penyaluran kredit. Khusus untuk jasa penyaluran kredit, itu diambil dari dana pihak ketiga bukan dari dana seri A. Oleh karena itu, adanya kredit macet itu tidak ada hubungannya dengan saham seri A, karena saham seri A tidak akan berkurang. “Dengan demikian ini bukan kerugian Pemda se-NTT karena saham seri A tidak berkurang,” jelasnya.
Lebih lanjut penasehat hukum SS itu mengatakan bahwa bisa dibayangkan bila uang di bank NTT semua milik Pemda se-NTT. “Terus mereka atau kita yang menabung secara perorangan, apakah secara otomatis uangnya itu jadi uang negara atau uang PEMDA? Karena itu putusan MK nomor 42 dan nomor 48 menyatakan uang PEMDA dalam BUMD hanya pada saham yang dimiliki,” tandas Melkianus.
“Pencairan dana kredit itu tidak ada hubungannya dengan saham Seri A milik PEMDA. Ia tidak masuk dalam kerugian keuangan PEMDA. Hak dari PEMDA sebagai pemegang saham yakni memperoleh hak atas deviden dan itu sudah terbayar ditahun 2018 dan 2019. Termasuk terbayar di dalamnya hak dari pemegang saham perorangan,” tambahnya.
Sementara itu menurut PH Chindra Adiano SH., MH, CLA, berdasarkan fakta persidangan, pemerintah menyertakan modal dalam bentuk saham dan pemerintah sudah memperoleh haknya berupa deviden ditahun 2018 dan 2019. “Kalau mau untung terus kata ahli, ikut pesugihan saja. Artinya bila ditafsirkan pada tahun 2018 deviden yang harus diperoleh Rp 100 Milyar, tetapi dengan adanya kredit macet hanya diperoleh Rp 50 Miliar. Misalkan hakim memandang seperti itu berarti, sudah bank NTT ikut pesugihan saja, sudah tidak usah ada fungsi intermediasi,” kritiknya.
Chindra menambahkan pula bahwa sebagai penasehat hukum, mereka sesalkan surat tuntutan dari JPU ada fakta yang disampaikan tetapi dalam fakta persidangan itu tidak ada. “Misalkan saksi Alosius Geong dan Absalom Sine. Dua orang ini tidak pernah ada di persidangan tapi di Analisa fakta ada. Nah ini jadi pertanyaan,” ungkapnya.
Jadi, lanjut Chindra, kita harapkan sanksi hukum yang ada nanti itu berdasarkan fakta. “Kalau orang bersalah ya hukum sesuai porsinya. Kalau orang tidak bersalah berdasarkan fakta persidangan ngapain dihukum. Kita yakin bahwa yang mulia hakim tidak akan memutus perkara semata – mata hanya karena kepentingan antar Lembaga penegak hukum,” ujarnya.
Hal senada juga dikatakan Nurmawan Wahyudi SH., MH bahwa adanya kerugian keuangan negara jika ada saham yang berkurang. “Tetapi jika porsi saham PEMDA NTT tidak ada yang berkurang, artinya belum bisa dikatakan ada kerugian keuangan negara. Yang kedua, berdasarkan undang-undang nomor 15 tahun 2006 tentang BPK, yang berwenang secara konstitusi untuk men-declare adanya kerugian keuangan negara adalah BPK,” tegasnya.
Kemudian, lanjutnya, yang perlu digarisbawahi mengenai unsur melawan hukum, unsur melawan hukum yaitu adanya perbuatan tercela atau melawan hukum yang dibuktikan secara nyata selama proses kredit. “Bagaimana mungkin SS yang bukan debitur bisa diterapkan unsur ini?” kritiknya.
Nurmawan berharap, Majelis Hakim dapat memutus perkara ini dengan arif dan seadil-adilnya berdasarkan hati Nurani dan berdasarkan fakta sebenarnya.
//delegasi (*/tim)