Temuan tersebut tertuang dalam Iktisar Hasil Pemeriksaan Daerah (IHPD) Badan Pemeriksa Keuangan) BPK RI Perwakilan NTT tertanggal 17 Mei 2021. Dalam IHPD-nya BPK RI membeberkan bahwa beras JPS Covid-19 yang diadakan dan dibagikan PT. Flobamor tidak sesuai dengan spesifikasi (Spek, red) atau kualitas beras yang tertera dalam kontrak.
“Jumlah pengadaan beras tahap 1 dan 2 adalah sebanyak 5.390.040 kg (4.651.440 kg + 738.600 kg), sehingga apabila beras yang didistribusikan tidak memenuhi kualitas premium maka terdapat potensi selisih harga beras premium dan medium pengadaan beras JPS senilai Rp.18.056.634.000,00 (Rp.3.350 × 5.390.040 kg),” tulis BPK RI.
Menurut BPK, berdasarkan ketentuan tentang harga eceran tertinggi (HET) beras di Provinsi NTT bulan November 2020 diketahui bahwa HET beras premium senilai Rp.13.300,00/kg. Sedangkan HET beras medium (setingkat di bawah beras premium) adalah senilai Rp. 9.950/kg, sehingga terdapat selisih harga minimal senilai Rp.3.350,00/kg.
BPK RI dalam LHP-nya mengungkapkan, PPK tidak melakukan pemeriksaan pekerjaan dan pengujian kualitas barang. Padahal sesuai ketentuan yang diatur dalam Surat Pesanan/SPK, PPK melaksanakan pemeriksaan terhadap kesesuain volume, waktu, kondisi dan fungsi dan hal lainnya.
“Berdasarkan wawancara dengan PPK, diketahui bahwa PPK tidak melakukan pemeriksaan pekerjaan selama proses pengadaan dan tahap akhir pekerjaan. Tim distribusi beras yang bertugas memeriksa kondisi beras yang disediakan oleh pihak ke tiga dari aspek kualitas dan kuantitas juga tidak melakukan tugasnya,” tulis BPK RI.
Selain itu, lanjut BPK RI, menurut keterangan dari direktur PT. Flobamora selaku penyedia tidak melakukan pemeriksaan kualitas beras yang disalurkan kepada KPM 22 kab/kota. “Baik yang digunakan di gudang penyalur maupun di titik distribusi selama tahapan pengadaan sebagaimana diatur dalam kontrak (SPK) dan Peraturan Gubernur NTT Nomor 56 tahun 2020 tanggal 17 September 2020 tentang petunjuk teknis pemberian JPS dampak COVID 19 di Provinsi NTT,” ungkap BPK RI.
Menurut BPK, pihaknya juga tidak dapat melakukan pengujian atas kualitas beras yang telah didistribusikan kepada KPM untuk memastikan apakah telah sesuai dengan spesifikasi kontrak. Hal tersebut karena adanya keterbatasan kewenangan dan kompetensi BPK, serta kendal teknis di lapangan.
Sementara itu, investigasi Tim Media ini terhadap puluhan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) beras Covid-19 di Kota Kupang, mengungkapkan bahwa beras yang diterima adalah beras Bulog. “Beras yang kami terima itu karungnya kuning ada tulisan Pemprov NTT. Tapi isinya beras Bulog. Berasnya bersih tapi tidak enak,” ujar Ba’i, warga Kelurahan Sikumana.
Hal senada juga diungkapkan KPM di Kota Kupang yang ditemui Tim Investigasi media ini. “Beras Covid itu kurang enak. Beta dapat 2 karung. 1 Karung 30 kg,” beber Hendrik Usineno, warga Penfui.
Seorang Aparat Desa Poli, Kecamatan Santian, Kabupaten TTS yang tak mau disebutkan namanya mengaku tak pernah menerima Bansos Pemprov NTT, baik berupa beras 60 per KPM maupun berupa uang tunai Rp 300.000 per KPM. “Warga kami hanya dapat bantuan BST (Bantuan Sosial Tunai) dari Pempus yang disalurkan lewat Pos dan Giro. Tapi warga kami tidak pernah dapat bantuan beras atau uang JPS Covid-19 dari Pemprov NTT,” jelasnya.
Kepala Dinsos NTT, Jamal Ahmad yang dikonfirmasi Tim Media ini melalui pesan WhasApp/WA tidak merespon pertanyaan wartawan. Dihubungi melalui sambungan telepon selularnya pada Jumat (18/6/21) pagi tadi tidak menjawab panggilan teleponnya. Dihubungi kembali sekitar Pukul 11.00 Wita, seorang staf Dinsos NTT menjawab panggilan telepon wartawan. “Selamat pagi, Pak Kadis sedang seminar. Setelah itu sholat dan makan siang, lalu lanjut lagi. Belum tahu jam berapa selesai,” ujarnya.
Sebelumnya, Kadis Jamal yang dikonfirmasi Tim Media di ruang kerjanya pada tanggal 2 Juni 2021 mengatakan, pihaknya telah selesai menyalurkan seluruh beras JPS Covid-19 ke 22 kabupaten/kota di NTT. “Beras JPS Covid-19 sudah disalurkan 100 persen ke 22 kabupaten/kota dan tidak ada masalah,” ujarnya.
//delegasi(*/tim)