Puluhan Polisi Myanmar Kabur ke India Menentang Perintah Tembaki Masyarakat Sipil

  • Bagikan
Polisi anti huru-hara memegangi seorang pengunjuk rasa sementara yang lainnya bersiap memukuli dalam insiden di Tharkata, luar Yangon, Myanmar,pada 6 Maret 2021.(AP PHOTO/-)

NAYPYIDAW, DELEGASI.COM – Sejumlah anggota kepolisian Myanmar mulai melarikan diri ke India setelah menolak mengambil bagian dalam tindakan keras yang semakin berdarah terhadap pengunjuk rasa pro-demokrasi. Penjaga perbatasan India mengatakan sekitar 30 petugas dan keluarga mereka telah menyeberang ke negara Asia Selatan itu dalam beberapa hari terakhir.

Sebagian besar mencari perlindungan di negara bagian Mizoram. Penduduk setempat mengatakan orang-orang itu mengaku sebagai petugas polisi yang telah meninggalkan posnya, setelah menolak melaksanakan perintah untuk menembak warga sipil di negara bagian Chin barat.

Daily Mail melaporkan pada Jumat (5/3/2021), India menyatakan mulai menutup perbatasan dengan Myanmar dan meningkatkan patroli untuk menghentikan lebih banyak pengungsi yang menyeberang.

Pejabat India sedang menetapkan identitas orang-orang yang menyeberang, dan menentukan apakah mereka dapat menetap sebagai pengungsi. Pembelotan itu terjadi di tengah pekan paling berdarah di Myanmar, sejak para pemimpin militer merebut kekuasaan bulan lalu. Sedikitnya 40 aktivis ditembak mati dan puluhan lainnya luka-luka minggu ini.

Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi. (Reuters/Soe Zeya Tun)

Menyerang warga sipil

Video mengungkapkan momen menakutkan ketika seorang tentara mengarahkan tembakan kepada penduduk dalam apartemen mereka. Warga itu mendokumentasikan aksi kekerasan militer Myanmar secara sembunyi-sembunyi dari tempat tinggalnya. Video singkat itu menunjukkan seorang tentara berseragam berjalan ke arah apartemen mereka, mengangkat senjata dan melepaskan tembakan.

Aksi tersebut menghancurkan jendela dan memaksa perekam video merunduk untuk menghindari tembakan. Foto-foto juga mengungkapkan bagaimana orang lainnya, bernama Ko Zaw Myo (berusia 20-an tahun), meninggal pada Jumat (5/3/2021). Dia setelah ditembak di tenggorokan saat melakukan unjuk rasa di kota Mandalay.

Total korban tewas sejak kudeta 1 Februari sekarang mencapai lebih dari 50, menurut Daily Mail.

Video dari Mandalay juga menunjukkan seorang petugas polisi yang dikawal oleh tentara membawa tubuh pengunjuk rasa yang tampak lemas dari jalan pada Jumat (5/3/2021), namun rekaman tersebut belum diverifikasi secara independen.

Sementara itu petugas di kota terbesar Yangon melepaskan tembakan dengan peluru karet dan gas air mata. Mereka berusaha membubarkan ribuan aktivis yang diikuti sekitar 100 dokter berjas putih, pada Jumat (5/3/2021).

Partai-partai yang didukung militer telah terpukul pada pemilihan November 2020 lalu. Partai pimpinan Aung San Suu Kyi menerima sekitar 80 persen suara. Para Jenderal Myanmar mengklaim hasil itu sebagai penipuan, tanpa memberikan bukti.

Kepolisian Myanmar menjerat pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dalam kasus impor perangkat komunikasi walkie-talkie ilegal, dan ditahan hingga 15 Februari mendatang. (REUTERS/Stringer)

 

Mereka telah mengumumkan kondisi darurat selama setahun. Militer juga berjanji akan mengadakan pemilihan umum baru dan pemenangnya dihormati. Namun kebanyakan masyarakat Myanmar yang pernah hidup selama lima dekade di bawah pemerintahan junta menyangsikan janji itu akan ditepati.

Protes hampir setiap hari terjadi di negara itu. Sejak kudeta, puluhan ribu orang bersatu menuntut kembalinya demokrasi, meskipun kekerasan meningkat. Setelah kebuntuan yang tegang selama berminggu-minggu, polisi mulai melancarkan kekerasan yang memicu pertumpahan darah pada Rabu (3/3/2021).

Petugas di kota-kota di seluruh negara itu melepaskan tembakan ke arah demonstran sebagian besar tanpa peringatan, sedikitnya 38 orang tewas. Eskalasi ancaman hari itu menandai salah satu hari paling mematikan sejak kudeta. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kekerasan akan semakin meningkat.

Aparat kepolisian terpecah

Pada Kamis (4/3/2021), jet tempur militer terbang rendah di kota Mandalay. Peluncurannya dilakukan untuk mengintimidasi para demonstran. Tapi taktik itu ternyata tidak berhasil. Dihadapkan dengan perintah untuk menembaki rekan senegaranya, tampaknya beberapa petugas memutuskan untuk meninggalkan pos mereka sebagai gantinya. Di distrik Serchhip India, pejabat Kumar Abhishek mengatakan delapan orang, termasuk seorang wanita dan seorang anak, telah melintasi perbatasan dan sedang dirawat.

“Kami mengantisipasi bahwa beberapa lagi mungkin akan datang,” katanya. Pihak berwenang sedang membuat persiapan untuk menampung antara 30-40 orang, katanya. Seorang pejabat keamanan federal India menyatakan, polisi yang menyeberang mengaku tidak ingin melaksanakan perintah dari militer untuk memadamkan protes.

“Mereka (pembelot) menuduh ada pelanggaran hak asasi manusia. Mereka diminta untuk menembak warga sipil,” kata pejabat itu, yang juga tidak mau disebutkan namanya. Pergerakan pencari suaka, terutama polisi, membuat India dalam kebingungan. Pasalnya New Delhi juga punya hubungan dekat dengan militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw. Selama dua tahun terakhir, Tatmadaw telah meningkatkan operasi atas permintaan India. Pasukan gabungan ini mengusir pemberontak di sepanjang perbatasan timur laut.

India juga memberi Myanmar kapal selam pertamanya tahun lalu. “Ini situasi yang agak sulit bagi India karena keseimbangan diplomatik sangat penting,” kata pejabat itu.

Kekerasan itu terjadi ketika junta mendapatkan sanksi baru dari PBB di New York dan Amerika Serikat, yang menargetkan konglomerat militer setelah kematian puluhan pengunjuk rasa sipil.

//delegasi(kompas)

Komentar ANDA?

  • Bagikan