Saat ini, sebanyak 38 anggota DPRD Sumut itu resmi menyandang status tersangka. Demikian dirilis kompas.com, Selasa (4/4/2018).
Ketua KPK Agus Rahardjo bersama Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengumumkan status hukum para wakil rakyat itu kemarin, Selasa (3/4/2018).
Para anggota dewan itu diduga menerima suap berupa hadiah atau janji yang terkait dengan fungsi dan kewenangan mereka sebagai anggota dewan di periode tersebut.
Suap itu diduga berasal dari mantan Gubernur Provinsi Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho.
Suap tersebut diduga mengenai persetujuan laporan pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk Tahun Anggaran 2012-2014 oleh DPRD Sumut dan Persetujuan Perubahan APBD Provinsi Sumut Tahun 2013-2014 oleh DPRD Sumut.
Kemudian, terkait pengesahan APBD tahun anggaran 2014-2015 dan penolakan penggunaan hak interpelasi anggota DPRD Sumut pada 2015.
Dari Gatot, para anggota DPRD itu disebut KPK mendapat jatah masing-masing berkisar Rp 300 juta sampai Rp 350 juta.
Bukan kasus baru
Kasus yang menjerat puluhan wakil rakyat itu sebenarnya bukan perkara baru.
Ini adalah pengembangan kasus yang sama dan sudah diproses sebelumnya oleh KPK.
Penetapan 38 anggota DPRD Sumut itu merupakan tahap ketiga.
Sebelumnya, KPK sudah memproses 12 unsur pimpinan dan anggota DPRD Sumut.
Tahap pertama, atau pada 2015 lalu, KPK menetapkan lima unsur pimpinan DPRD Sumut sebagai tersangka kasus ini.
Kelima orang itu yakni Ketua DPRD Sumut 2009-2014 Saleh Bangun dan empat Wakil Ketua DPRD Sumut 2009-2014, Kamaludin Harahap, Chaidir Ritonga, Sigit Pramono Asri, dan Ajib Shah.
Tahap kedua, pada 2016 KPK menetapkan tujuh Ketua Fraksi DPRD Sumut.
Mereka adalah Muhammad Afan, Budiman Pardamaian Nadapdap, Guntur Manurung, Zulkifli Effendi Siregar, Bustami HS, Zulkifli Husein, dan Parluhutan Siregar.
Sebanyak 12 anggota DPRD Sumut itu telah divonis Pengadilan Tipikor Medan dengan rata-rata 4 sampai 6 tahun penjara. Sehingga jika dijumlah, kasus ini sudah menyeret total 50 anggota DPRD Sumut.
Rekor korupsi massal
Agus Rahardjo mengatakan, kasus suap yang melibatkan 38 anggota DPRD Sumatera Utara itu merupakan bentuk korupsi massal.
Menurut Agus, para anggota dewan di Sumut itu memanfaatkan kewenangan mereka sebagai pintu untuk kongkalikong dengan pihak eksekutif, dalam hal ini Gatot selaku gubernur.
“Kasus ini menunjukkan korupsi dilakukan secara massal dengan memanfaatkan pelaksanaan fungsi dan kewenangan legislatif, sebagai pintu yang membuka peluang terjadinya kongkalikong antara eksekutif dan legislatif,” kata Agus, dalam jumpa pers di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (3/4/2018).
Kongkalikong itu, lanjut Agus, untuk mengamankan kepentingan masing-masing, atau mengambil manfaat untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok.
Perbedaan kasus traveller cheque, yang terjerat ialah para anggota DPR yang dijerat KPK sebagai penerima suap. Total ada 26 anggota DPR periode 1999-2004, yang menjadi tersangka traveller cheque.
Kemudian, kasus yang mirip lainnya yakni penetapan 18 anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka.
Para wakil rakyat itu diduga menerima suap dari Wali Kota Malang Moch Anton terkait pembahasan dan pengesahan APBD-P Pemkot Malang tahun anggaran 2015. Anton juga berstatus tersangka dalam kasus ini.
Dalam kasus ini, KPK lebih dulu menetapkan dua tersangka, yakni mantan Ketua DPRD Kota Malang Moch Arief Wicaksono dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (DPUPPB) Kota Malang Jarot Edy Sulistyono.
Arief diduga menerima suap Rp 700 juta dari Edy untuk pembahasan APBD Perubahan Kota Malang tersebut.
Pengembangan perkara keduanya akhirnya menghantar pada keterlibatan 18 anggota DPRD plus Wali Kota Malang.
Dengan demikian, kasus suap yang menjerat 38 anggota DPRD Sumut dapat dibilang menjadi rekor KPK dalam pengungkapan kasus korupsi yang dilakukan secara massal.
Upaya KPK dan Pemerintah
KPK sendiri punya cara agar kasus korupsi yang menjerat anggota dewan tidak terulang.
Menurut Agus Rahardjo, salah satunya adalah proses pembahasan anggaran antara eksekutif dan legislatif yang diharapkan bisa berlangsung transparan.
“Saya di banyak kesempatan mengusulkan bagaimana misalkan planningdan budgeting diselenggarakan dalam sistem yang transparan, sehingga rakyat bisa mengawasi.
Itu cara meminimalisasi praktek yang selama ini terjadi,” ujar Agus.
Kemudian, lanjut Agus, pencegahan agar hal semacam ini terulang juga membutuhkan peran serta masyarakat.
Caranya yakni memilih wakil rakyat dengan melihat rekam jejak mereka. Pilihlah wakil rakyat yang berintegritas.
“Jadi jangan memilih seseorang karena diberi sesuatu, tetapi mari kita melihat track record-nya. Integritas orang itu sangat penting,” ujar Agus.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebelumnya merasa prihatin dengan terjeratnya 38 anggota DPRD Sumut dalam kasus korupsi.
Padahal, Tjahjo menyatakan, pemerintah tak pernah bosan mengingatkan agar pemangku kebijakan, termasuk DPRD untuk memahami area rawan korupsi.
Salah satu area rawan korupsi itu terkait dengan masalah perencanaan dan penyusunan anggaran.
Menurut dia, sudah banyak contoh kasus korupsi di sektor ini dan seharusnya dapat dijadikan pelajaran berharga bagi pihak yang berkepentingan.
“Saya kira harus hati-hati karena area itu yang dicermati oleh KPK, kejaksaan termasuk BPK dalam audit anggaran ini juga yang berkaitan dengan perencanaan anggaran,” ujar Tjahjo, Sabtu (31/3/2018).
Hal tersebut juga berlaku bagi kepala daerah agar tak main-main ketika menyusun anggaran dengan DPRD.
Jangan tergoda oleh jalan pintas, apalagi jika jalan pintas itu berisi permintaan yang tak sesuai aturan.
Hal semacam itu, menurut dia, lebih baik ditolak.
Kalaupun tak ada kesepakatan dengan DPRD, lanjut Tjahjo, sesuai aturan anggaran masih bisa disahkan lewat Pergub.
“Sedikit ada penyimpangan apalagi ada penyalahgunaan, apalagi ada pembagian, pasti terbongkar sebagaimana yang dialami oleh teman-teman teman Pemda dan DPRD di Sumut,” ujar Tjahjo.
Dia yakin, KPK tentu tak sembarangan menetapkan seseorang jadi tersangka.
Pastinya, telah mengantongi alat bukti kuat. Karena itu, ia minta kasus di Sumut dan kasus serupa lainnya, dijadikan pelajaran, agar hati-hati dan paham area rawan korupsi.
Tapi karena ini baru status tersangka, maka asas praduga tak bersalah yang harus dikedepankan.
“Sepanjang yang bersangkutan belum mempunyai penetapan hukum tetap bagaimana keputusan pengadilan, saya kira belum bisa diganti.
Kalau dia sudah mendapat kekuatan hukum tetap, lalu untuk PAW-nya parpol diberikan tembusan untuk mengisi penggantinya,” ujar Tjahjo.//delegasi(kompas.com)