JAKARTA, DELEGASI.COM – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah mengembangkan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Super Prioritas Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur ( NTT). Salah satu kawasan yang akan mengalami perubahan desain secara signifikan adalah Pulau Rinca di Kabupaten Manggarai Barat. Pulau ini bakal disulap menjadi destinasi wisata premium dengan pendekatan konsep geopark atau wilayah terpadu yang mengedepankan perlindungan dan penggunaan warisan geologi dengan cara yang berkelanjutan. Konsep pengembangan geopark ini popular dinamakan “Jurassic Park”. “Tujuan utama konsep ini adalah mempromosikan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan dengan mengembangkan potensi yang ada dengan cara yang berkelanjutan,” kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono. Melalui Ditjen Cipta Karya, Kementerian PUPR telah menganggarkan Rp 69,96 miliar untuk menata kawasan Pulau Rinca yang meliputi bangunan pusat informasi, sentra suvenir, kafe, dan toilet publik.
Kemudian dibangun pula kantor pengelola kawasan, selfie spot, klinik, gudang, ruang terbuka publik, penginapan untuk peneliti, dan pemandu wisata (ranger). Area trekking untuk pejalan kaki dan selter pengunjung didesain melayang atau elevated agar tidak mengganggu lalu lintas Komodo. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas dermaga di Pulau Rinca, dibangun sarana dan prasarana pengaman pantai dan dermaga Loh Buaya yang akan dilaksanakan oleh Ditjen Sumber Daya Air pada tahun 2020 ini.
Namun, pembangunan yang mencakup sarana dan prasarana ini tak berlangsung mulus, sebaliknya, menuai kecaman dari masyarakat setempat.
Salah satunya dari Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata (Formapp) Manggarai Barat. Forum ini menolak pembangunan sarana dan prasarana geopark di kawasan Loh Buaya, Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo. Ketua Formapp Manggarai Barat Aloysius Suhartim Karya menyatakan penolakannya kepada Kompas.com, Rabu (16/9/2020). “Penolakan terhadap pembangunan ini sudah kami sampaikan berkali-kali, termasuk lewat unjuk rasa yang melibatkan lebih dari 1.000 anggota masyarakat di Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) dan Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo, Flores, pada tanggal 12 Februari 2020,” tegas Aloysius. Formapp menyampaikan beberapa alasan penolakan terhadap pembangunan tersebut. Pertama, kata Aloysius, pembangunan sarana dan prasarana berupa bagunan geopark di kawasan Loh Buaya bertentangan dengan hakikat keberadaan Taman Nasional Komodo sebagai kawasan konservasi. Hal ini sebagaimana tertuang melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 306 Tahun 1992 tentang Pembentukan Taman Nasional Komodo. Dalam SK tersebut dijelaskan, Taman Nasional Komodo adalah kawasan konservasi alami yang utuh dari satwa komodo dan ekosistem lainnya, baik di darat maupun di laut. Kedua, model pembangunan sarana dan prasarana geopark dengan cara betonisasi dapat menghancurkan bentang alam kawasan Loh Buaya. Seperti tercantum dalam Permen LHK P.13/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2020 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Wisata Alam di Kawasan Hutan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 tentang Penguasahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.
“Ketiga, pembangunan sumur bor sebagai bagian dari sarpras ini juga akan sangat membawa dampak buruk bagi matinya sumber-sumber air yang selama ini menjadi sumber penghidupan satwa dan tumbuhan yang menghuni kawasan Loh Buaya dan sekitarnya,” lanjut Aloysius. Pembangunan tersebut juga berpotensi menghancurkan desain besar industri pariwisata dan merugikan para pelaku wisata dan masyarakat Manggarai Barat. ” Pariwisata berbasis alam (nature based tourism) sebagai jualan utama pariwisata Labuan Bajo-Flores di mata dunia internasional akan rusak,” cetus Alysius. Kelima, Formapp Manggarai Barat menolak karena pembangunan sarana dan prasarana ini hanya untuk melayani kepentingan investor yang hendak berinvestasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Bersamaan dengan penolakan ini, Formapp Manggarai Barat juga menolak penghancuran ruang hidup Komodo oleh invasi bisnis pariwisata yang dilakukan oleh PT Sagara Komodo Lestari di Pulau Rinca, PT Wildlife Ecotourism di Pulau Padar dan Komodo, PT Synergindo di Pulau Tatawa, PT Flobamor di Pulau Komodo dan Padar, serta alih fungsi Pulau Muang dan Bero. Oleh karena itu, menurut anggota Formapp Venansius Haryanto, pihaknya juga mengajukan sejumlah tuntutan.
Pertama, menuntut pemerintah segera menghentikan rencana pembangunan sarana dan prasarana geopark di kawasan Loh Buaya, Pulau Rinca.
Kedua, menuntut pemerintah membuka informasi seluas-luasnya terkait pembangunan fisik di Pulau Rinca dengan melakukan konsultasi publik terlebih dahulu.
Ketiga, Formapp mengutuk keras setiap usaha untuk mengalihfungsikan dan memprivatisasi kawasan Taman Nasional Komodo menjadi kawasan investasi. “Karena itu, kami mendesak pemerintah untuk mencabut izin perusahaan yang hendak berinvestasi dalam kawasan Taman Nasional Komodo,” kata Venan.
Keempat, mendorong pemerintah untuk meningkatkan upaya-upaya konservasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo dan di Flores pada umumnya sebagai bentuk investasi jangka panjang merawat alam yang menjadi magnet pariwisata Flores. Terakhir, mendesak pemerintah untuk mengedepankan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan konservasi dan pariwisata di NTT. Namun, hingga saat ini, upaya penolakan dan sejumlah tuntutan belum mendapat tanggapan dari pemerintah, terutama Kementerian PUPR yang masih terus melanjutkan pembangunan fisik. “Sejauh ini belum ada respons dari Kementerian PUPR,” tuntas Venan.
//delegasi(kompas)