Sosbud  

Rintihan Pilu Silvanus Sair dari Puncak Weong Kecamatan Elar Matim

Avatar photo

Borong, Delegasi.com – Wajah Silvanus Sair(75) berubah seketika.  Kesedihan nampak  menyelimuti dirinya, ketika menyebut nama anaknya Wens Badik(41), yang terpasung hampir dua tahun di belakang dapur rumah mereka akibat gangguan jiwa.

Dirilis kompas.com, hampir enam tahun Wensislaus  Badik mengalami Orang Dengan Gangguan Jiwa(ODGM)

“Pak, saya tidak punya apa-apa. Saya tidak sanggup lagi merawat dan memandikan anak saya yang dipasung di belakang dapur.”

Begitulah letupan dan rintihan hati nurani dari Silvanus ayah dari orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), Wensesius Badik (41), yang dipasung di belakang dapur sejak 2012.

Mereka tinggal di Kampung Puncak Weong, Desa Rana Gapang, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Badik mengalami gangguan jiwa sejak 2002. Kejadian yang paling gawat yaitu pada Minggu (17/10/2012), saat dia mengamuk, mengganggu, dan melempar rumah orang di kampung itu.

Akhirnya keluarga dan warga setempat memutuskan untuk memasungnya di belakang dapur. Sudah enam tahun Badik dipasung, sedangkan gangguan jiwa yang dialaminya sudah 16 tahun.

Dua kakinya dipasung dengan balok berukuran 13 sentimeter dan dipasang baut besar. Kondisinya sangat sengsara, memprihatinkan, dan menyedihkan. Apalagi dipasung dengan beralaskan pelupuh, terbuka, serta beratapkan seng seadanya.

Bahkan, pakaiannya tidak pernah diganti. Saat itu dia memakai kaus berkerah, celana oblong, dan kain sarong titoron untuk menutupi badannya saat tidur.

Selain itu, sudah setahun dia tidak mandi lagi. Sebab, saat dimandikan, Badik selalu mengamuk. Bahkan, sering bicara tak jelas. Selain itu, buang air besar juga di tempat itu.

“Saya sudah tidak sanggup lagi menahan penderitaan yang dialami anak sulung saya. Saya berharap ada pihak-pihak yang memiliki hati nurani serta peduli untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Saya juga berharap ada perhatian dari pemerintah setempat untuk meringankan penderitaannya,” tutur Sair kepada Kompas.com di rumahnya, Rabu (31/1/2018).

Sair menjelaskan, hidup keluarganya sangat sengsara dan susah sehingga tidak sanggup untuk merawat Badik. Dia dan istrinya sudah berusaha dan berjuang keras untuk merawat Badik, hingga istrinya pun jatuh sakit.

Mereka tinggal bertiga saja. Dua anak perempuannya sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Mereka pun sudah berusia lanjut.

“Jujur, kami tidak berdaya lagi. Tolong, Pak. Kami tidak punya apa-apa,” berkali-kali kalimat ini disampaikannya.

Sair menuturkan, dia dan istrinya di rumah ikut mengalami penderitaan ketika melihat dan melayani Badik ketika dia minta makan, minum, dan rokok. Mereka merasa sudah tua sehingga tidak mampu menolongnya lagi.

“Anak kami hanya memberikan kode apabila dia minta mandi beberapa tahun sebelumnya. Kini sudah setahun dia tidak mandi. Memang, untuk makan dan minum selalu kami layani. Sekali-kali dia minta rokok. Dia hanya tamatan sekolah dasar,” ucapnya.

Sair menjelaskan, pendoa pernah datang ke rumahnya untuk memberikan pertolongan, tetapi tidak ada hasilnya. Bahkan, keluarga sudah berobat ke orang pintar atau dukun di sekitar kampung maupun di luar kampung. Namun, anaknya tak kunjung sembuh. Petugas kesehatan pun pernah datang, tetapi mereka takut untuk berobat.

Kisah awal anak sulungnya mengalami gangguan kejiwaan, lanjut Sair, saat pernah ada masalah dalam keluarga. Masalah ini merupakan masalah keluarga, sehingga tidak bisa disampaikan ke publik.

Setelah masalah ini, Badik merantau ke Dampek, Kecamatan Sambirampas, Manggarai Timur. Setelah kembali dari Dampek, dia langsung sakit gangguan jiwanya. Mulai saat itu Badik selalu mengamuk dan mengganggu orang lain.

“Saya dan istri sudah tua serta tidak sanggup lagi. Kami memohon pertolongan dari siapa saja yang meringankan penderitaan anak kami ini, termasuk membebaskannya dari pasungan yang penuh penderitaan. Hidup kami sudah sangat menderita dengan keadaan dalam keluarga, ditambah lagi penderitaan anak kami yang dipasung,” begitu dia memohon.

Cerita lepas dari warga Kampung Puncak Weong

Sore itu, Rabu (31/1/2018), Kompas.com berjalan kaki dari Kampung Ngancar, kaki puncak, bersama dengan Benediktus Adeni, Levi Betaya, Peli, dan Tinus, warga Elar dan Kota Borong.

Kami berjalan kaki dengan jarak empat kilometer menuju ke Kampung Puncak Weong. Hujan gerimis menemani kami dalam perjalanan. Jalan tanah menuju ke kampung itu penuh lumpur dan berlubang-lubang karena hujan. Bahkan, kiri dan kanan jalan ada longsoran yang belum dibersihkan.

“Kami berjalan kaki selama dua jam dan tiba di kampung itu pukul 17.50 Wita. Medan berat tidak menyulutkan niat kami untuk bertemu dengan warga di kampung itu serta informasi seorang yang dipasung. Kami tiba di rumah Bernabas. Selanjutnya kami cerita lepas dan warga di kampung itu menginformasi bahwa ada orang dengan gangguan jiwa yang dipasung. Seketika juga kami beranjak menuju ke rumah saudara yang mengalami gangguan kejiwaan. Kami dengan warga setempat mengunjunginya dan melihat keadaan,” jelas Benediktus Adeni dan Levi Betaya kepada Kompas.com, Rabu (31/1/2018) malam.

Donatus Jalu, warga Kampung Puncak Weong, juga menuturkan, saudaranya yang dipasung itu sudah lama mengalami gangguan jiwa. Dia juga merasa sedih melihat keadaan Badik yang sangat memprihatinkan.

“Kami selalu berharap ada orang yang peduli dengan saudara kami ini agar dia sembuh. Kami bersyukur bahwa kampung kami dikunjungi seorang wartawan.

Sejak Republik Indonesia merdeka, belum ada wartawan yang mengunjungi kampung ini yang berada di puncak Gunung Weong. Kami berterima kasih atas kunjungan dari wartawan pada 2018 ini. Mudah-mudahan harapan warga di kampung ini untuk pembangunan infrastruktur jalan dapat diperhatikan secepatnya,” harapnya.

Sementara itu, Kepala Tata Usaha Yohanes Purnama bersama Kepala Unit Pengelola Penyakit Tidak Menular Puskesmas Elar, Martha Yani Bebis, kepada Kompas.com, Kamis (1/2/2018), menjelaskan, petugas Puskesmas Elar sudah mendata orang dengan gangguan jiwa, baik yang dipasung maupun tidak.

Hasil pendataannya, jumlah ODGJ di wilayah kerja Puskesmas Elar ada delapan orang. Tiga orang di antaranya dipasung di rumah warga.

“Saat ini belum ada obat untuk menyembuhkan orang dengan gangguan jiwa. Namun, kami sudah memperoleh informasi bahwa di Kabupaten Manggarai, NTT, sudah ada panti yang menangani orang dengan gangguan jiwa dan ada obatnya. Selama ini orang dengan gangguan jiwa dipasung keluarga dan warga akibat diduga melakukan tindakan kekerasan dengan mengganggu orang lain dan melempar rumah warga. Hasil pendataan orang dengan gangguan jiwa di wilayah Puskesmas Elar sudah dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Timur,” jelasnya.

Secara terpisah, Kepala Puskesmas Elar, Agustinus Jarut, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (1/2/2018), menjelaskan, dia pernah mengunjungi orang dengan gangguan jiwa yang dipasung di Kampung Wae Lokom, Desa Wae Lokom. Dengan adanya informasi terbaru ini, dia akan melakukan kunjungan lagi.

“Saat ini saya sedang mengikuti pelatihan dan pendidikan di Panti Renceng Mose Ruteng untuk mengetahui dan memahami saat menangani orang dengan gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas Elar. Petugas siap diberikan pelatihan dalam menangani orang dengan gangguan jiwa di wilayah Puskesmas Elar. Saya berterima kasih banyak atas informasi dari wartawan yang sudah pulang mengunjung orang dengan gangguan jiwa di Kampung Puncak Weong, Desa Rana Gapang, Kecamatan Elar,” ujar Agustinus.//delegasi(kompas.com)

Komentar ANDA?