Semalam di Wae Rebo, Desa di Atas Awan…

  • Bagikan
Destinasi
Upacara peringatan HUT ke-72 Kemerdekaan Indonesia di perkampungan adat tradisional Wae Rebo di dataran tinggi Manggarai, NTT, Kamis (17/8/2017).(KOMPAS.com / SANDRO GATRA)

Ruteng, Delegasi.com – Menyepi dan intim dengan alam. Hal itulah yang penulis rasakan saat mengunjungi Desa Wae Rebo di Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu.

Dirisi kompas trevel.com, Wae Rebo merupakan kampung adat tradisional yang sudah terkenal hingga mancanegara. Untuk melihat eksotisme Desa Wae Rebo tidaklah mudah. Butuh perjuangan lantaran lokasinya di lembah pegunungan Manggarai. Wae Rebo berada pada ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut sehingga dijuluki desa di atas awan. Saya berkesempatan bermalam di Wae Rebo bersama rombongan Jelajah Sepeda Flores yang digelar Kompas.

Menuju Wae Rebo, rombongan memulai start etape V dari Ruteng pada 16 Agustus 2017. Ruteng adalah wilayah terdekat dari Wae Rebo yang memiliki bandara. Apabila tidak ada penerbangan menuju Ruteng, bisa juga menggunakan mobil dari Labuan Bajo.

Dari Ruteng, kami gowes hingga tengah hari. Setelah makan siang, perjalanan dilanjutkan naik truk kayu yang sudah dimodifikasi.

Papan-papan kayu dipasang di dalam truk yang dijadikan tempat duduk. Truk semacam ini biasa dipakai untuk transportasi masyarakat setempat.

Desa Wae Rebo berada di barat daya kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Desa Wae Rebo berada di barat daya kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.(BARRY KUSUMA)
Kami tiba sekitar pukul 15.00 Wit di Desa Denge, tempat terakhir yang bisa dilewati kendaraan. Truk tidak dapat melewati jalan yang rusak parah. Di sana, puluhan tukang ojek yang merupakan warga sekitar sudah menunggu kami. Tukang ojek akan mengantarkan tamu ke Pos I Wae Lomba sejauh sekitar 4 KM dengan jalur menanjak. Biaya ojek Rp 25.000. Pos I merupakan titik terakhir motor bisa melintas. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 7 KM.
Di sinilah perjuangan selanjutnya dimulai. Pada awal, jalur akan terus mendaki. Tentu hal itu akan memberatkan bagi wisatawan yang tak terbiasa mendaki. Selama perjalanan harus hati-hati. Jalanan yang dilewati masih berupa tanah dan bebatuan. Apalagi, di kanan atau kiri jalur adalah jurang. Tak ada pembatas. Perlu ekstra hati-hati ketika hujan karena jalan akan licin.

Kampung Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Kampung Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.(KOMPAS/YUNIADHI AGUNG)
Tak sedikit wisatawan yang berkali-kali berhenti untuk istirahat. Sebagian kepayahan. Semakin menanjak, kabut semakin tebal. Suara burung dan jangkrik terdengar di antara pepohonan. Udara sangat bersih. Menghirup udara dalam-dalam membuat lega pernafasan. Segar. Setelah tiga per empat perjalanan, jalur kemudian mendatar, lalu menurun hingga Wae Rebo. Mendekati kampung, hamparan perkebunan kopi terlihat. Ada beberapa bangunan yang dipakai petani kopi untuk singgah.Saya butuh waktu hampir dua jam berjalan kaki hingga Wae Rebo. Tiap orang butuh waktu yang berbeda-beda untuk sampai ke desa ini. Ada yang hanya butuh sekitar satu jam, ada pula yang di atas tiga jam. Sebelum memasuki perkampungan, tamu harus singgah di pos terakhir. Di sana, perwakilan rombongan diminta membunyikan kentongan sebagai tanda tamu tiba. Dari pos tersebut terlihat jelas tujuh rumah adat berbentuk kerucut. Sebelum beraktivitas di kampung, perwakilan pengunjung harus mengikuti upacara Waelu’u terlebih dulu.

Upacara sekitar lima menit tersebut digelar di rumah utama yang dinamakan Niang Gendang. Rumah adat yang paling besar itu merupakan tempat tinggal ketua adat. Maksud upacara itu untuk memohon ijin dan penghormatan kepada para leluhur Wae Rebo. Rupanya, tidak hanya kami rombongan Jelajah Sepeda Flores yang ingin menginap di Wae Rebo saat itu. Ada pula ratusan orang lain dari berbagai kelompok.

Adapula turis asing. Sebagian dari mereka ingin merayakan HUT ke-72 RI di Wae Rebo.

Dari tujuh rumah adat, hanya dua rumah yang disediakan untuk menginap para tamu. Satu rumah adat mampu menampung 30-an orang. Lantaran saat itu banyak tamu, sebagian besar dari mereka menginap di rumah-rumah warga di sekitar rumah adat. Para tokoh adat tak mengira jumlah tamu yang datang sebanyak itu. Pasalnya, komunikasi terputus lantaran tak ada sinyal telepon.

Tidur melingkar

Beruntung saya bisa ‘nyempil’ menginap di salah satu rumah adat yang dinamakan Niang Gena Maro.

Warga Desa Adat Wae Rebo di Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Untuk mencapai desa itu tidak mudah, wisatawan harus mendaki sejauh 7 km selama kurang lebih 4 jam.
Warga Desa Adat Wae Rebo di Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Untuk mencapai desa itu tidak mudah, wisatawan harus mendaki sejauh 7 km selama kurang lebih 4 jam.(ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)
Dari dalam rumah terlihat konstruksi kayu dan bambu hingga membentuk kerucut. Rumah itu beratap ilalang yang dianyam, ditambah ijuk untuk menutup sela-selanya.Di dalam rumah sudah tersedia tikar yang terbuat dari anyaman. Tikar untuk tempat tidur itu disusun melingkar. Nah, bagian tengah rumah dijadikan tempat makan. Alas duduknya tikar anyaman. Tempat makan tersebut tidak boleh dipakai untuk tidur.
Suhu di dalam rumah jauh lebih hangat dibanding suhu di luar yang sangat dingin saat malam. Jika masih terasa dingin, di setiap tempat tidur sudah disediakan selimut. Untuk kamar mandi, jangan khawatir. Di sekitar rumah adat sudah ada bilik-bilik kamar mandi. Lantainya sudah terpasang ubin. Jika ingin buang air besar, tamu tinggal pilih, ada closet jongkok atau duduk. Ada pula aliran listrik meski terbatas. Pada pukul 22.00 Wit, lampu akan dimatikan.

Suasana makan malam di dalam rumah adat di kampung tradisional Wae Rebo, pegunungan Manggarai, NTT.
Suasana makan malam di dalam rumah adat di kampung tradisional Wae Rebo, pegunungan Manggarai, NTT.(Lucky Pransiska/KOMPAS)
Sebelum makan malam, tamu disuguhi kopi dan teh hangat. Tak lama kemudian, makan malam bersama. Nasi, ayam, sayur dan pisang disuguhkan. Meski menunya relatif sederhana, rasanya nikmat makan bersama para tamu lain. Para mama pun ramah melayani tamu. Sayangnya, setelah santap malam, saya tak sanggup lagi beraktivitas menjelajah Wae Rebo. Rasanya lelah setelah bersepeda dan mendaki menuju Wae Rebo. Pada subuh keesokan hari, warga dan para tamu sudah sibuk mempersiapkan upacara HUT ke-72 kemerdekaan RI.Setelah sarapan, ratusan orang kemudian mengikuti upacara pengibaran bendera merah putih yang dipimpin Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Royke Lumowa.

Peninggalan leluhur

Wae Rebo adalah satu-satunya kampung adat di Manggarai yang masih mempertahankan bentuk rumah tradisional Manggarai yang disebut Mbaru (rumah) Niang (tinggi dan bulat). Para leluhur mewariskan tujuh bangunan itu yang kemudian dijaga oleh masyarakat adat secara turun-temurun hingga kini sudah generasi ke-20.

Tujuh bangunan Mbaru Niang konon merupakan cerminan kepercayaan leluhur untuk menghormati tujuh arah puncak gunung di sekeliling Kampung Wae Rebo, yang dipercaya sebagai pelindung kemakmuran kampung.

Rumah utama atau Niang Gendang bangunannya lebih besar dibanding enam rumah lain lantaran diisi hingga delapan keluarga. Di dalam rumah utama terdapat delapan kamar. Sementara enam rumah lain diisi oleh enam keluarga.

Di langit rumah dibuat sekat-sekat sebagai tempat penyimpanan. Ada tempat penyimpanan sesaji untuk para leluhur, penyimpanan cadangan makanan, penyimpanan benih tanaman, dan barang lain. Sebelum meninggalkan Wae Rebo, tamu bisa membeli berbagai hasil kerajinan atau olahan warga.

Ikat tenun, kopi dan madu menjadi produk unggulan yang ditawarkan. Barang-barang itu dijajakan di depan rumah adat. Lantaran harus melanjutkan perjalanan menuju Labuan Bajo, rombongan kami meninggalkan Wae Rebo pukul 8.30 Wit.

Berikut tips bagi Anda yang ingin mengunjungi Wae Rebo:

1. Tak banyak bawa barang

Bawa barang seperlunya yang dimasukkan dalam ransel agar mudah dibawa. Jika tak ingin membawa beban, bisa memakai jasa porter warga sekitar. Biayanya sekitar Rp 250.000 untuk jasa bawa barang ketika naik dan turun. Jasa porter dapat diperoleh di Desa Denge.

2. Jas hujan dan senter

Jas hujan diperlukan untuk mengantisipasi hujan ketika menuju Wae Rebo. Adapun senter perlu untuk beraktivitas di Wae Rebo pada malam hari.

3. Alas kaki yang menggigit

Alas kaki yang dipakai perlu disesuaikan dengan kondisi jalan mendaki.

4. Uang tunai

Anda perlu mempersiapkan uang tunai yang cukup. Pasalnya, tidak ada mesin ATM di desa-desa menuju Wae Rebo. Setiap tamu dibebankan Rp 325.000 untuk biaya menginap dan makan di Wae Rebo. Barangkali Anda ingin menyewa porter atau membeli hasil kerajinan warga.

5. Camilan dan minuman

Camilan dan minuman diperlukan selama mendaki menuju Wae Rebo.

6. Baterai cadangan

Baterai cadangan diperlukan untuk kamera. Pasalnya, listrik di Wae Rebo terbatas. Adapun ponsel tak berguna lantaran tak ada sinyal.

7. Datang lebih awal

Pada momen-momen tertentu, Wae Rebo bisa ramai tamu seperti 17 Agustus. Tamu tidak bisa memesan tempat tidur. Siapa cepat dia dapat. Dunia luar tak bisa mengetahui pula jumlah pengunjung yang datang ke Wae Rebo lantaran tidak adanya sinyal untuk komunikasi. Jadi, lebih cepat sampai kampung Wae Rebo lebih baik.//delegasi(kompas)

Komentar ANDA?

  • Bagikan