Ruteng, Delegasi.com – Menyepi dan intim dengan alam. Hal itulah yang penulis rasakan saat mengunjungi Desa Wae Rebo di Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu.
Dirisi kompas trevel.com, Wae Rebo merupakan kampung adat tradisional yang sudah terkenal hingga mancanegara. Untuk melihat eksotisme Desa Wae Rebo tidaklah mudah. Butuh perjuangan lantaran lokasinya di lembah pegunungan Manggarai. Wae Rebo berada pada ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut sehingga dijuluki desa di atas awan. Saya berkesempatan bermalam di Wae Rebo bersama rombongan Jelajah Sepeda Flores yang digelar Kompas.
Menuju Wae Rebo, rombongan memulai start etape V dari Ruteng pada 16 Agustus 2017. Ruteng adalah wilayah terdekat dari Wae Rebo yang memiliki bandara. Apabila tidak ada penerbangan menuju Ruteng, bisa juga menggunakan mobil dari Labuan Bajo.
Dari Ruteng, kami gowes hingga tengah hari. Setelah makan siang, perjalanan dilanjutkan naik truk kayu yang sudah dimodifikasi.
Papan-papan kayu dipasang di dalam truk yang dijadikan tempat duduk. Truk semacam ini biasa dipakai untuk transportasi masyarakat setempat.
Upacara sekitar lima menit tersebut digelar di rumah utama yang dinamakan Niang Gendang. Rumah adat yang paling besar itu merupakan tempat tinggal ketua adat. Maksud upacara itu untuk memohon ijin dan penghormatan kepada para leluhur Wae Rebo. Rupanya, tidak hanya kami rombongan Jelajah Sepeda Flores yang ingin menginap di Wae Rebo saat itu. Ada pula ratusan orang lain dari berbagai kelompok.
Adapula turis asing. Sebagian dari mereka ingin merayakan HUT ke-72 RI di Wae Rebo.
Dari tujuh rumah adat, hanya dua rumah yang disediakan untuk menginap para tamu. Satu rumah adat mampu menampung 30-an orang. Lantaran saat itu banyak tamu, sebagian besar dari mereka menginap di rumah-rumah warga di sekitar rumah adat. Para tokoh adat tak mengira jumlah tamu yang datang sebanyak itu. Pasalnya, komunikasi terputus lantaran tak ada sinyal telepon.
Tidur melingkar
Beruntung saya bisa ‘nyempil’ menginap di salah satu rumah adat yang dinamakan Niang Gena Maro.
Peninggalan leluhur
Wae Rebo adalah satu-satunya kampung adat di Manggarai yang masih mempertahankan bentuk rumah tradisional Manggarai yang disebut Mbaru (rumah) Niang (tinggi dan bulat). Para leluhur mewariskan tujuh bangunan itu yang kemudian dijaga oleh masyarakat adat secara turun-temurun hingga kini sudah generasi ke-20.
Tujuh bangunan Mbaru Niang konon merupakan cerminan kepercayaan leluhur untuk menghormati tujuh arah puncak gunung di sekeliling Kampung Wae Rebo, yang dipercaya sebagai pelindung kemakmuran kampung.
Rumah utama atau Niang Gendang bangunannya lebih besar dibanding enam rumah lain lantaran diisi hingga delapan keluarga. Di dalam rumah utama terdapat delapan kamar. Sementara enam rumah lain diisi oleh enam keluarga.
Di langit rumah dibuat sekat-sekat sebagai tempat penyimpanan. Ada tempat penyimpanan sesaji untuk para leluhur, penyimpanan cadangan makanan, penyimpanan benih tanaman, dan barang lain. Sebelum meninggalkan Wae Rebo, tamu bisa membeli berbagai hasil kerajinan atau olahan warga.
Ikat tenun, kopi dan madu menjadi produk unggulan yang ditawarkan. Barang-barang itu dijajakan di depan rumah adat. Lantaran harus melanjutkan perjalanan menuju Labuan Bajo, rombongan kami meninggalkan Wae Rebo pukul 8.30 Wit.
Berikut tips bagi Anda yang ingin mengunjungi Wae Rebo:
1. Tak banyak bawa barang
Bawa barang seperlunya yang dimasukkan dalam ransel agar mudah dibawa. Jika tak ingin membawa beban, bisa memakai jasa porter warga sekitar. Biayanya sekitar Rp 250.000 untuk jasa bawa barang ketika naik dan turun. Jasa porter dapat diperoleh di Desa Denge.
2. Jas hujan dan senter
Jas hujan diperlukan untuk mengantisipasi hujan ketika menuju Wae Rebo. Adapun senter perlu untuk beraktivitas di Wae Rebo pada malam hari.
3. Alas kaki yang menggigit
Alas kaki yang dipakai perlu disesuaikan dengan kondisi jalan mendaki.
4. Uang tunai
Anda perlu mempersiapkan uang tunai yang cukup. Pasalnya, tidak ada mesin ATM di desa-desa menuju Wae Rebo. Setiap tamu dibebankan Rp 325.000 untuk biaya menginap dan makan di Wae Rebo. Barangkali Anda ingin menyewa porter atau membeli hasil kerajinan warga.
5. Camilan dan minuman
Camilan dan minuman diperlukan selama mendaki menuju Wae Rebo.
6. Baterai cadangan
Baterai cadangan diperlukan untuk kamera. Pasalnya, listrik di Wae Rebo terbatas. Adapun ponsel tak berguna lantaran tak ada sinyal.
7. Datang lebih awal
Pada momen-momen tertentu, Wae Rebo bisa ramai tamu seperti 17 Agustus. Tamu tidak bisa memesan tempat tidur. Siapa cepat dia dapat. Dunia luar tak bisa mengetahui pula jumlah pengunjung yang datang ke Wae Rebo lantaran tidak adanya sinyal untuk komunikasi. Jadi, lebih cepat sampai kampung Wae Rebo lebih baik.//delegasi(kompas)