Canberra, Delegasi.com – Skandal pelecehan seksual terburuk di lingkungan Gereja Katolik barangkali telah usai di Australia.
Namun, krisis tersebut kemungkinan akan menimpa gereja-gereja di Asia, Afrika, dan sebagian Eropa dalam satu dekade mendatang.
Demikian terungkap dalam laporan bertajuk Child Sexual Abuse in the Catholic Church yang dibuat universitas RMIT Australia, seperti dilaporkan ABC News, Rabu (13/9/2017).
Ini merupakan laporan pertama yang merangkum temuan dari 26 komisi khusus, penyelidikan polisi, pemeriksaan peradilan, penyelidikan pemerintah, penelitian gereja, dan penelitian akademis dari seluruh dunia sejak tahun 1985.
Laporan ini memperingatkan potensi terburuk pelecehan anak-anak dan remaja yang hidup dalam 9.600 panti asuhan yang dikelola gereja, termasuk 2.600 panti di India dan 1.600 panti di Italia.
“Pelecehan seksual terhadap anak-anak telah mencapai puncaknya dan telah mengalami penurunan sejak akhir 70-an dan awal 80-an. Dan hal itu disebabkan karena diungkap ke arena publik,” kata Profesor Des Cahill, salah satu penulis laporan itu.
“Tapi saya pikir di negara-negara berkembang dan di beberapa negara Eropa, belum ada peristiwa yang akan mengangkat isu ini ke ruang publik. Saya terutama berpikir tentang negara di Asia dan Afrika,” katanya.
“Mungkin bisa muncul sendiri, setelah semua ini terbongkar, dan kembali ke masa 30, 40 tahun… jika persoalan mendasarnya tidak ditangani,” paparnya.
“Saya belum melihat isyarat apapun di tingkat Vatikan, bahkan di sini di Australia, bagi para uskup untuk menjawab mengapa hal ini terjadi dan mengapa mereka – para uskup – bereaksi dengan sangat buruk,” jelasnya.
Dengan memeriksa laporan dari Australia, Irlandia, Amerika Serikat, Inggris, Kanada dan Belanda, Profesor Cahill dan rekannya teolog Peter Wilkinson, menemukan, satu dari 15 pastor, atau sekitar 7 persen, diduga melecehkan anak-anak dan remaja antara 1950 dan 2000.
Mereka mengatakan bahkan saat ini anak-anak “berisiko berada di institusi pendidikan dan kesejahteraan ketika mereka bisa diakses oleh selibat yang belum matang dan atau lemah secara seksual, termasuk pastor dan figur keagamaan”.
Namun, Profesor Cahill, yang menjadi penasihat komisi khusus “Royal Commission into Institutional Child Sexual Abuse”, yakin bahwa risiko pada anak-anak di sekolah Katolik Australia sekarang sangat rendah.
Hal itu terutama karena adanya kewaspadaan lebih besar para orangtua, guru dan pejabat sekolah.
Dia mengatakan sebagian besar kepala sekolah Katolik adalah pria dan wanita yang menikah, dan sangat sadar akan risiko pada anak-anak.
Keputusan Gereja Katolik di Australia, AS, Inggris, Selandia Baru, dan Kanada untuk menghapuskan panti asuhan besar dan memindahkan anak-anak panti ke pengasuhan keluarga juga telah mengurangi risiko pelecehan secara substansial.
Namun secara kontroversial, laporan tersebut memperingatkan bahwa kepercayaan Australia terhadap pastor yang dilatih di luar negeri – sampai 40 persen di sejumlah keuskupan – dapat berisiko, karena para uskup asal luar negeri dapat menghilangkan pastor yang melakukan pelecehan ke posisi di luar negeri.
“Apakah fenomena pelecehan seksual anak oleh pastor dan figur keagamaan cenderung muncul kembali dan meningkat dalam jangka pendek atau panjang?” tanya laporan itu.
“Jawabannya tidak jelas. Hal ini mungkin terjadi, walaupun ada pemeriksaan paling ketat bahwa pastor atau fogur keagamaan mungkin saja dikirim kembali ke Australia. Di AS, tidak sedikit pastor luar negeri, terutama dari Filipina dan India, yang telah didakwa dan dihukum.”
Kurangnya calon pastor untuk imamat di banyak negara Barat di masa lalu, juga menyebabkan para uskup menahbiskan orang meskipun ada peringatan dari kepala sekolah seminari dan pelatihan bahwa mereka tidak memenuhi syarat.
Itu termasuk “psikoseksual yang belum matang, salah berkembang secara psikoseksual dan lemah secara seksual serta pastor pria yang sangat frustasi, terutama mereka yang tidak menyelesaikan masalah identitas seksual mereka sendiri”.
Profesor Cahill dan Dr Wilkinson tidak menyalahkan krisis pelecehan sepenuhnya pada selibat. Namun laporan mereka mencatat tingkat penyalahgunaan yang rendah di Gereja Katolik ritus timur – terutama Gereja Maronit, Ukraina, Melkite dan Chaldean – di mana pria menikah diizinkan untuk ditahbiskan menjadi pastor dalam sebagian ritus timur itu.
Profesor Cahill sendiri adalah mantan pastor Katolik yang mengundurkan diri untuk menikah dan memulai karir akademis yang kini sudah 40 tahun.
Dia menolak klaim yang sering dibuat oleh kalangan konservatif gereja, bahwa reformasi liberal Konsili Vatikan II di awal 1960-an telah melonggarkan moral para pastor.
“Sebagian besar pelecehan terjadi sebelum Konsili Vatikan II, selama tahun 1950-an dan memasuki tahun 60-an,” katanya.
“Dan mayoritas pastor yang melakukannya telah ditahbiskan sebelum Konsili Vatikan II atau sedang maju dalam pelajaran mereka. Saya pikir kita perlu curiga dengan penjelasan tersebut,” tambahnya//delegasi(kompas)