Hukrim  

Soal pantai Pede, AMANG NTT di Jakarta lakukan Demo ke Istana Presiden

Avatar photo
unjuk
Aliansi Mahasiswa Manggarai (AMANG)-Jakarta, kumpulan mahasiswa asal Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) dari berbagai kampus menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta pada Rabu, (29/3/2017). Unjuk rasa ini terkait polemik pengelolaan Pantai Pede di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), ujung barat Pulau Flores.

Jakarta, Delegasi.com – Aliansi Mahasiswa Manggarai (AMANG)-Jakarta, kumpulan mahasiswa asal Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) dari berbagai kampus menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta pada Rabu, (29/3/2017).

Unjuk rasa ini  terkait polemik pengelolaan Pantai Pede di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), ujung barat Pulau Flores.

Dalam aksinya, mereka mendatangi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kantor DPP PDI Perjuangan dan Istana Kepresidenan. Mereka menuntut Mendagri Tjahjo Kumolo, DPP PDI Perjuangan dan Presiden Joko Widodo menghargai perjuangan masyarakat Mabar agar Pantai Pede tetap menjadi ruang publik, bukan dibangun hotel seperti yang sedang berlangsung saat ini.

Lahan seluas 31.670 m2 di pantai itu, merupakan satu-satunya wilayah pantai yang masih bisa diakses bebas publik di pesisir kota Labuan Bajo setelah wilayah lainnya sudah diprivatisasi, mulai dibangun hotel oleh PT Sarana Investama Manggabar (SIM), perusahan milik Setya Novanto, Ketua Partai Golkar yang kini namanya disebut-sebut terlibat dalam kasus korupsi dana proyek KTP elektronik.

Pembangunan hotel PT SIM berdasarkan kontrak kerja sama dengan Pemerintah Provinsi NTT pada 2014. Dalam kontrak kerjasama itu disebutkan perusahan milik Setya Novanto  itu akan mengusai Pantai Pede selama 25 tahun. Namun pembangunan hotel itu sejak awal ditentang oleh masyakat sipil, termasuk lembaga agama, seperti Gereja Katolik lewat berbagai bentuk aksi unjuk rasa.

Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng Pr, pimpinan tertingi Gereja Katolik di Manggarai bahkan sudah menyurati Presiden Joko Widodo pada akhir Mei 2016, meminta agar Presiden turun tangan menyelesaikan masalah ini. Namun, bukannya mendengarkan suara rakyat, pemerintah dan investor terus bersekutu dan menganggap angin lalu suara-suara protes. Mirisnya, langkah Pemerintah Provinsi menyerahkan Pantai Pede kepada PT SIM sesungguhnya tindakan ilegal. Mengapa? Pantai Pede seharusnya merupakan aset milik Pemerintah Kabupaten Mabar dan pemanfaatannya merupakan wewenang Pemkab Mabar.

Hal itu merujuk pada Undang-Undang No 8 Tahun 2003 terkait pembentukan Kabupaten Mabar, khusunya Pasal 13 yang mewajibkan semua aset milik kabupaten induk, Manggarai serta Provinsi NTT yang ada di wilayah Mabar diserahkan ke Mabar sejak terbentuknya kabupaten itu. Namun, dengan sengaja Pemprov NTT membangkang.

Sejak tahun 2004 hingga tahun 2014, Pemkab Mabar telah beberapa kali meminta aset tanah tersebut untuk segera diserahkan, namun pihak Provinsi NTT di bawah kepemimpinan Frans Lebu Raya terus-menerus menolak permintaan itu. Sementara itu, pasca aksi unjuk rasa sejumlah elemen di Jakarta pada 14 Juni 2016, Kemendagri telah mengambil sikap terhadap kasus ini melalui surat keputusan (SK) bernomor 170/3460/SJ pada 13 September 2016 lalu. Dalam SK itu, Mendagri memerintahkan Frans Lebu Raya menaati perintah UU No 8 Tahun 2003 itu dan meninjau lagi kontrak dengan PT SIM. Namun, lagi-lagi, pasca penerbitan SK itu tidak ada tanda-tanda Lebu Raya menaatinya. Malahan, di lapangan, PT SIM mulai beraktivitas. Bupati Mabar, Agustinus Ch Dula yang sebelumnya sempat menyatakan mendukung perjuangan masyarakat, malah kemudian bertekuk lutut di hadapan Lebu Raya. Tanpa malu, bupati itu yang ikut didukung PDI Perjuangan saat maju pada periode kedua berubah sikap, lalu kemudian menerbit izin lingkungan bagi pembanguan hotel PT SIM.

“Kami sungguh kecewa, tidak saja kepada Lebu Raya yang membangkang dan juga Bupati Dula yang plin-lan, namun juga kepada Kemendagri yang bersikap pasif dengan tidak mengawal SK yang sudah diterbitkan,” kata Ovan Wangkut, kordinator lapangan aksi. “Kami pun menduga, penerbitan SK hanyalah kedok untuk mendiamkan aksi protes masyarakat dan kemudian melanggengkan kepentingan Lebu Raya. Buktinya, tidak ada perubahan apapun pada diri Lebu Raya pasca munculnya surat itu,” lanjutnya. Untuk itu, kata dia, mereka menuntut Kemendagri untuk menjelaskan kekuatan surat tersebut serta mengambil sikap yang jelas terhadap persoalan ini. “Pembangunan di Pantai Pede sudah dimulai, karena itu sangat perlu bagi Mendagri untuk turun dan melihat serta mengurai kemelut komunikasi antara pemerintah, PT SIM dan masyarakat sendiri dalam batasan waktu yang sesegera mungkin,” kata Ovan.

“Bila tidak ada sikap yang serius, kami sulit mencari alasan untuk tidak mengatakan bahwa Kemendagri telah berkongkalikong dengan Lebu Raya. Hal itu dilakukan lewat penerbitan SK, yang lebih tepat disebut surat hoax bagi masyarakat NTT,” tegasnya. Ario Jempau, kordinator AMANG mengatakan, selain kepada Mendagri, mereka juga menuntut DPP PDIP untuk memecat Frans Lebu Raya dari partai berideologi wong cilik itu.

“Lebu Raya sudah selama dua dekade menjadi pemimpin nomor satu di NTT, namun kepemimpinannya tidak membawa dampak yang signifikan. Bahkan, dalam polemik Pantai Pede, Lebu Raya tidak menggubris tuntutan masyarakat dan surat Mendagri. Kami mengecam keras Lebu Raya yang lebih memilih menjadi cukong kapitalis, tengas Ario.

Pilihan amang untuk mendatangi istana kepresidenan bertujuan meminta presiden Jokowi meindak mendagri Tjahjo Kumolo, yang tidak konsisten dan setengah-setengah hati mengurus pantai pede, demikian menurut Ario.

“ Presiden harus secara langsung mengawal sikap Mendagri agar tetap konsisten di jalur keputusan yang sudah dikeluarkan, sekalipun itu harus mungkin membuat presiden kembali bertanya  dilimpahkan ke saya kembali. “Masa kami harus mengadu ke pemimpin Negara lain”.

Pastor pater C. Aman OFM, Direktur Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Ordo Fransiskan yang ikut mendukung aksi ini  mengingatkan bahwa dalam kasus Pantai Pede modal telah berkuasa diatas kekuasaan politik  dan kedaulatan rakyat yang pada prinsipnya menjadi roh utama demokrasi.

“Kasus pantai Pede adalah perjuangan merebut kembali kedaulatan rakyat yang dikianati penguasa politik dan diambil para pemodal culas. Dalam konteks ini wajar kalau gubernur dan bupati diam. Mereka adalah agen pemodal. Ini penistaan demokrasi politik dan ekonomi,” lanjutnya pater C. Aman OFM.

AMANG menegaskan sikap pemerintah yang memaksakan pembangunan hotel di Pantai Pede hanya merupakan salah satu dari rangkaian persoalan di Mabar, ditengah upaya pemerintah membangun daerah yang terkenal dengan binatang Komodo dan keindahan alam kota pariwisata.

Pilihan untuk selalu berpihak para pemodal telah membuat masyarakat setempat kian terpinggirkan. Pemerintah mesti segera langkah serius untuk mengkaji berbagai program dan kebijakan yang telah diambil selama ini,” kata Ovan.//delegasi (hermen/ger/*)

Top of Form

Bottom of Form

Top of Form

Bottom of Form

 

Komentar ANDA?