Jakarta, Delegasi.com – Pada kasus korupsi KTP elektronik, untuk pertama kali dalam karier politiknya, ketua umum Partai Golkar dan ketua DPR Setya Novanto ditetapkan menjadi tersangka. demikian dirilis tribunnews.com,
Sebelumnya nama Setya disebut-sebut diduga terkait sejumlah perkara, namun tak satu pun yang berujung di pengadilan.
Ini membuat beberapa kalangan menggambarkan Setya ‘lihai membebaskan diri dari kasus hukum’.
“Setya Novanto ini, saya yakin, (penegak hukum) tidak akan berani. Tidak akan berani. Orang ini Sinterklas, kebal hukum. Tidak akan berani walaupun saya bilang, sudah jelas buktinya.”
Pernyataan itu dikeluarkan mantan anggota DPR dan mantan bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, Januari 2014.
Kalimat “tidak akan berani” tiga kali diucapkannya untuk memprediksi nasib Setya dalam kasus e-KTP.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Setya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi e-KTP, namun Setya membawa langkah KPK itu ke praperadikan dan ia menang. Status tersangka pun gugur. Setidaknya untuk saat ini.
Nazaruddin divonis bersalah dalam kasus korupsi anggaran Wisma Atlet. Dari penjara, Nazarrudin memaparkan praktik korupsi serupa yang diduga dilakukan banyak politikus.
Sebelum Nazaruddin melempar spekulasi soal dugaan keterlibataan Setya dalam kasus e-KTP, rekam jejak Setya dalam perkara dugaan korupsi dicatat Harold Crouch dalam buku berjudul Political Reform in Indonesia After Soeharto (2010).
Harold Crouch merupakan guru besar di Departemen Politik dan Perubahan Sosial Australian National University yang meneliti Indonesia selama puluhan tahun.
“Meskipun muncul dugaan keterlibatan pengurus Golkar dalam kasus Bank Bali, hanya tiga orang, tak satu pun dari mereka berstatus anggota Golkar, yang diseret ke pengadilan,” tulis Crouch.
“Direktur Utama PT Era Giat Prima keturunan Tionghoa, Djoko Tjandra, dihadapkan ke pengadilan, tapi presiden direktur perusahaan itu, yang juga pengurus Golkar, Setya Novanto, lepas dari perkara hukum.”
Kasus pengalihan hak piutang (cessie) Bank Bali merupakan dugaan perkara hukum pertama yang menyeret nama Setya. Saat kasus bergulir, ia menjabat sebagai wakil bendahara umum Golkar.
Masuknya Setya ke lingkaran elite Golkar dibawa oleh Akbar Tanjung.
Melalui buku autobiografinya, The Golkar Way (2007), Akbar Tanjung yang terpilih memimpin partai beringin periode 1999-2004, mengaku memasukkan Setya ke kepengurusan untuk mewakili unsur pengusaha.
Seluruh pengurus yang ditunjuk Akbar saat itu kini sudah tidak aktif di kegiatan harian Golkar, kecuali Setya. Enggartiasto Lukito yang berstatus anggota partai dari unsur pengusaha saat ini menjabat Menteri Perdagangan.
Sejak kasus Bank Bali, Setya dihubungkan dengan sejumlah perkara hukum lain, yaitu dugaan penyelundupan beras impor dari Vietnam, dugaan korupsi anggaran Pekan Olahraga Nasional 2012, dan kasus dugaan suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.
Sebelum perkara e-KTP, Setya juga diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo untuk meminta sejumlah saham dari PT Freeport Indonesia.
‘Menularkan penyakit’
Dugaan keterlibatan Setya dalam perkara e-KTP setidaknya diiringi pemecatannya terhadap dua pengurus Golkar, yakni Ahmad Dolly Kurnia dan Yorrys Raweyai. Keduanya menuntut partai berlambang beringin ini berembuk memilih ketua umum baru untuk menggantikan Setya yang citranya dianggap semakin negatif.
Kepada BBC Indonesia, Dolly menyebut pemecatan itu memperlihatkan kekhawatiran Setya kehilangan posisi sentral di Golkar. Ia menilai Setya menjadikan Golkar sebagai tameng dari kasus hukum.
“Yang dia pentingkan urusan pribadi, bagaimana selamat dan menggunakan partai ini untuk melindunginya,” ujar Dolly.
Meskipun Setya merupakan kader asli yang meniti karier politik di Golkar dari level terendah, Dolly menyebut Ketua DPR itu kini “justru merusak masa depan partai”.
“Elektabilitas Golkar menurun dan sebesar 49% penyebabnya adalah keterlibatan Setya di kasus e-KTP. Ini menunjukkan Golkar betul-betul sakit, separah penyakit yang dialaminya,” kata Dolly.
Sebelum praperadilan yang bergulir membebaskannya dari status tersangka, Setya mengaku mengidap sejumlah penyakit berat dan menjalani rawat inap di rumah sakit.
Atas alasan itu, Setya tidak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan penyidik KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka.
Awal pekan ini Setya keluar dari ruang perawatan, namun urung berbicara kepada pers. Sekjen Golkar Idrus Marham yang biasanya menjadi juru bicara Setya juga irit bicara.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, menyebut jabatan ketua umum partai politik masih dianggap sebagai jalur khusus mendekatkan diri ke penguasa.
Pemegang jabatan itu, kata Siti, memiliki beragam keuntungan yang tak didapatkan politikus biasa.
“Ketua umum partai politik di Indonesia masih ditempatkan sebagai satu-satunya patron yang menentukan. Dia memiliki akses luas ke berbagai kekuatan dan kekuasaan yang ada,” ujar Siti.
Hal itu, menurut Siti, tidak terjadi di sejumlah negara yang telah matang berpolitik. Di negara tersebut, ketua partai berperan sebagai pengelola, bukan penguasa.
“Di Indonesia, ketua umum bukanlah manajer partai seperti di Amerika Serikat atau Australia. Dia sangat menentukan hidup-mati partai dan menjadi acuan. Ini praktik yang tidak standar,” kata Siti.
Seperti saat kasus saham Freeport yang melibatkan Setya, Golkar kembali bergejolak. Organisasi internal mereka, Generasi Muda Partai Golkar, mendesak pencopotan Setya.
Namun petinggi partai yang duduk di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) tak sependapat.
Rapat pleno partai akan digelar dalam waktu dekat ini, seperti kata Ketua Harian DPP Golkar Nurdin Halid, bukan untuk memecat Setya, tapi membahas elektabilitas partai secara umum.
“Apa pun hasil praperadilan ditolak atau diterima, tidak ada kaitan dengan DPP. Urusan kami adalah evaluasi terhadap kinerja partai untuk menang,” ujarnya.
Berita ini telah tayang di BBC Indonesia dengan judul: Setya Novanto pernah disebut ‘Sinterklas yang kebal hukum’//delegasi(tribunnews/ger)