“Ayo, rame rame tanam cendana. Kita tanam hari ini, hasilnya untuk anak cucu kita, karena jika anda berinvestasi untuk bidang kehutanan, tanamlah cendana dan kayu tanaman tinggi lainya. So pasti anak dan cucu anda akan menikmati 20 sampai 30 tahun mendatang”
Demikian ‘teriakan’ Kepala Dinas kehutanan NTT, Andre Jehalu untuk member semngat kepada seluruh warga NTT, khusunya di daerah potensi berkembangnya tanaman cendana di flobamora ini
Ditemui di ruang kerjanya beberapa waktu lalu, dengan semangat berapi apai, Jehalu menjelaskan jika tanaman cendana berbeda dengan tanaman musiman lainnya seperti jagung atau palawija lainya.
“kalau kita tanam jangung, hasilnya pasti ketahuan 3 atau 4 bulan kemudian. Dan disini kita prediksi, apakah tanam jagung kita berhasil atau tidak. Begitu dengantanaman palawija jenis lainya. Namun jika kita tanam cendana, artinya kita sedangn berpikir soal investasi masa depan. Yang nikmatnya nanti belum tentu kita. Tapi yang pasti anak cucu kita,” tandasnya
Kini dengan beberapa program yang ditawarkan pemerintah yang menempatkan cendana sebagai salah satu tekat menjadikan NTT sebagai provinsi cendana, mengembalikan wangi cendana yang begitu mewangi di era tahun 1980 – an dapat berkembang dengan baik
Jehalu menganggap angin lalu jika gema program cendanaisasi yang dipimpinya kurang bergaung. Bahkan dia optimis, suatu saat NTT kembali diselubungi pohon cendana yang penyebaranya hamper di seluruh daerah di NTT. “Saya yakin suatu ikon cendana akan kembali ke NTT,” jelas Jehalu.
Seperti dijelaskan sebelumnya, Cendana (Santalum album) merupakan tanaman penghasil kayu dan minyak cendana. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada iklim tropis yang memiliki curah hujan tingi di tanah berpasir, kerikil, bebatuan, dan gambut. Namun sejak adanya otonomi daerah, daerah penghasil cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggra Timur (NTT), makin berkurang. Hingga tahun 2010, hanya ditemukan 1.426 pohon cendana dengan diameter 20 cm-100 cm, padahal sebelumnya tahun 1998 jumlahnya mencapai 112.710 pohon. “Eksploitasi pengelolaan cendana lewat peraturan daerah yang dikeluarkan oleh pemda tidak menghasilkan perbaikan,” kata Peneliti Balai Penelitian Kehutnana Kupang, S. Agung Sri Raharrjo, dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Kehutanan tahun lalu.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah, PAD dari budidaya cendana terus menurun drastis, lebih dari itu, terdapat ancaman kepunahan cendana dan rendahnya peran serta masyarakat dalam pengembangan cendana. Selain mengakibatkan penurunan potensi, kebijakan pengelolaan cendana yang dilakukan oleh pemerintah secara sepihak telah mengakibatkan sikap apatis masyarakat untuk menanam cendana. “Masyarakat enggan mengembangkan cendana karena seluruh hasil ekonomi diambil oleh pemerintah,” katanya.
Untuk pengelolaan kayu cendana, Pemkab mengeluarkan Perda No 25 Tahun 2001 tentang cendana, namun dikarenakan penyusunan kebijakan itu lebih banyak didominasi pemerintah tanpa melibatkan keikutsertaan masyarakat, swasta dan akademisi. Bahkan pengeleolaan cendana diserahkan lewat Dinas Kehutanan di tingkat kabupataen. Berbeda pada masa tahun 1966 hingga 1999, sebanyak 27 individu atau lembaga dilibatkan dalam pengeloalan cendana; meliputi tokoh adat, petani, pemerintah desa, perguruan tingggi, lembaga penelitian , LSM, Presiden, Gubernur, Bupati, hingga Kementerian, serta Dinas terkait.
Kini, kata Agung, pengelolaan cendana tidak lagi dilaksanakan bersama-sama yang melibatkan masyarakat, swasta dan akademisi. Ancaman kepunahan cendana dan minimnya PAD dari budidaya cendana ini makin menurun dari tahun ke tahun. //delegasi (hermen/ger).